Sabtu, 10 Januari 2009

DUA TRADISI MUHARRAM DI INDONESIA


Dua Tradisi Muharam di Indonesia Cetak E-mail


Tradisi Muharam di Indonesia diselenggarakan di beberapa kota: Pariaman, Bengkulu, Pidie, Aceh, Gresik, dan Banyuwangi. Selain itu, ia terdapat di beberapa kota lainnya di Jawa Tengah. Pada zaman dahulu, masyarakat Sumatera Barat, tepatnya di Padang Panjang dan Solok, juga suka menyelenggarakan tradisi Tabut. Tradisi Tabut di wilayah-wilayah pesisir Pariaman, Sumatera Barat, berasal dari mazhab Syiah. Tradisi ini dilaksanakan untuk mengenang cucu Rasulullah saw yang terbunuh di padang Karbala. Masyarakat Sumatera mengatakan, “Setelah Imam Husain syahid, pasukan Yazid memotong kepala beliau as lalu meletakkannya di ujung tombak, dan mengarak-araknya ke jalan-jalan dan pasar-pasar. Dalam keadaan itu, tiba-tiba muncul seekor burung yang bernama “Buraq.” Burung itu mencabut kepala Imam Husain as dari ujung tombak tesebut lalu membawanya ke langit.”
Mengenai hal ini, di kalangan masyarakat Pariaman, beredar cerita-cerita yang beraneka-ragam. Dikatakan bahwa sewaktu Buraq ingin membawa kepala Imam Husain as ke langit, tiba-tiba seorang tentara yang mencintai Imam Husain as naik ke sayap sang Buraq. Ia ingin bersama Imam Husain as ke surga. Namun, Buraq menjatuhkannya ke tanah dan menahannya untuk tidak mengikutinya serta menasihatinya bahwa hendaknya ia membuat Tabut di dunia ini, dan untuk mengenang Imam Husain as setiap tahunnya, ia harus menyelenggarakan peringatan aza (duka cita).
Para tentara, melalui keluarga tentara itu, memperkenalkan tradisi Asyura ke Irak, India, Madagaskar (Afrika), dan Indonesia. Masyarakat Pariaman, setiap tanggal 10 Muharam, memperingati acara ini.
Kendati kuda Imam Ali as terkenal dengan nama “Deldel” dan kuda Imam Husain dengan nama “Zul Janah,” di Tanah Melayu (secara khusus di Minangkabau) kuda Imam Husain dikenal dengan nama “Buraq.” Mereka meyakini bahwa Deldel dan Zuljanah tidak mampu terbang sedangkan Buraq bisa. Buraq inilah yang telah mengantarkan Rasulullah saw ke sisi Allah Swt. Kemudian, Buraq ini pulalah, setelah syahidnya Imam Husain as, yang membawa ruh dan kepala suci Imam Husain ke singgasana Allah Swt. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa Buraq adalah kuda Imam Husain as.
Masyarakat sangat yakin bahwa kuda Rasulullah saw adalah juga kuda Imam Husain as. Namun, menurut saya, masyarakat telah keliru dengan menyangka bahwa Zuljanah adalah Buraq.
Masyarakat Indonesia yakin, setelah syahidnya Imam Husain dan Imam Hasan as, Buraq membawa ruh kedua Imam itu ke sisi Allah Swt. Secara khusus, masyarakat Minangkabau, yakin bahwa ruh Imam Hasan as dan Imam Husain as akan saling bertemu dan, pada zaman Imam Mahdi as, akan kembali ke dunia ini.
Tradisi Tabut, secara khusus di Pariaman, selalu ditujukan untuk memperingati syahidnya Imam Husain as. Hal itu adalah contoh dari pengaruh budaya Iran terhadap kebudayaan Minangkabau.
Di kalangan umat Islam Sumatera, berdasarkan atas tradisi kuno, tradisi aza bagi Imam Husain as dikenal dengan nama “Tabut.” Bulan Muharam mereka sebut dengan “Syura.” Masyarakat, pada malam pertama Muharam, pergi ke salah satu sungai. Di sana, mereka mengambil tanah dengan anggapan bahwa itu adalah tanah jasad Imam Husain as. Lalu, mereka meletakkannya di salah satu padang yang mereka pagari sekelilingnya dengan kayu. Mereka membiarkan tanah itu di sana hingga hari kesembilan Muharam. Ketika hari itu tiba, mereka kembali ke sana.
Di hari kesembilan Muharam, semua masyarakat pergi keluar rumah dengan membawa gendang dan gong. Mereka mengambil beberapa lembar daun pisang lalu meletakkannya di atas tanah yang pernah disimpan itu.
Pada hari kesepuluh Muharam, mereka keluar dengan membawa Tabut kecil dan meminta sedekah dari orang-orang yang baik. Tabut itu membawa seorang anak lelaki kecil yang memakai pakaian berwarna kuning. Mereka menyebut anak itu dengan “Anak Majnun” lalu membawanya ke setiap rumah masyarakat. Anak-anak kecil yang lain mengiringinya sambil melantunkan suara histeris, “Husain! Husain!”
Tradisi ini seolah-olah ingin kembali mengingatkan masyarakat akan musibah yang pernah menimpa Imam Husain as. Jari-jari Imam Husain as mereka buat dari kayu lalu ditutupi dengan sehelai kain atau daun dan diletakkan di atasnya sekuntum bunga. Kemudian pada malam harinya, mereka keluar sambil membawanya. Dengan cara ini, mereka membawakan permisalan tentang jari-jari Imam Husain as yang dipotong oleh musuh-musuhnya di Karbala setelah kematian sang Imam.
Pada malam itu, senandung-senandung duka Karbala dinyanyikan. Pada malam kedua, bersama jari-jari itu, mereka membuat ‘amamah, yang mereka sebut “sorban Imam Husain as.”
Pada malam ke-12 Muharam, mereka mengambil tabut-tabut dan gendang-gendang. Setelah itu, mereka mengambil sedekah dari masyarakat kota.
Pada malam harinya, semua penduduk kampung membawa tabut-tabut mereka ke sungai dan di sana mereka membacakan beberapa syair. Pada waktu Magrib, mereka menghanyutkan tabut-tabut mereka ke sungai atau laut. Di sana saat tabut-tabut itu mulai tenggelam, mereka menjerit histeris mengenang Imam Husain as lalu akhirnya kembali ke rumah masing-masing.
Muharam dalam bahasa Jawa disebut dengan “Suro.” Sementara di Aceh, Muharam disebut dengan “Bulan Hasan dan Husain.” Peringatan Muharam dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia, secara khusus di Pariaman dan Bengkulu. Setiap tahun, acara ini juga diselenggarakan di Kutaraja, Aceh, oleh para pendatang dari Padang. Di Pidie, sebelah timur laut Aceh, masyarakat Keling (Muslim India) menyelenggarakan tradisi ini dengan cara yang khas.

Kanji Asyura
Tradisi keagamaan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak berbeda dengan masyarakat Iran. Keduanya selalu memasak makanan untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah Swt. Di Indonesia, ini disebut dengan kenduri.
Di India, makanan semacam ini disebut kahacri (semacam sup yang terbuat dari beras dan kacang-kacangan).
Di Kairo, Mesir, makanan ini disebut hubbub, yang terbuat dari berbagai macam biji-bijian. Masyarakat Jawa menyebut makanan ini dengan “bubur Suro,” yang terbuat dari berbagai biji-bijian, seperti jagung, kacang tanah, kelapa, dan beras.
Makanan ini dibuat untuk arwah para orang suci, seperti Rasulullah saw dan yang lainnya. Kemudian setelah itu, mereka membagikannya kepada masyarakat. Adapun di Aceh, makanan campuran ini dinamakan “kanji Asyura,” yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, pepaya, delima, pisang, dan akar-akaran.
Di Aceh, tidak setiap rumah memasak makanan ini tetapi di satu kota mereka memasaknya di satu tempat kemudian membawanya ke mesjid atau ke perempatan jalan. Setelah memanjatkan doa, makanan itu dibagikan kepada masyarakat. Demikian juga di Jawa, masyarakat memakan “bubur Suro.”
Masyarakat Aceh sangat menghormati hari sepuluh pertama Muharam. Mereka tidak melakukan aktivitas apa pun pada hari-hari tersebut. Masyarakat Aceh melarang pernikahan pada hari-hari tersebut karena percaya bahwa pernikahan pada saat-saat itu tidak akan mendapatkan keberkahan dan akan berakhir pada perceraian, khususnya pernikahan perawan atau gadis. Mereka pun tidak melakukan khitanan atas anak-anak mereka, tidak berladang, dan juga tidak memanen hasil ladangnya.
Masyarakat Aceh menganggap Muharam sebagai “bulan api,” yakni bulan musibah dan kesedihan. Di sebagian tempat, masyarakatnya suka melakukan maktam sambil mengelilingi api.
Masyarakat Indonesia yakin bahwa Imam Hasan as dibunuh Bani Umayah dengan cara diracun sementara Imam Husain as dibunuh pasukan Yazid di padang Karbala pada Jumat, 10 Muharam. Mereka mengatakan, “Kedua orang bersaudara ini adalah orang yang teraniaya.” Karena itu, masyarakat memperingati syahidnya Imam Hasan as dan Imam Husain as. Masyarakat Minangkabau menamakan Muharam dengan “bulan Tabuik.” Di wilayah Ternate, tradisi takziah ini disebut dengan “Badabus.”
Sementara itu, masyarakat Betawi menyebut sepuluh Muharam sebagai “hari anak yatim.” Di berbagai wilayah di Indonesia, masyarakat, pada hari kesepuluh Muharam, memasak sejenis makanan yang mereka sebut dengan “bubur merah-putih.” Merah adalah lambang darah Imam Husain as sedangkan putih adalah lambang ruh suci Imam Husain as. Makanan ini terbuat dari beras, gula, dan beberapa bahan lainnya.
Masyarakat Melayu memperingati hari anak yatim untuk mengenang Imam Husain as dan Imam Ali Zainal Abidin as, sebagai yatim pertama dari keluarga Rasulullah saw. Hal itu karena, dalam peristiwa Karbala, hanya Imam Ali Zainal Abidin yang masih hidup. Pada hari-hari Asyura, masyarakat Melayu mengenang para syuhada Karbala juga dengan cara melakukan kegiatan amal saleh.

Arak-arakan Tabut di Pariaman

Raffles (periode pemerintahan: 1811-1816 M), komandan pasukan dan utusan kerajaan Inggris, membawa sejumlah pasukan dari India ke Bengkulu. Setelah Pasukan Inggris yang berasal dari India dan Irak, yang didatangkan ke Bengkulu, kebanyakannya menetap di Bengkulu. Setelah itu, ada pula yang menetap di Pariaman. Mereka semuanya adalah penganut ajaran Syiah dan meneruskan tradisi acara aza dan arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman.
Pasukan ini di Pariaman suka dipanggil dengan sebutan keling atau “yang hitam.” “Komunitas keling,” dengan menyelenggarakan acara aza dan arak-arakan Tabut, telah membawa kebudayaan baru kepada masyarakat Pariaman. Qadir Ali yang berdomisili di Pariaman, memiliki kemahiran dalam membuat Tabut. Sejak itu, masyarakat Pariaman pun disibukkan dengan membuat Tabut, dan setiap tahun acara peringatan Muharam masih diselenggarakan. Jadi, acara arak-arakan Tabut semacam ini sudah sangat berkembang di tengah-tengah masyarakat Pariaman.
Begitu berakarnya tradisi tersebut sehingga orang-orang Pariaman, yang telah tinggal di luar Pariaman, tiap tahunnya menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman mereka untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan acara arak-arakan Tabut tersebut.
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai kelanjutan penyelenggaraan acara Tabut ini. Dikatakan bahwa tarekat Syatariah mempunyai andil cukup besar dalam perkembangan tradisi Tabut ini. Syeikh Abdullah Syattar adalah pengikut Imam Ali as. Ia mendirikan tarekat Syatariah di Bagdad, yang sangat memuliakan mazhab Syafi’i, dan mazhab ini menekankan kecintaan kepada Ahlulbait as, khususnya kelima orang suci, yaitu Muhammad saw, Fathimah as, Ali as, Hasan as, dan Husain as. Tarekat ini dikembangkan di Minangkabau oleh Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ia pun terkenal sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Minangkabau.
Di Irak sendiri, orang-orang Syiah pengikut tarekat Syatariah selalu menyelenggarakan peringatan Asyura, yang juga diikuti para pengikut tarekat ini yang bermazhab Ahlusunah. Kemudian acara peringatan ini pun berkembang pula di Iran. Dari Iran, tradisi ini terus berkembang di India. Lalu dari India, ia berkembang di Bengkulu dan Pariaman, yang dibawa orang-orang Syiah India, yang pernah menjadi tentara Inggris di tanah Bengkulu.
Dalam bahasa Minangkabau, acara arak-arakan Tabut ini disebut dengan “Batabuik” atau “Hoyak Tabuik.” Dikatakan bahwa di Minangkabau, acara ini banyak diselenggarakan di Padang Pariaman, yaitu seluruh wilayah pesisir laut Sumatera Barat, khususnya Pariaman.
Selain Pariaman, seandainya sewaktu-waktu terjadi lonjakan jumlah masyarakat Pariaman yang ada di kota-kota lainnya, maka mereka pun menyelenggarakannya di kota-kota tersebut. Contohnya adalah masyarakat Pariaman yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Karena banyaknya jumlah mereka di sana, acara itu pun diselenggarakan di sana.
Penyelenggaraan acara Muharam sangat penting bagi masyarakat Minangkabau. Pada masa lalu, masyarakat perantau Minangkabau tidak pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri tetapi untuk mengikuti acara Asyura dan bertemu dengan sanak famili mereka.

Bentuk Tabut

Tabut adalah semacam menara yang berbentuk kuda bersayap. Ia diyakini sebagai Buraq Imam Husain as. Tabut terbuat dari bambu dan rotan. Mereka pun mengikatkan sebuah boneka di bagian kepalanya, dan juga menghiasinya dengan menempelkan kertas-kertas yang berwarna-warni.
Untuk membuat sebuah Tabut saja, kira-kira dibutuhkan waktu satu bulan. Tinggi Tabut bisa mencapai 10 meter sementara panjang dan lebarnya kira-kira 2,5 meter. Tabut berbentuk persegi empat. Bentuk Buraqnya seperti manusia yang bersayap. Benda ini dikerjakan sejumlah ahli dalam pembuatan Tabut. Biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan sebuah Tabut, lengkap dengan hiasan-hiasannya bisa mencapai 1500 dolar AS. Tabut-tabut dengan ukuran kecil juga dibuat di berbagai wilayah di Kota Pariaman.
Masyarakat Pariaman juga membuat Tabut khusus untuk bernazar. Maksudnya, apabila seseorang memiliki penyakit yang tak kunjung sembuh, mereka pun bernazar bahwa apabila penyakitnya disembuhkan, ia akan membuat sebuah Tabut. Tabut sepintas terlihat seperti sebuah kamar berukuran besar, yang di dalamnya terdapat Buraq sebesar kuda yang sedang berdiri.
Pada bagian pinggang Buraq itu, dibuat semacam mahkota lalu digantungkan di atasnya payung-payungan yang terbuat dari bunga-bunga yang berwarna-warni. Di bagian kedua kaki Buraq itu, diikatkan sebuah palang dari kayu, yang berguna sebagai pegangan di kala mengangkatnya.
Sewaktu Tabut dibawa berkeliling ke gang-gang dan ke pasar-pasar, mereka biasa memukul-mukul genderang dari kuningan atau kuali dari tembaga hingga mengeluarkan suara ramai dan berteriak, “Ya Husain...Ya Husain!” Tepat pada hari kesepuluh Muharam, ribuan orang membanjiri Pariaman, yang dalam situasi seperti itu sangat jelas terlihat berbagai macam tipe orang dari sisi status dan derajat sosialnya. Ribuan manusia menyertai rombongan aza.
Di Pariaman, umumnya dibuat dua buah Tabut, yang pertama dibuat di daerah pasar, dan karena itu mereka namakan “Tabut Pasar.” Sementara itu, yang satunya lagi bernama “Tabut Kampung Jawa” yang dibuat di daerah Kotamadya Kelima.
Secara historis, dikatakan bahwa tradisi Tabut di Pariaman berasal dari Aceh tetapi sebagian lainnya berpendapat bahwa tradisi Tabut di Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh tentara Inggris berkebangsaan India. Yang lainnya justru berkeyakinan bahwa hubungan perdagangan dan keagamaan antara Bengkulu dan Sumatera Barat-lah yang menyebabkan tradisi Tabut berkembang di Pariaman.
Sebagian lainnya lagi berkeyakinan, berbeda dari yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tradisi Tabut bermula dari Aceh, yang pada abad ke-16 M mulai masuk ke Pariaman dan Bengkulu dan dibawa para mubalig serta pedagang Muslim yang menyebarkan Islam di sana.

Proses Terpenting Tabut di Pariaman

Pengambilan Tanah
Masyarakat pada malam satu Asyura datang ke sungai untuk mengambil tanah. Pada acara ini, seluruh masyarakat kota berkumpul di sana. Kemudian, tanah tersebut mereka masukkan ke dalam sebuah belanga yang suka digunakan untuk memasak nasi, yang mereka sebut dengan payuk.
Setelah itu, payuk itu mereka ikat dengan sehelai kain putih. Kemudian, tanah itu mereka letakkan di antara sebuah daraga yang berukuran 3x3. Di sekeliling daraga itu, mereka menempelkan bambu dan melibatkan kain putih di sekelilingnya. Mereka menganggap daraga ini sebagai lambang makam Imam Husain as.
Makna mengambil tanah dari sungai adalah simbol yang menjelaskan kelahiran sekaligus kesyahidan Imam Husain as. Sementara itu, melibatkan kain putih di atas belanga dan di sekeliling daraga adalah simbol kesucian, kebesaran, dan kesyahidan Imam Husain as di jalan Allah Swt. Sekeliling daraga pun dikuatkan dengan batu-batu bersih dan suci, yang melambangkan kekuatan masyarakat Minangkabau di hadapan para penjajah.

Mengambil Ikatan Pisang
Pada hari kelima Muharam, di malam harinya, masyarakat pergi ke mana saja untuk memutuskan ikatan pisang dengan sabetan pedang lalu mereka membawanya. Ikatan pisang itu harus mereka putuskan dengan hanya sekali sabetan pedang saja. Hal itu diyakini sebagai lambang keberanian Qasim, putra Imam Hasan as, yang tak tertandingi, yang berperang melawan rezim Yazid di padang Karbala.

Pelaksanaan Maktam dengan Lima Jari
Pada hari ketujuh Muharam, tepat pukul 12.00 Zuhur, dilaksanakanlah acara aza khusus, yang bernama “maktam lima jari.” Itu adalah simbol lima jari Imam Husain as yang dipotong pasukan Yazid. Mereka mengingatkan bahwa inilah tangan Imam Husain as, yang telah berhasil membunuh sejumlah besar orang kafir yang berbaju Muslim. Dalam acara ini, jari-jari dan daraga sebagai simbol makam Imam Husain as dengan penuh penghormatan khusus diarak-arak ke gang-gang dan pasar-pasar sementara mereka terus menangis.
Jari-jari tersebut dalam bentuk tangan digantung di atas sebuah bangunan yang berkubah. Di atas kubahnya itu, yang terbuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna, mereka menyalakan lilin lalu dibawa dari rumah ke rumah sambil menyenandungkan kesedihan, sehingga masyarakat pun ikut menangis.

Arak-arakan Lima Jari
Pada hari dan pada malam kedelapan Muharam, mereka mengarak lambang lima jari Imam Husain as itu ke setiap gang dalam kota. Dengannya, mereka ingin menjelaskan bahwa betapa besarnya kezaliman yang telah dilakukan Yazid terhadap Imam Husain as.

Arak-arakan Sorban Imam Husain as

Pada hari kesembilan Muharam, sorban kepala Imam Husain as, sebagai simbol kebesaran dan ketinggian Imam Husain as, diarak ke setiap gang dan pasar di dalam kota.

Arak-arakan Tabut atau Pengambilan Nakhl

Pada waktu Subuh hari kesepuluh Muharam, tepatnya pukul 4 Subuh, mereka segera menyiapkan segala keperluan acara aza. Kira-kira pukul 8 pagi, mereka membawa Tabut bersama Buraq, bendera, dan lambang lima jari ke gang dan pasar untuk menyiapkan acara tersebut.
Di belakang, berjalan sekelompok pemain debus. Orang-orang ini melakukan suatu permainan khusus, dengan cara menghujamkan pedang besi ke dalam perut mereka, dan menempelkan ke tubuh mereka pisau dan rantai yang telah dipanaskan dan batok-batok kelapa yang sedang membara karena dibakar. Pesan dari atraksi tersebut adalah kenapa bukan kami saja yang mati menggantikan Husain as.
Di belakang kelompok debus itu, terdapat sejumlah orang yang terbagi ke dalam dua kelompok. Yang pertama dengan kekuatan penuh memukul-mukul genderang dan yang lainnya memainkan kecapi. Pada malam kesepuluh Muharam, mereka membacakan kisah syahidnya Imam Hasan dan Imam Husain as dengan iringan rebana.

Menghanyutkan Tabut ke Laut
Pada hari kesepuluh Muharam, acara aza tersebut mencapai puncaknya. Pada malam kesepuluh Muharam, tabut-tabut tersebut dihanyutkan ke laut. Sebelum tabut-tabut dihanyutkan ke laut, terlebih dahulu mereka mengambil segala sesuatu yang penting dari dalamnya, seperti lambang lima jari yang terbuat dari emas, kain-kain yang mahal harganya dan kertas warna-warni, untuk digunakan pada pembuatan Tabut di tahun berikutnya.
Ketika kembali ke rumah melalui jalan pantai, mereka menganggap bahwa ruh Imam Husain as tengah terbang dengan Buraq ke langit untuk menjumpai Imam Ali as dan mereka pun menangis histeris sambil mengucapkan dengan suara tinggi, “Ya Ali Madad....Ya Ali Madad Ya Husain....Ya Husain!”

Arak-arakan Tabut di Kota Bengkulu

Arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman tidak jauh berbeda tetapi, dari sisi bentuk, Tabut Bengkulu berbeda dari Tabut Pariaman. Di sini (Bengkulu), Tabut dibuat dengan sedikit lebih besar, berwarna, dan berukuran tinggi. Tinggi Tabut Bengkulu dapat mencapai 6-16 meter. Dikatakan bahwa pasukan India (Banggali) datang ke sini lalu memgenalkan Tabut ini. Orang pertama yang mengenalkan Tabut di sini adalah Syekh Burhanuddin, yang dijuluki dengan “Imam Senggolo.”

Tahapan-tahapan Acara Aza di Bengkulu
Mengumpulkan Tanah dari Sungai
Mereka melaksanakan acara ini pada malam pertama Muharam. Untuk acara Tabut tertua yang dikenal dengan “Tabut Berkas,” mereka mengambil tanah dari satu tempat di sungai dan untuk acara Tabut lainnya yang dikenal dengan “Tabut Bangsal,” dari tempat lainnya lagi di sungai.
Dari tanah tersebut, mereka membuat boneka sebagai simbol tubuh suci Imam Husain as. Sewaktu mengambil tanah dari sungai, mereka bernazar dengan membuat makanan khusus yang bernama “bubur merah-putih” (terbuat dari gula, tujuh lembar daun sirih [orang India memakannya untuk menambah kekuatan pada tubuh dan memerahkan bibir, yang dalam bahasa India disebut pan (betel leaves) dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan daun sirih]), tujuh lembar daun tembakau, kopi pahit, susu murni, dan air selasih.
Saat tiba pukul 10 malam, acara ini diakhiri dengan pembacaan doa untuk kebaikan dan keberkahan seluruh umat Islam, dan dilanjutkan dengan meletakkan tanah di satu tempat yang bernama “gerga,” yang di sekelilingnya dililitkan kain sutra berwarna putih. Gerga tersebut mereka anggap sebagai benteng pertahanan Imam Husain as.
Dari hari pertama hingga hari keempat Muharam, setiap hari dari Asar hingga Magrib, mereka menabuh gendang dan gong dengan suara keras di dekat gerga itu. Mereka juga memainkan tiga macam musik khas dalam peperangan dan kesedihan, yang menunjukkan persiapan Imam Husain as untuk perang. Dalam bahasa setempat, tradisi ini disebut “beruji” (persiapan).

Tradisi Lima Jari Imam Husain as di Bengkulu
Pada hari kelima Muharam, dari pukul 3 sore hingga tiba azan Magrib di dekat gerga, gendang dan gong ditabuh dengan suara keras. Dalam acara ini, lambang lima jari Imam Husain as, yang sudah mereka buat beberapa tahun sebelumnya dari campuran emas dan sejumlah logam lainnya, mereka cuci dengan air wangi yang dicampur dengan bunga mawar dan minyak wangi. Masyarakat menempatkan air tersebut ke dalam wadah-wadah, lalu mereka membawanya ke rumah masing-masing untuk keberkahan dan penyembuhan orang sakit.
Dalam acara ini, mereka bernazar dengan membuat “bubur palu kuning,” tujuh ember air minuman, buah-buahan kering, pisang kuning, gula batu, kopi pahit, minuman, dan susu sapi. Kemudian mereka membagi-bagikan semua itu kepada masyarakat setelah pembacaan doa.

Tradisi Menjara (Jeruji)
Tradisi ini menggambarkan peristiwa yang terjadi pada hari kelima hingga ketujuh Muharam antara Imam Husain as dan pasukan Yazid. Pada hari keenam Muharam, kelompok “Tabut Berkas” menyerang kelompok “Tabut Bangsal.” Pada hari ketujuh Muharam, giliran kelompok “Tabut Bangsal” yang menyerang kelompok “Tabut Berkas.” Acara ini dilakukan di alun-alun kota dan disaksikan ribuan orang. Kedua kelompok tersebut menggambarkan pasukan Imam Husain as yang gagah berani. Dalam acara ini, setiap kelompok membawa gendang, gong, bendera, senjata-senjata perang, dan pedang Zulfikar, pedang Imam Ali as, yang lalu diberikan kepada putra beliau as, Muhammad Hanafiah.
Disebutkan bahwa Muhammad Hanafiah turut ke padang Karbala membela Imam Husain as dan rombongannya dari serangan pasukan Yazid. Dalam acara ini, gendang dan gong ditabuh dengan sekeras-kerasnya hingga pertengahan malam. Bersama gendang dan gong, juga dimainkan sejumlah alat musik lainnya, seperti piano, gitar, dan alat-alat musik tradisional. Dengan iringan musik ini, masyarakat melakukan tarian-tarian tradisional.

Tradisi Arak-arakan Jari-jari dan Sorban
Acara ini banyak diikuti kalangan anak muda Bengkulu. Acara ini dilaksanakan pada hari ketujuh dan kedelapan Muharam dengan mengeluarkan lambang jari-jari Imam Husain as yang terbungkus kain sutra putih dari gerga. Setelah itu, mereka meletakkannya ke dalam sebuah Tabut kecil yang bernama cuki (empat sudut).
Sebelum membawa cuki, terlebih dahulu mereka melaksanakan acara nazar dan niyaz. Misalnya, untuk jari-jari Imam Husain nazarnya adalah kopi pahit atau tanpa gula dan minuman sedangkan untuk sorban Imam Husain as adalah bubur palu kuning, telor ayam yang telah matang, bubur dari tujuh jenis sayuran. Mereka bernazar setelah berdoa dan memakannya. Setelah itu, mereka mengarak-arakan Tabut Cuki tersebut ke gang-gang dan pasar-pasar.
Malam kedelapan dan kesembilan Muharam adalah saatnya arak-arakan sorban Imam Husain as tetapi Tabut Cuki pun turut mereka bawa. Dalam acara ini, gendang dan gong terus ditabuh. Sewaktu kelompok “Tabut Berkas” berhadap-hadapan dengan kelompok “Tabut Bangsal,” mereka saling bertukar Tabut Cuki sebagai hadiah dan saling memberikan salam dan menghormati lalu akhirnya berpisah kembali ke tempat masing-masing.

Tradisi Tabut Gadang

Dari pukul 6 Subuh hingga 12 Zuhur, pada hari kesembilan Muharam, sama sekali tidak ada kegiatan yang dilakukan. Saat-saat tersebut mereka namakan dengan “suasana tenang,” atau secara khusus mereka katakan sebagai “saat kesedihan.” Pada hari kesembilan Muharam, pukul 7 malam, setelah menunaikan salat Isya, mereka memulai acara arak-arakan Tabut dengan penuh antusias.
Tahapan-tahapan pelaksanaan tradisi aza di Bengkulu ini mereka sebut dengan “Tabot Naik Pangkek.” Sebelum pelaksanaan arak-arakan tabut-tabut ke gang-gang dan pasar-pasar, “bapak-bapaknya” Tabut beserta masyarakat bernazar dan melakukan beberapa kebaikan. Mereka menyediakan makanan, kopi, minuman, dan teh manis bagi para peserta dan para pembawa Tabut serta membacakan doa kebaikan untuk semua.
Mereka mengarak tabut-tabut besar dan sejumlah besar Tabut Nazar yang dibuat masyarakat, yang bernazar supaya diberi kesembuhan, kebaikan, dan keberkahan. Dalam arak-arakan ini, sekelompok peserta membawa gendang besar dan gong sambil memperlihatkan kemahirannya yang sempurna dalam memainkannya. Suara gendang dan gongnya terdengar hingga ke seluruh kota. Tabut-tabut besar yang telah dihias dan diwarnai melewati semua pelosok kota Bengkulu. Di sekeliling tabut-tabut tersebut, dipasang lilin-lilin dan lampu-lampu minyak yang menerangi tabut-tabut itu, sehingga keindahannya semakin bertambah.
Dalam acara ini, “bapak-bapaknya” Tabut beserta keluarga masing-masing dan masyarakat kota ikut berpartisipasi. Setelah diarak ke gang-gang dan pasar-pasar tertentu, seluruh kelompok peserta arak-arakan ini tiba di sebuah alun-alun kota, yang terletak di tengah-tengah Bengkulu. Pekerjaan ini mereka sebut dengan “Tabot Bersandang” (Tabot Beristirahat). Para juri menilai tabut-tabut tersebut dari berbagai sisi, seperti bentuknya, warna, hiasan, tingginya Tabut, dan juga suara gendang dan gong. Lalu, mereka memilih yang terbaik dari semuanya. Acara ini kira-kira selesai pada pukul 3 Subuh.

Menghanyutkan Tabut ke Laut

Tahapan terakhir dari keseluruhan acara arak-arakan Tabut adalah menghanyutkannya ke laut pada hari kesepuluh Muharam. Mereka akan memperingati hari kesedihan secara khusus apabila 10 Muharam jatuh pada hari Jumat. Maka, acara menghanyutkan Tabut ke laut akan dilaksanakan sehari setelahnya, yakni tanggal 11 Muharam.
Berdasarkan tradisi, sejak Subuh hari kesepuluh Muharam, tabut-tabut dikumpulkan di alun-alun Kota Bengkulu. “Bapak-bapaknya” Tabut, masyarakat kota, dan ribuan peziarah berkumpul di alun-alun dan gang-gang untuk melihat Tabut dan untuk mengikuti iringan arak-arakan Tabut menuju padang Karbala Kota Bengkulu, yang terletak di wilayah Padang Jati. Di wilayah itu, juga berada makam Syekh Burhanuddin yang dijuluki “Imam Senggolo.” Keberadaannya menambah hangatnya suasana untuk aza.
Sebelum meneruskan acara aza dan arak-arakan semua Tabut, mereka menyiapkan hidangan bagi para pengarak Tabut, yang akan mereka makan setelah tiba di padang Karbala. Tabut-tabut diberangkatkan kira-kira setelah lewat pukul 12 siang. “Tabut Bangsal” berada di barisan terdepan sementara “Tabut Berkas” berada di belakangnya lalu yang lain-lainnya bergerak mengikutinya.
Seluruh Tabut pertamakali akan tiba di sebuah pasar yang bernama “Pasar Minggu.” Lalu, di sana mereka beristirahat sejenak. Dari sini hingga padang Karbala, “Tabut Berkas” berada di barisan terdepan. Sewaktu tiba di padang Karbala, “Tabut Berkas” dimasukkan ke makam Syekh Burhanuddin sementara tabut-tabut yang lain langsung mereka bawa ke laut.
Yang berhak memasuki wilayah padang Karbala hanyalah “bapak-bapaknya” Tabut beserta keluarga-keluarga mereka sementara selain mereka tidak berhak. Para keluarga “bapak-bapaknya” Tabut di padang Karbala melaksanakan episode terakhir acara aza ini. Orang-orang lain menyaksikannya dari luar. Setelah selesai acara, mereka mengambil segala sesuatu yang berada dalam “Tabut Berkas,” seperti hiasan-hiasan, dan kemudian mereka membuangnya ke laut sebagaimana tabut-tabut lainnya.
Hingga di sini, rangkaian acara aza pun berakhir. Demikianlah “hidangan malam bagi orang-orang yang terasing” tersembunyi di balik kegelapan malam. Seluruh pelaku aza kembali ke rumah mereka masing-masing dalam keadaan menangis. Karbala Kota Bengkulu pun kembali tidur dalam kesunyian malam hingga tiba tahun depan.

Kesimpulan

Setelah menyaksikan acara takziah dan arak-arakan Tabut dan nakhl di Tehran dan Yazd (Iran), serta di Pariaman dan Bengkulu (Indonesia), penelitian atasnya sampai pada satu kesimpulan bahwa peringatan Muharam di kedua negeri ini banyak kesamaannya, baik pada pembagian tahapan-tahapannya, arak-arakan Tabut, maupun musik Tabut yang menggunakan gendang dan gong. Baik di Yazd maupun di Pariaman serta Bengkulu semua itu sangat mirip.[Disarikan dari Muhammad Zafar Iqbal, Kafilah Budaya, Jakarta: Penerbit Citra, 2006]

Jumat, 09 Januari 2009

Tafsir Atas Julukan "Abu Abdillah" Imam Husain As

Tafsir Atas Julukan “Abu Abdillah” Imam Husain As Cetak E-mail


Penghulu para syahid (sayyid asy-syuhada), “Orang yang ditangisi sebelum terbunuh” (qatil al-abra'a), Imam Husain as mempunyai kuniyah (julukan) yang menarik, Abu Abdillah. Julukan ini artinya, “Ayah Abdullah.” Bangsa Arab mempunyai kebiasaan menyapa satu sama lain dalam berbagai cara. Cara pertama adalah memanggil orang dengan namanya, cara kedua dengan merujuk gelarnya, dan cara ketiga menyapa orang dengan julukannya. Misalnya, nama imam pertama kita adalah Imam Ali as, laqab (gelar)nya “Asadullah,” “Haidar,” sementara julukannya (yang dinisbatkan kepada ayah, ibu atau anak) adalah Abul Hasan, atau Abul Hasanain.
Demikian halnya, julukan Imam Husain as adalah Abu Abdillah, namun gelarnya banyak, misalnya, asy-syahid as-sa’id, as-sibth ats-tsani (cucu kedua), imamuts tsalits (imam ketiga), ar-rasyid (orang yang lurus), al-wali as-sayyid (pemimpin Sayid), “orang yang mengikuti kehendak Allah dan bukti-Nya.” Pastinya, Anda pernah membaca frase ini beberapa kali dalam Ziarah Asyura, “Assalamu ‘alayka ya Aba Abdillah (Salam atasmu wahai Abu Abdillah).” Sejenak, mari kita coba tingkatkan pemahaman dan pengetahuan kita atas julukan Imam Husain as ini melalui artikel di bawah ini.

Asal-Muasal Kuniyah
Julukan tersebut diturunkan dari kata “kunyah” yang artinya “menyebut sesuatu dengan suatu sikap tertentu.” Karena alasan inilah, dalam tatabahasa Arab, kata-kata tersebut digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disebut kinayah. Penduduk Basrah biasa menyebut pronoun sebagai kinayah. Ketika seseorang tidak ingin menggunakan nama dari orang yang tengah ia ajak bicara, maka ia gunakan suatu julukan ketika berbicara dengannya. Itu artinya, ia menyinggung orang itu melalui ayahnya, ibunya, atau anaknya dan menggunakan kata-kata seperti “Abu,” “Ummi,” atau “Ibnu,” seperti Abu Thalib (ayah Thalib), Ibnu Abbas (putra Abbas), atau Ummu Daud (ibunya Daud). Kata-kata tersebut disebut “kuniyah.” Pada umumnya, ini disebabkan nama-nama ayah atau leluhur terkait dengan nama seseorang. Gelar seperti “Sayid,” “Syekh,” “Khan,” “Mirza” dan lain-lain yang umumnya digunakan di kalangan non-Arab tidak menyebar di kalangan bangsa Arab. Karena itu, suatu kuniyah digunakan secara sangat luas di kalangan mereka. Pada dasarnya, penggunaannya adalah standar akhlak dan adab yang baik.
Seorang penyair berkata:
Ketika aku memanggilnya, aku menyapanya dengan julukannya sehingga aku bisa menghormatinya
Dan ketika aku tidak memanggilnya dengan gelarnya karena itu dipandang tidak hormat
Aku terus menggunakan cara ini sampai ia tidak menjadi watak kedua bagiku
Sesungguhnya aku t’lah menemukan cara ini sebagai adab yang patut.
Dari sini, ketika seorang anak dilahirkan dan dinamai, kuniyah ayahnya juga ikut ditetapkan. Sebenarnya, pada banyak kesempatan, kuniyah seseorang diputuskan jauh-jauh sebelum anak itu lahir. Acapkali, kuniyah seseorang akan menjadi lebih kondang ketimbang nama sebenarnya. Banyak kuniyah dari seseorang yang dipilih berdasarkan karakteristik istimewa yang terdapat padanya. Misalnya, umum diketahui bahwa Nabi saw memiliki kuniyah Abul Qasim. Ini disebabkan bahwa telah dikatakan tentangnya, “Beliau disebut sebagai Abul Qasim karena pada hari Kiamat ia akan membagi-bagikan (qasama) surga.”

Kuniyah Imam Husain Sejak Kecil
Banyak hadis mengisyaratkan bahwa kuniyah Abu Abdillah-nya Imam Husain as disandarkan kepadanya sejak masih kanak-kanak. Asma binti Umais meriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as dilahirkan, Nabi saw mengambilnya dari pangkuannya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah! Engkau begitu berharga bagiku.”
Usai berkata demikian, beliau mulai menangis. Asma meriwayatkan, “Aku berkata: ‘Wahai Nabi, mengapa Anda menangis seperti ini pada hari penuh harapan?’ Nabi saw menjawab, ‘Aku menangis karena putraku ini, yang akan dibunuh oleh sekelompok pemberontak dari Bani Umayah.’” (Biharul Anwar, juz.43, Bab 11; Uyunul Akhbar ar-Ridha; Manaqib Ibnu Syahr Asyub)
Poin yang mesti dicatat di sini adalah bahwa Nabi saw tak pernah melontarkan suatu kata atau melakukan suatu perbuatan tanpa landasan wahyu dan sanksi Tuhan. Sesungguhnya, ada sejumlah rahasia Ilahi yang disembunyikan dalam kuniyah khusus ini dan itu bisa jadi bahwa Imam Husain as telah disifati kuniyah ini (Abu Abdillah) karena alasan yang sama bahwa kakek beliau sang Nabi saw telah disifati dengan kuniyah Abul Qasim. Dengan kata lain, adalah mungkin bahwa Imam Husain as telah dinilai dengan kuniyah ini karena amal ibadahnya yang istimewa.

Makna Abu Abdillah pada Pribadi Imam Husain as
Penting untuk dicatat bahwa sebelum Imam Husain as tak seorang pun di kalangan para nabi atau para pengganti (washi) mereka yang memberikan teladan ibadah secemerlang yang ditunjukkan oleh Sayidusy Syuhada (penghulu para syuhada Imam Husain as) sendiri. Kepasrahan totalnya (di hadapan ketentuan Allah), ibadahnya, kesabarannya di bawah panji tauhid dan kebaktiannya kepada Allah, adalah amal-amal yang tak bisa dibandingkan dengan tokoh suci mana pun. Seluruh nabi terdahulu berikut para washi mereka telah menyebutkan, “Jika aku mencoba melangkah meski satu langkah menuju kedudukan ini, niscaya aku terluka (akan celaka).”
Ibadah dan kebaktian Imam Husain as secara khusus terbukti pada hari Asyura, yakni himpunan amal ibadah baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Setiap amal perbuatan Imam Husain as, baik itu berupa salat, puasa, zakat, atau pun haji, amar makruf-nahi mungkar, masing-masing amal tersebut merupakan suatu teladan dan pelajaran bagi orang yang berakal. Secara khusus, gerakan jihad dan amar makruf-nahi mungkar Imam as. Ini merupakan pelajaran bagi dunia bahwa jika kejahatan dan amoralitas ada di dunia, maka itu tidak hanya disebabkan orang-orang kotor yang melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh tersebut, namun juga disebabkan orang-orang baik yang tetap berpangku tangan di hadapan ketaksenonohan-ketaksenonohan tersebut dan tidak berusaha bangkit membalas (perbuatan) para penindas. Maka itu, Imam Husain as merupakan simbol kebaikan-kebaikan moral, keberanian, kesabaran, kasih-sayang, rasa malu, nasihat, kebangkitan, keyakinan, kanaah, keberanian, kesantunan yang para malaikat notabene suci dan merupakan makhluk Allah yang dimuliakan, tercengang dan kagum akan amal kebaktian Imam as ini. Tidaklah salah ungkapan dalam slogan yang berbunyi, “Tidak ada hari yang serupa dengan harimu (Asyura), wahai Aba Abdillah!” menunjuk pada seluruh kebajikan dan keutamaan ini.
Tipe-tipe kuniyah dan gelar tersebut sangat lumrah di kalangan bangsa Arab era awal. Misalnya, jika keberanian dan kegagahan dari sejumlah orang tertentu didiskusikan, maka akan dikatakan, “Aku melihat seekor singa di antara mereka.”
Atau jika kemurahhatian seseorang disebutkan, maka dikatakan, “Si fulan ayah dari kemurahhatian.”
Alasan kedua atas kuniyah Sayidusy Syuhada sebagai “Abu Abdillah” adalah bahwa seandainya ia tidak berjuang dan berusaha keras di Karbala, maka tentunya Syariat Islam akan terhapus oleh kebrutalan dan kezaliman dari Bani Umayah dan orang-orang (Islam) niscaya akan kembali ke (pangkuan) kebiasaan-kebiasaan politeisme dan kejahilan pra-Islam. Para raja tiranik dan opresif dan kegairahan pada dunia niscaya menguasai semua orang. Tak seorang Muslim pun mengambil keuntungan dari petunjuk Nabi saw dan al-Quran. Niscaya tak seorang pun untuk memerangi penindasan yang dilakukan oleh Bani Umayah atau pun menyerang serangan-serangan (ideologis) orang-orang seperti Ibnu Taimiyah. Karena itu, hari ini siapa pun yang menyembah Allah dan mengikuti Nabi Muhammad saw, maka itu asli karena berkah Imam Husain as. Dia adalah Husain yang sama yang tentangnya dikatakan, “Jika kalian tidak ada, niscaya Allah tak akan disembah. Jika kalian tidak ada, niscaya tak seorang pun akan memperoleh makrifatullah yang hakiki.” (Faraid as-Simthain, jil.1, hal.46)
Karena itu, memang benar bahwa Sayidusy Syuhada as adalah ayah semua hamba Allah (karena kata “Ayah” (Abu) digunakan dalam arti “pelatih” sebagaimana ia sering digunakan di kalangan bangsa Arab). Istilah “Abu Abdillah” merujuk pada hamba-hamba Allah—baik kata ‘Abd itu ditafsirkan dalam arti “kerendahan” atau “ketundukan” atau pun dalam makna “ibadah” dan “salat.” Kedua tafsiran tersebut tidak meniadakan konsep dan gagasan istilah Abu Abdillah.
Alasan ketiga untuk pemakaian kuniyah Abu Abdillah adalah—sebagaimana disebutkan oleh kebanyakan sejarahwan dan ahli hadis—bahwa Imam Husain as mempunyai putra bernama Abdullah yang kita sebut dengan nama Ali Ashgar. Ia baru berumur enam bulan ketika ayahnya sampai bersamanya di Padang Karbala. Pada usianya yang belia itu, Ali Ashgar dijadikan target tembakan anak panah oleh Harmala (laknat atasnya), ketika Ali kecil berada di buaian tangan sang ayah. Karena itu, sering ditemukan dalam buku-buku yang menceritakan peristiwa tragedi Karbala frase-frase seperti “Dan kemudian dia (Imam Husain) keluar bersama putranya, Abdullah bin Husain.” Karena alasan inilah Imam Husain as juga disebut sebagai Abu Abdillah.

Kesimpulan
Sebelum mengakhiri artikel ini, ada hadis dari Imam Ridha as yang berkata, “Apabila engkau berbicara dengan seseorang sementara ia di hadapanmu, maka gunakanlah (nama) julukannya. Sementara, jika engkau berbincang dengan seseorang yang tidak ada di depanmu, maka sebutlah ia dengan nama (asli)nya.” (Biharul Anwar, juz.78, hal.335)
Karena itu, setiapkali kita membaca Ziarah Asyura, maka kita semestinya mencamkan dalam hati kita bahwa ketika kita menyalami Syahid Karbala seperti ‘wahai Abu Abdillah,’ maka sesungguhnya ia hadir di depan kita. Kedua, juga harus dicamkan dalam pikiran bahwa sebuah kuniyah digunakan sebagai tanda penghormatan. Misalnya, di masa pemerintahan khalifah kedua, ketika seseorang melakukan tuduhan terhadap diri Amirul Mukminin Ali dan ketika Imam Ali didatangkan ke hadapan khalifah, khalifah pun memanggil Abul Hasan untuk Imam Ali as. Kontan, Amirul Mukminin Ali keberatan dan berkata, “Keadilan harus ditegakkan di meja peradilan. Adalah bertentangan dengan keadilan ketika Anda menyebut saya dengan kuniyahku, sementara engkau menyapa orang lain dengan namanya.”
Apabila kita lalai dan alpa selama membaca ziarah dan tidak menggunakan kuniyah, maka ini merupakan tanda tidak menghargai dan Allah tidak menerima doa-doa tersebut. Hal ini bisa disimpulkan dari hadis Amirul Mukminin as yang berkata, “Allah tidak menerima salat (doa) dari hati yang lalai.” (Biharul Anwar, juz.93, hal.314)
Demikianlah, kita harus fokus sepanjang waktu dan harus berjuang keras untuk melindungi diri sendiri dan meyakinkan bahwa hati tidak menjadi lalai ketika membaca ziarah kepada para imam as. Kita harus berdoa kepada Allah di sepanjang waktu agar Dia menerima ziarah kita dan juga ibadah-ibadah lainnya, agar Dia mempercepat kemunculan orang yang menjadi simbol dan manifestasi ibadah, yakni Baqiyatullah, Imam Mahdi as. Dan melalui kemunculannya, Dia akan menghilangkan semua derita dan musibah orang-orang beriman di muka bumi.[Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari “Exegesis of the Agnomen Abu ‘Abdillah (as)” dalam www.almuntazar.com]

Minggu, 04 Januari 2009

Imam Mahdi as

"Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar,untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." (QS. 9:33).

Ath-Thabarsi dalam Tafsir Majma'ul Bayan fi tafsir Al-Qur'an jilid VII hal 66 menafsirkan sbb:

"Dialah yang telah mengutus RasulNya; yang di maksud Rasul disini adalah Muhammad S A W. (Dengan membawa) petunjuk; yakni hujjah-hujjah, penjelasan-penjelasan, dalil-dalil dan bukti-bukti. Dan agama yang benar; yakni agama Islam dan syariat-syariat yang mempunyai konsekwensi pembalasan berupa pahala, dan semua agama selainnya adalah bathil, yang mempunyai konsekwensi siksaan.

Untuk dimenangkan-Nya atas segala agama; yang dimaksud: Dia akan mengunggulkan agama Islam diatas semua agama lainnya dengan hujjah, sehingga dimuka bumi ini tak ada satu agamapun yang tinggal kecuali dikalahkan, dan tak seorangpun yang bisa mengalahkan pemeluk Islam dengan hujjah, malah sebaliknya pemeluk Islam mengalahkan mereka dengan hujjah.

"Imam Abu jakfar Muhammad Al-Bagir A S. mengatakan: " Sesungguhnya hal itu terjadi pada masa munculnya Al-Mahdi dari kelurga Muhammad, pada saat itu tak akan ada lagi seorang manusiapun kecuali dia mengakui Muhammad." pendapat ini didukung oleh Al-Sudiy dan Al-Kalbi.

Al-Migdad bin Al-Aswad mengatakan: 'Aku mendengar Rasulullah S A W bersabda: " Tidak akan tinggal satu rumahpun, baik rumah permanen dipedesaan maupun perkemahan yang berpindah-pindah, kecuali Allah memasukkan kedalamnya, seruan Islam, entah dengan kemuliaan ataupun dengan kehina-dinaan. Adapun yang dimaksud "dengan kemuliaan" adalah, bahwa Allah menjadikan penghuni rumah itu sebagai pemeluk Islam hingga mereka menjadi mulia dengannya, Sedangkan "dengan kehina-dinaan" maksudnya adalah, Allah menjadikan penghuninya tunduk kepada Islam.

Dalam buku Al-Bahrul Muhith, Abu Hayyan Al-Andalusi mengutip pendapat A-Sudiy mengenai firman Allah : "Untuk dimenangkan atas segala Agama" mengatakan: "Hal itu akan terjadi pada saat munculnya Al-Mahdi. Pada saat itu tak seorangpun manusia yang tinggal kecuali dia masuk kedalam Islam atau membayar pajak (Jizyah)".

Imam Malik (pemimpin mazhab Maliki) berkomentar mengenai firman Allah (QS. 28. 5) : "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka mewarisi (bumi)." sbb: "Pembuktian atas ayat ini belum terjadi, dan bahwa ummat Islam masih menunggu munculnya manusia yang akan menjadi sarana bagi terwujudnya ayat tersebut"(Ath-Thabarsi dalam Majma'ul Bayan fi Tafsir Al-Qur'an jilid V hal 24). Ketika kaum Alawiyin (keturunan Fatimah A S)tertimpah penindasan yang teramat sangat oleh penguasah Abbasiyah, Muhammad ibn Jakfar Al-Alawy mengadukan pada Imam Malik dan dijawab oleh Imam Malik bersabarlah sampai datang tafsirnya ayat tsb diatas (QS. 28. 5), demikian riwayat Abul Faraj Al-Isfahany dalam buku Maqatil Aththalibiyin hal 539.

Assayyid Abdullah Syabr dalam bukunya Haqqul Yakin jilid I hal 222 menuturkan bahwa hadits mengenai Imam Mahdi jumlahnya lebih dari lima ratus yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, penyusun kitab Jami'ul Ushul dan orang-orang selain mereka. Selanjutnya beliau berkata dalam kitab-kitab yang Mu'tabar dan kitab Ushul yang telah diakui, terdapat lebih dari seribu hadits.

Al-Juwaini Al-Khurasany mengeluarkan dari Sa'id bin Jubair dan Abdullah bin Abbas, yang disebut juga oleh Al-Majlisi dalam kitab Biharul Anwar jilid LI hal. 71 dari Akmaluddin sbb: Telah bersabda Rasulullah S A W : "Sesungguhnya para Khalifahku dan Washy (pemegang wasiat)ku serta hujjah-hujjah Allah terhadap makhluk sesudahku adalah 12 Orang, yang pertama adalah saudaraku, dan yang terakhir adalah anakku" Ditanya kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, siapa saudara Tuan itu ?' 'Beliau menjawab: Ali bin Abi Thalib.' Ditanyakan lagi: 'Dan siapa putra Tuan itu ?' 'Beliau menjawab: 'Al-Mahdi,yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, sebagaimana ia (dunia) telah dipenuhi dengan kejahatan dan kedzaliman.

"Dan demi Dia(Allah), yang telah mengutusku sebagai Nabi, seandainya umur dunia ini hanya tinggal sehari saja , niscaya Allah akan memanjangkan hari itu sampai Dia membangkitkan didalamnya, anakku Al-Mahdi. Maka turunlah Ruhullah Isa putra Maryam A S, Dia akan shalat dibelakangnya, dan bumi akan bersinar dengan Nur Tuhannya, dan kekuasaannya akan mencapai timur dan barat."

Imam Ahmad ibn Hambal (pemimpin mazhab Hambali) telah meriwayatkan dari 2 sufyan (yaitu Sufyan ibn Uyainah dan Sufyan Ats-Tsauri) bahwa Rasulullah bersabda : "Dunia tidak akan lenyab dan tidak akan musnah, sampai muncul seorang laki-laki dari Ahlil-Baitku yang menginjaknya, yang namanya sama dengan namaku." ( Kanzul Umal jilid XIV hal.263 oleh Al-Muttaqi al-Hindy ). Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi.

Dalam buku Al-Jami'ush Shaghir, jilid II hal. 580 oleh As-Suyuthi yang mengutib dari Abu Dawud diriwayatkan bahwa Nabi S A W bersabda: "Al-Mahdi itu dari (keturunan)-ku, keningnya lebar, hidungnya mancung, dia akan memenuhi dunia dengan keadilan, sebagaimana ia telah dipenuhi dengan kejahatan dan kedzaliman, dia akan menjadi pemimpin selama 7 tahun. Selanjutnya Assuyuthi dalam kitabnya yang lain Al-Hawi lil Fatawa jilid II hal. 57 menerangkan dalam bab hadits mengenai Al-Mahdi sbb: "Ini adalah serangkaian hadits dan atsar yang disepakati, yang bertutur mengenai Al-Mahdi. Aku telah menyaring sebanyak 40 hadits yang dikumpulkan oleh Al-Hafid Abu Nu'aim, dan menambahkannya apa yang dia tidak memilikinya. Aku memberi catatan dengan huruf "Kaf"

Kami akhiri sampai disini hadits-hadits mengenai Al-Mahdi, kami tidak dapat menyebutkan satu persatu karena jumlahnya sangat banyak sekali, yang dirawikan oleh ulama-ulama besar kepercayaan ummat Muhammad S A W, cukuplah bagi anda disini kami sebutkan fatwa Sekjen Rabithah Alamil Islami dan Rektor Universitas Islam Madinah yang dimuat dalam Majalah Al-Jami'ah Al-Islamiyah, No. 3 hal 161 - 162 sbb: " Sesungguhnya masalah Al-Mahdi merupakan masalah yang menjadi pengetahuan umum, dan hadits-hadits mengenainya banyak sekali, bahkan mencapai tingkat mutawatir. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa munculnya tokoh yang dijanjikan ini merupakan suatu perkara yang telah tetap kebenarannya (yakni suatu kebenaran yang tak bisa diragukan lagi), dan munculnya adalah benar.

Seorang dozen dalam Universitas tersebut bernama Ustad Syeh Abdul Muhsin Al-Ibad dalam bukunya : Muhadharah haula al-imam Al-Mahdi wa At-Ta'liq 'Alaiha, hal. 26, yang juga disampaikan dalam kuliahnya yang berjudul "Akidah Ahlus Sunnah dan Atsar tentang Al-Mahdi Al-Muntadhar sbb: Jumlah yang saya ketahui dari nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Al-Mahdi dari Rasulullah S A W, adalah 26 orang mereka adalah :

1. Ustman ibn Affan, 2. Ali ibn Abi Thalib, 3. Thalhah ibn Ubaidillah, 4. Abdurrahman ibn Auf, 5. Al-Husain ibn Ali, 6. Ummu Salamah, 7. Ummu Habibah, 8. Abdullah ibn Abbas, 9. Abdullah ibn Mas'ud, 10. Abdullah ibn Umar, 11. Abdullah ibn Amr, 12. Abu Sa'id Al-Hudri, 13. Jabir ibn Abdullah, 14. Abu Hurairah, 15. Anas ibn Malik, 16. Ammar ibn Yasir, 17. Auf ibn Malik, 18. Tsauban maula Rasulullah, 19. Qurrah ibn Ayas, 20. Ali Al-Hilali, 21 Hudzaifah ibn Al-Yaman, 22. Abdullah ibn Al-Harits ibn Hamzah, 23. Auf ibn Malik, 24. Imran ibn Husain, 25. Abu Ath-Thufail, 26. Jabir Ash Shadafi. Selanjutnya beliau berkata : "Dan hadits -hadits Al-Mahdi itu telah dinukil oleh sejumlah besar imam dalam kitab-kitab shahih dan sunan, Mu'jam dan Musnad, serta lain-liannya. Jumlahnya kitab-kitab mereka yang saya ketahui atau yang saya ketahui bahwa mereka menukilnya 38.

Sangat panjang sekali bila saya sebut satu persatu disini, sebagai contoh cukup dibawah ini:

Abu Dawud dalam Sunannya, Turmudzi dalam Jami'nya, Ahmad dalam Musnadnya dan Ibn Hibban dalam Shahihnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadarak, Abu Bakar ibn Abi Syaibah dalam Mushnif, Al-Hafizh (si penghafal lebih dari 100.000 hadits) Abu Nu'aim dalam kitab Al-Mahdi, Ath-Thabary dalam ketiga kitabnya Alkabir, Al-awsath dan Ashshaghir, Darul Qutny dalam Al-Afrad, Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Assuyuthi dalam Al-Urf Al-Wardy dan Al-Hawy fil Fatawa, Ibnu Jarir dalam Tahzib al Atsar, Al-Baihagy dalam Dala'ilun Nubuwah, Ibnu Sa'ad dalam Thabaqod.

Demikianlah jawaban saya ini, saya akhiri semoga anda menjadi puas dengan keterangan yang singkat ini, adapun buku-buku yang anda tunjuk itu adalah buku-buku yang dikarang oleh ulama-ulama yang kurang representatif, mungkin juga kurang bahan rujukan atau mereka yang dihinggapi penyakit kebencian terhadap keluarga Nabi S A W, yang nota bonenya adalah kebencian terhadap Nabi sendiri, mereka mengira ini adalah masalah yang ringan yang tiada perhitungannya disisi Al-Khaliq, ilmu mereka tidak sampai pada kerongkongan mereka, mereka merasa puas dengan apa yang telah dicapai dengan cara demikian itu, semoga Allah S W T menjadikan kita semua menjadi hamba-hambanya yang mengimani apa-apa yang wajib diimani dan memberi petunjuk selalu untuk mengikuti apa-apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya S A W, Semoga Allah mempercepat kehadiran Imam Mahdi yang dinanti-nantikan itu dan menjadikan kita sebagai bala tentaranya yang selalu setia mengikuti perintahnya Amin.

Pertanyaan

Imam Mahdi siapa namanya ?

Ada yang mengatakan Mahdi bin Hasan, Ada pula yang mengatakan Mahdi bin Hanafiah dan ada lagi yang mengatakan Mahdi bin Abdullah.

Mohon dijelaskan dan bagaimana silsilahnya ?.

Jawaban

Segala Puja dan Puji untuk Allah, shalawat dan salam untuk Nabi yang dicintai dan dikasihi oleh ruh, jiwa dan jasad kita demikian juga untuk kelurganya aththoyyibin aththohirin.

Masalah Imam Mahdi adalah salah satu masalah yang cukup rumit dalam Islam namun keshahihannya tidak dapat dipungkiri menurut Imam Suyuti dari jalur ulama jumhur lebih dari 500 hadits yang berkualitas shahih dan hasan, sedang menurut jalur ulama yang menghubungkan diri pada Imam Ja’far Ashshadiq ada sekitar 6.000 hadits. Dibawah ini adalah Hadits-hadits tambahan dari yang lalu :

a. Al-Mahdi adalah berasal dari keturunanku, yaitu anak cucu Fathimah. (riwayat : Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dll).

b. Kami anak-anak Abdul Muththalib, adalah pemimpin para penghuni surga. Aku, Hamzah, Ali, Jakfar, Alhasan, Alhusain dan Almahdi. (Sunan Ibnu Majah jilid II halaman 1368).

c. Dunia tidak akan lenyap dan tidak akan musnah, sampai muncul seorang laki-laki dari Ahli Baitku yang menginjaknya, namanya sama dengan namaku. (Kanzul Umal jilid XIV halaman 263 oleh Al-Muttaqi Al-Hindi). dilain riwayat :”nama ayahnya sama dengan nama ayahku”.

d. Almahdi berasal dari keturunan Hasan (Sunan Abu Dawud)

e. Almahdi berasal dari keturunan Husain (Ashshawa’iqul Mughriqah oleh Ibnu Hajar dan Al-Fushulul Muhimah oleh Ibnu Khallikan).

Dari uraian diatas yang paling jelas adalah bahwa Imam Mahdi itu dari keturunan Rasulullah Muhammad bin Abdilllah dari keturunan putrinya yaitu Sayyidatinah Aththahirah Fathimah Azzahrah a. s. dan nama Imam Mahdi adalah Muhammad. Jadi Imam Mahdi itu bukan Ibnu Hanafiah, sebab Ibnu Hanafiah adalah dihubungkan kepada Muhammad Ibnu Hanafiah yaitu anak Sayyidinah Ali bin Abi Thalib yang ibunya dari suku Hanafiah (bukan Siti Fatimah). Yang menjadi masalah sekarang adalah : Namanya Muhammad bin Abdullah atau Muhammad bin Hasan, dan apakah dari keturunan Hasan atau Husain yang kedua-duanya adalah anak pasangan suami - istri Sayyidinah Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah binti Rasulillah S A W?.

Mari Kita amati keterangan dibawah ini yang dinukil dari kitab : ”Is’af Al-Raghibin fi Sirah Al-Mushthafa wa Fadha’il Ahli Baithi Al-Thahirin” karya Al-Imam Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Syaih Muhammad bin Ali Al-Shabban Rahimahullah sebagai berikut :

Sayyidi Abdul Wahab Al-Sya’rani mengatakan di dalam kitabnya Al-Yawaqit wal Jawahir bahwa Al-Mahdi itu berasal dari putra Imam Hasan Al-Askari. Lahir pada malam pertengahan bulan sya’ban tahun dua ratus lima puluh lima Hijriyah. Ia tetap hidup sampai sekarang dan akan bergabung dengan Nabi Isa a. s. Demikianlah yang diberitahukan oleh Syaih Hasan Al-Iraqi kepadaku, dari Imam Al-Mahdi, ketika Syaih Hasan berjumpa dengannya, yang kebetulan dihadiri juga oleh Sayyidi Ali Al-Khawwash rahimahumallaahu Ta’ala.

Syaih Muhyiddin di dalam kitab Al-Futuhat mangatakan : ”Ketahuilah Bahwa Al-Mahdi a. s. itu mesti keluar, namun tidak akan keluar kecuali apabila dunia sudah penuh dengan kezaliman dan dialah yang akan melenyapkan kezaliman itu dan menggantikan dengan keadilan. Dia berasal dari keturunan Rasulullah S A W dari putra Fathimah r. a. Kakeknya adalah Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan ayahnya adalah Imam Hasan Al-Askari bin Imam Ali Al-Naqi bin Imam Muhammad Al-Taqi bin Imam Ali Al-Ridha bin Imam Musa Al-Kazhim bin Imam Jakfar Ashshadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Dalam Kitab Ash-Shawa’iqal Muhriqah karya Ibnu Hajar dalam bab mengenai ihwal Al-’Askari terdapat uraian sebagai berikut : ”Beliau (Imam Hasan Al-’Askari) tidak meninggalkan keturunan seorangpun selain putranya yaitu Abal Qasim Muhammad AlHujjah a.s., yang umurnya ketika ayahnya wafat adalah 5 tahun. Tetapi dalam usia tersebut Allah telah menganugrahkan kepadanya hikmah, dan dia dinamakan Al-Qa’im Al-Muntadzar. Dikatakan bahwa, yang demikian itu karena dia telah ”dirahasiakan” , kemudian menghilang dan tidak diketahui kemana perginya. Penulis lain dari kalangan jumhur ulama juga menuturkan hal serupa, misalnya Ibnu Khallikan, pengarang Al-Fushulul Muhimah, Mathalibus Su’ul, Syawahidun Nubuwah sebagai mana yang diterangkan oleh syaih Abdullah Syabar dalam karyanya yang berjudul Haqqul Yaqin. Wallahu a’lam

Imam Muhammad Al-Mahdi as

Narna : Muhammad

Gelar : Al-Mahdi, Al-Qoim, Al-Hujjah, AL-Muntadzar,

Shohib Al-Zaman, Hujjatullah

Julukan : Abul Qosim

Ayah : Hasan AL-Askari

Ibu : Narjis Khotun

Tempal/Tgl Lahir : Samara', Malam Jum'at 15 Sya'ban 255 H.

Ghaib Sughra : Selama 74 Tahun, di mulai sejak kelahirannya hingga tahun 329

Ghaib Kubra : Sejak Tahun 329 hingga saat ini

Riwayat Hidup

"Dan sungguh telah Kami tulis dalam zabur sesuduh (Kami tulis dalam) Lauh Mahfud, bahwu bumi ini akan diwarisi oleh hamha-hamba-Ku yang saleh (QS:21:105)

Kaum muslimin, dengan segala perbedaan mazhab yang ada, sepakat mengen akan datangnya sang pembaharu bagi dunia yang telah dilanda kezaliman dan kerusakan, untuk kemudian memenuhinya dengan keadilan. Rasulullah saww mengabarkan bahwa sang pemhaharu ini mempunyai nama yang sama dengan namanya.

Manusia pilihan itu tidak lain adalah Muhammad bin al-Hasan al-Mahdi bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kazim bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang juga putra Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saww.

Beliau dilahirkan di Samara' pada tahun 255 H. Ibunya adalah Narjis yang dulunya seorang jariah. Hingga berumur 5 tahun, beliau diasuh, dibimbing dan dididik oleh ayahandanya sendiri. Hasan al-Askari. Hingga saat ini beliau masih hidup dan akan muncul dengan seizin Allah untuk memenuhi bumi dengan keadilan.

Kehidupan politik di zaman heliau sarat dengan kekacauan, fitnah dan pergolakan yang terjadi di mana-mana. Keadaan ini dilukiskan oleh Thahari: "Pada masa pemerintahan al-Mukhtadi seluruh dunia Islam dilanda oleh fitnah".(Tarikh Thabari, Jilid VII hal 359)

Dalam situasi seperti inilah, Imam akhirnya ghaib dan hanya beberapa orang saja yang bisa menermuinya. Keghaiban Imam Mahdi terdiri dari dua periode; Ghaib Sughra dan Ghoib Kubra. Ghaib Sughra berlangsung sejak kelahiran beliau tahun 225 H, semasa hidup ayahnya. Pada masa Ghaib Sughra ini beliau hanya bisa ditermui oleh empat orang wakilnya yaitu:

1. Utsman bin Said al-Umari al-Asadi.

2. Muhammad bin Utsman bin Said al-Umari al-Asadi, wafat tahun 305 H.

3. al-Husein bin Ruh al-Naubakti, wafat tahun 320 H.

4. Ali bin Muhammad al-Samir, wafat 328/329 H.

Keghaiban Sughra ini berlangsung selama 70 tahun. Sedang Ghaib Kubra terjadi sejak wafatnya wakil Imam yang keempat, Ali bin Muhammad Al-Samir, hingga Allah mengijinkan kemunculannya. Dalam masa Ghaib Kubra ini terputuslah hubungan beliau dengan para pengikutnya. Semoga Allah mempercepat kemunculannya. Amin Ya Rabbal 'Alamin.

Imam Hasan Al-Askari as

Nama : Hasan

Gelar : Al-Askari

Julukan : Abu Muhammad

Ayah : Ali Al-Hadi

Ibu : Haditsah

Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rabiul Tsani 232 H.

Hari/Tgl Walat : Jum'at, 8 Rabiul Awal 260 H

Umur : 28 Tahun

Sebab Kematian : Diracun Khalifah Abbasiah

Makanan : Samara'

Jumlah Anak : 1 orang ; Muhammad Al-Mahdi

Riwayat Hidup

Di pusat kota Madinah, tempat berhijrahnya baginda Rasulullah saww, di pusat pengembangan Islam serta tempat berdirinya Madrasah Ahlul Bait Nabi saww, lahirlah manusia suci dari keturunan Rasulullah, yang bernama Imam Hasan al-Asykari putra Imam Ali al-Hadi. Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Tsani 213 H. Sedang julukan al-Askari yang beliau sandang itu karena dinisbatkan pada suatu lempat yang bernama Asykar, di dekat kota Samara', Ibunya adalah seorang jariah yang bernama Haditsa, walau ada juga yang berpendapat bahwa namanya Susan, Salil.

Sejak masa kecilnya hingga berusia 23 tahun lebih beberapa bulan, beliau melewatkan waktunya di bawah asuhan, bimbingan dan didikan ayahnya, Ali al-Hadi. Tidak heran, jika beliau akhirnya menjadi orang terkermuka dalam bidang ilmu, akhlak dan ibadahnya. Sepanjang waktu itu beliau menimba ilmu dari pohon suci keluarga Rasulullah saww sekaligus menerima warisan imamah dari ayahnya atas titah Ilahi.

Mengenai situasi politik di zamannya, beliau hidup sezaman dengan al-Mu'taz, al-Mukhtadi dan al-Mu'tamad. Selama tujuh tahun masa keimamahannya, beliau serta semua pengikutnya mendapatkan tekanan dari pemimpin Dinasti Abbasiyah.

Imam Hasan al-Asykari pernah di penjara tanpa alasan sedikit pun. Rasa iri terhadap Ahlul Bait Rasulullah saww telah merasuk hampir kepada seluruh raja Dinasti Abbasiyah. Melihat penindasan yang sangat menekan itu, Imam Hasan, Imam Hasan al-Askari a.s. mengambil inisiatif untuk memberlakukan sistem taqiyah bagi para pengikutnya.

Pada sisi lain, orang-orang Turki mulai mempunyai kedudukan yang kuat dalam bidang politik. al-Mu'taz. berusaha menyingkirkan mereka, namun mereka cukup kuat. Dan ketika terjadi keributan antara orang-orang Turki dengan pasukan al-Mutaz., akhirnya pasukan al-Mu'taz berhasil dikalahkan dan al-Mu'taz sendiri kemudian diturunkan dari tahtanya oleh Salih bin Washif al-Turki dan disiksa serta dipenjarakan dalam sel yang sempit hingga mati. ltu semua terjadi pada tahun 255 H. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan al-Mukhtadi, yang juga mengalami bentrokan dengan orang-orang Turki. Dia pun benasib buruk dan terbunuh pada tahun 256 H.

Setelah kematian al-Mukhtadi, kekuasaan beralih ke tangan al-Muktamid. Dia tidak berbeda dengan penguasa-penguasa sebelumnya dalam hal kebencian dan kedengkiannya kepada Ahlul Bait. Apalagi dia mendengar bahwa dan Imam Hasan al-Askari akan lahir Imam Mahdi, yang akan menegakkan keadilan. Kebenciannya itu terbukti dari segala cara yang dia gunakan untuk menyingkirkan dan membunuh Hasan al-Askari. Ketika Hasan al-Askari dalam keadaan sakit, al-Muktamid mengutus seorang dokter serta hakim dan pengawalnya untuk memata-matai segala gerak-gerik Imam.

Akhirnya Imam Hasan al-Askari syahid melalui racun pada tahun 260 H/872 M. Beliau kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam ayahandanya di Samara.

Para pengikutnya merasa kehilangan, namun mereka herhasil menimba ilmu dari beliau. Diriwayatkan bahwa ada ratusan ulama yang beliau didik dalam bidang agama dan hadis

Imam Ali Al-Hadi An-Naqi as

Nama : Ali

Gelar : al-Hadi, al-Naqi

Julukan : Abu al-Hasan al-Tsaalits

Ayah : Muhammad Al-Jawad

lbu : al-Maghrabiah

Tempat/Tgl : Madinah, 15 Dzul-Hijjah/5 Rajab 212 H.

Hari/Tgl Wafat : Senin, 3 Rajab 254 H

Umur : 41Tahun

Sebab Kematian : Diracun Al-Mu'tamad al-Abbasi

Makam : Samara

Jumlah Anak : 5 orang; 4 Laki-Laki dan Perempuan

Anak Laki-laki : Abu Muhammad al-Hasan, al Husein, Muhammad, Ja’far

Anak Perempuan : Aisyah

Riwayat Hidup

Keberadaan seorang Imam sangat penting dalam menjaga kelestarian syariat serta kelangsungan peradaban sejarah. Mereka haruslah orang yang paling utama dalam

bidang keilmuan, pemikiran dan politik, karena mereka adalah pemimpin bagi umat yang akan membimbing dan menyelesaikan segala permasalahan. Adanya keimamahan ini tidak lain merupakan kasih sayang ilahi terhadap umat manusia.

Dari kota risalah dan dari silsilah keluarga teragung dan termulia, lahirlah Ali al-Hadi bin Imam Muhammad al- Jawad. lbunya, Sumanah (al-Maghrabiah), merupakan se-orang Wanita yang shalihah. Imam Ali al-Hadi berada di bawah pemeliharaan dan pendidikan ayahnya sendiri. Tak syak lagi jika beliau kemudian menjadi panutan dalam akhlak, kezuhudan. ibadah, keilmuan dan kefaqihannya.

Bukan hanya karena kelebihannya saja yang menyebabkan beliau pantas menjadi Imam. namun penunjukan dari Imam sebelumnya atas titah Ilahi juga menjadi atasan kei- mamahannya. Semua orang, ulama, penguasa, mengetahui dengan jelas keimamahannya. Tampaknya itulah yang melahirkan pertentangan antara Muawiyah dengan Imam Ali a.s. dan Imam Hasan a.s, pertentangan Imam Husein dengan Yazid bin Muawiyah; pertentangan Hisyam bin Abdul Malik dengan Imam Muhammad al-Baqir a.s. dan Imam Ja'far as- Shadiq a.s, antara Abu Ja'far al-Manshur dengan Imam Ja'far Shadiq a.s, antara Harun ar-Rasyid dengan Imam Musa al-Kazim a.s, antara al-Makmun dengan Imam Ali ar-Ridha a.s., antara Muktasim dengan Imam Muhammad; Imam Ali Hadi an-Naqi a.s. al-Jawad a.s., antara al-Mutawakkil dengan lmam Ali al-Hadi a.s.

Masa keimamahan Ali al-Hadi adalah masa yang sarat dengan berbagai kerusakan, kejahatan serta merosotnya ekonomi rakyat akibat banyaknya pajak serta sulitnya keadaan. Beliau hidup semasa dengan Muktasim, al-Wasiqbillah, al- Mutawakkil, al-Muntasir, al-Musta’in dan al-Mu'taz.

Al-Muktasim merupakan salah seorang penguasa Bani Abbasiyah yang kehidupannya di isi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Allah, seperti meminum-minuman keras, suka tari-tarian serta pembunuhan terhadap pengikut Ahlul Bait. Dizamannyalah ayahanda Ali al-Hadi, wafat karena diracun. Hingga akhirnya al-Muktazim mati dengan berlumuran dosa dan berlumuran darah para pengikut Ahlul Bait. Setelah kematian Al-Muktasim 227 H, kekuasaan beralih ke tangan al-Wasiqbillah

Penderitaan para pengikut Ahlul Bait sedikit berkurang di zaman al-Wasiqbillah. Namun walau bagaimanapun, keadaan sosial dan politik tetap tidak mendukung penyebaran misi Ahlul Bait. Selama 5 tahun 7 bulan al-Wasiqbillah memegang tampuk kekuasaan dan setelah kematiannya kekuasaan beralih ke tangan al-Mutawakkil. Dalam sikap permusuhannya terhadap Ahlul Bait, Mutawakkil lak ada bandingannya di antara raja Abbasiah. Dia tak segan-segan merampas, menganiaya, bahkan membunuh siapapun yang dianggap setia kepada Ahlul Bait. Sedang keturunan Rasulullah saww, baik yang di Hijaz atau yang di Mesir, kehidupannya sangat memperihatinkan. Rakyat tidak diperkenankan sedikitpun untuk membantu neraka, hingga dikisahkan bahwa baju yang dipakai kaum wanita Fatimiyah, hanyalah baju yang menutupi separuh badan. Kudung tua yang dipakai untuk salat, mereka pake secara hergantian.

Tidak cukup hanya memusuhi Ahlul Bait dan keturunan Rasulullah saww serta para pengikutnya, tapi dia (Mutawakkil) juga sangat memusuhi Imam Ali bin Abi Thalib, yang dikutuk secara terang-terangan. Di suatu waktu dia memerintahkan seorang pelawaknya untuk mengejek dan menghina Imam Ali bin Abi Thalib di sebuah jamuan pesta yang diadakannya. Pada tahun 237 H/850 M, dia memerintahkan untuk meratakan makam Imam Husein a.s. yang ada di Karbala dan beberapa rumah di sekitarnya.

Pada tahun 243 H/857 M, akibat tuduhan palsu. al-Mutawakkil memerintahkan salah seorang pejabatnya untuk menyuruh Imam Ali al-Hadi pindah ke Samarah yang ketetika itu menjadi ibu kota. Dengan sabar Imam menanggung siksaan dan malapetaka dari Mutawakkil -penguasa Abbasiyah- sampai akhirnya al-Mutawakkil mati terbunuh saat mabuk dan digantikan al-Muntasir.

Al-Muntasir menggantikan ayah andanya sejak 248 H. Dia merupakan salah seorang penguasa yang sangat memusuhi kebejatan ayahnya (al-Mutawakkil). dan sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah saww. Walau hanya berkuasa selama 6 bulan. Beliau telah hanyak berlaku baik dan lemah lembut kepada Bani Hasyim serta tidak pernah meneror apalagi membunuhnya, bahkan tanah Fadak dikembalikan kepada Ahlul Bait sebagai pemilik yang syah. Enam bulan setelah berkuasa, beliau wafat dan digantikan oleh al-Musta’in.

Di masa al-Musta'in, kekejaman dan kesewenang-wenangan kembali merajalela. Pemerintahannya yang kacau dan kejam, hanya berlangsung 2 tahun 9 bulan. Atas perintah saudaranya (al-Mu'taz), dia dibunuh dan dipenggal. Kekuasaan beralih ke tangan al-Mu'taz. Dia tidak kalah kejamnya dengan al-Mutawakkil dan al-Musta'in, dan dizaman inilah Imam dipanggil ke "Samara".

Penderitaan, penganiayaan dan penindasan dihadapi dengan sabar oleh Imam Ali al-Hadi. Akhirnya, beliau harus pulang ke Rahmatullah melalui racun yang diletakkan pada makanannya oleh al-Mu'taz. Kesyahidan tersebut terjadi pada tanggal 26 Jumadil Tsani 254 H dan doa pemakamannya dipimpin oleh putra beliau yaitu Imam Hasan al-Asykari. Ketika wafat, beliau berusia 42 tahun yang kemudian dimakamkan di Samara.

Imam Muhammad Al-Jawad as

Nama : Muhammad

Gelar : Al-Jawad, Al-Taqi

Julukan : Abu Ja'far

Ayah : Ali Ar-Ridha

Ibu : Sabikah yang dijuluki Raibanah

Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rajab 195 H.

Hari/Tgl Wafat : Selasa, Akhir Dzul-Hijjah 220 H.

Umur : 25 Tahun

Sebab kematian : diracun istrinya

Makam : Al-Kadzimiah

Jumlah Anak : 4 Orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan

Anak Laki-laki : Ali, Musa

Anak Perempuan : Fatimah, Umamah

Riwayat Hidup

Ahlul Bait Nabi saww yang akan kita bicarakan kAliini adalah Muhammad al Jawad. Beliau adalah putra dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. yang dikenal sebagai orang yang zuhud, alim serta ahli ibadah. lbunya Sabikah, berasal dari kota Naubiyah. Di masa kanak-kanaknya beliau dibesarkan, diasuh dan dididik oleh ayahandanya sendiri selama 4 tahun. Kemudian ayahandanya diharuskan pindah dari Madinah ke Khurasan. ltulah pertermuan terakhir antara beliau dengan ayahnya, sebab ayahnya kemudian mati diracun. Sejak tanggal 17 Safar 203 Hijriah, Imam Muhammad aL-Jawad memegang tanggung jawab keimaman atas pernyataan ayahandanya sendiri serta titah dari Ilahi.

Beliau hidup di zaman peralihan antara al-Amin dan al-Makmun. Pada masa kecilnya beliau merasakan adanya kekacauan di negerinya. Beliau juga mendengar pengangkatan ayahnya sehagai putra mahkota yang mana kemudian terdengar kabar tentang kematian ayahnya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan sifal-sifat yang mulia serta tingkat kecerdasan yang tinggi. Dikisahkan bahwa ketika ayahnya dipanggil ke Baghdad, beliau ikut mengantarkannya sampai ke Makkah. Kemudian ayahnya tawaf dan berpamitan kepada Baitullah. Melihat ayahnya yang berpamitan kepada Baitullah, beliau akhirnya duduk dan tidak mau berjalan. Setelah ditanya, beliau menjawab: "Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan tempat ini kalau ayah sudah berpamitan dengan Bait ini untuk tidak kembali kemari". Dengan kecerdasannya yang tinggi beliau yang masih berusia empat tahun lebih bisa merasakan akan dekatnya perpisahan dengan ayahnya.

Dalam bidang keilmuan, beliau telah dikenal karena seringkali berdiskusi dengan para ulama di zamannya. Beliau mengungguli mereka semua, baik dalam bidang fiqih, hadis, tafsir dan lain-lainnya. Melihat kepandaiannya, al-Makmun sebagai raja saat itu, berniat mengawinkan Imam Muhammad al-Jawad dengan putrinya, Ummu Fadhl.

Rencana ini mendapat tantangan keras dari kaum kerabatnya, karena mereka takut Ahlul Bait Rasulullah saww akan mengambil alih kekuasaan. Mereka kemudian mensyaratkan agar Imam dipertemukan dengan seorang ahli agama Abbasiyah yang bernama Yahya bin Aktsam. Pertemuan pun diatur, sementara Qodhi Yahya bin Aktsam sudah berhadapan dengan Imam. Tanya jawab pun terjadi, ternyata pertanyaan Qodi Yahya bin Aktsam dapat dijawab oleh Imam dengan benar dan fasih. namun pcrtanyaan Imam tak mampu dijawabnya. Gemparlah semua hadirin yang ikut hadir saat itu. Demikian pula halnya dengan al-Makmun, juga mersa kagum sembari herkata: "Anda hebat sekali, wahai Abu Ja'far". Imam pun akhirnya dinikahkan dengan anaknya Ummu al-Hadlil, dan sebagai tanda suka cita, al-Makmun kemudian membagi-bagikan hadiah secara royal kepada rakyatnya. Setahun setelah pernikahannya Imam kembali ke Madinah hersama istrinya dan kembali mengajarkan agama Allah.

Meskipun di zaman al-Makmun, Ahlul Bait merasa lebih aman dari zaman sebelumnya, namun beberapa pemberontakan masih juga terjadi. Itu semua dikarenakan adanya perlakuan-perlakuan yang semena-mena dan para bawahan al-Makmun dan juga akibat politik yang tidak lurus kepada umat.

Setelah Al-Makmun mati, pemerintahan dipimpin oleh Muktasim. Muktasim menunjukkan sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti juga para pendahulunya. Penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terjadi lagi, hingga pemberontakan terjadi dimana-mana dan semua mengatasnamakan "Ahlul Bait Rasulullah saww". Melihat pengaruh Imam Muhammad yang sangat besar ditengah masyarakat, serta kemuliaan dan peranannya dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka al-Muktasim tidak berbeda dengan para pendahulunya dalam hal takutnya terhadap keimamahan Ahlul Bait Rasulullah saww.

Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya al-Muktasim meminta Imam pindah dari Madinah ke Baghdad sehingga Imam berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pengawasan. Kepergiannya dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang jalan.

Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Muktasim yaitu dengabn cara meracuninya. Menurut riwayat beliau diracun oleh istrinya sendiri, Ummu Fadl, putri al-Makmun atas hasutan al-Muktasim. Imam Muhamad wafat dalam usia relatiisf muda yaitu 25 tahun dan dimakamkan disamping datuknya, Imam Musa Kazim, di Kazimiah, perkuburan Qurays di daerah pinggiran kota Bagdad. Meskipun beliau syahid dalam umur yang relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik umal sangatlah besar sekali.