Senin, 29 Desember 2008

Imam Muhammad Al-Baqir as



Nama : Muhammad

Gelar : Al-Baqir

Julukan : Abu Ja'far

Ayah : Ali Zainal Abidin

lbu : Fatimah binti Hasan

Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 1 Rajab 57 H.

Hari/Tgl Wafat : Senin, 7 Dzulhijjah 114 H.

Umur : 57 Tahun

Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik

Makam : Baqi’, Madinah

Jumlah Anak : 8 orang; 6 laki-laki dan 2 perempuan

Anak Laki-laki : Ja’far Shodiq, Abdullah, Ibrahi, Ubaidillah, Reza, Ali

Anak Perempuan : Zainab, Ummu Salamah

Riwayat Hidup

Keimamahan Muhammad Al-Baqir, dimulai sejak terbunuhnya Ali Zainal Abidin a.s. melalui racun yang mematikan. Beliau merupakan orang pertama yang nasabnya bertemu antara Imam Hasan dan Imam Husein yang berarti beliau orang pertama yang bernasab kepada Fatimah Az-Zahra’, sekaligus dan pihak ayah dan ibu.

Selama 34 Tahun beliau berada dalam perlindungan dan didikan ayahnya, Ali Zainal Abidin a.s. Selama hidupnya beliau tinggal di kota Madinah dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT serta membimbing masyarakat ke jalan yang lurus.

Mengenal keilmuan dan ketaatannya, kita simak kata-kata lbnu Hajar al-Haitami, seorang ulama sunni yang mengatakan: "Imam Muhammad AL-Baqir telah menyingkapkan rabasia-rahasia pengetahuan dan kebijaksanaan, serta membentangkan prinsip-prinsip spiritual dan agama. Tak seorangpun dapat menyangkal kepribadiannya yang mulia, pengetahuan yang diberikan Allah, kearifan yang dikaruniakan oleh Allah dan tanggung jawab serta rasa syukurnya terhadap penyebaran pengetahuan. Beliau adalah seorang yang suci dan pemimpin spiritual yang sangat berbakat. Dan atas dasar inilah beliau terkenal dengan gelar al-baqir yang berarti pengurai ilmu. Beliau baik hati, bersih dalam kepribadian, suci jiwa, dan bersifat mulia. Imam mencurahkan seluruh waktunya dalam ketaatan kepada Allah (dan mempertahankan ajaran-ajaran nabi suci dan keturunannya). Adalah di luar kekuasaan manusia untuk menghitung pengaruh yang mendalam dan ilmu dan bimbingan yang diwariskan oleh Imam pada hati orang-orang beriman. Ucapan-ucapan beliau tentang kesalehan, pengetahuan dan kebijaksanaan, amalan dan ketaatan kepada Allah, begitu banyak sehingga isi buku ini sungguh tidak cukup untuk meliput semuanya itu".

Beliau menipakan salah seorang imam yang bidup di zaman yang bukan zaman Rasullah saww, namun jauhnya jarak waktu antara beliau dan Rasulullah bukan merupakan atasan untuk merasa jauh dengan beliau saww. Diriwayatkan: "Suatu kali Jabir bin Abdullah al-Anshori bertanya kepada Rasulullah saww: Ya Rasulullah, siapakah imam-imam yang dilahirkan dan Ali bin Abi Thalib? Rasulullah saww menjawab, Al-Hasan dan Al-Husein, junjungan para pemuda ahli surga, kemudian junjungan orang-orang yang sabar pada zamannya, Ali ibn al-Husein, lalu al-Baqir Muhammad bin AlĂ®, yang kelak engkau ketahui kelahirannya, Wahai Jabir. Karena itu, bila engkau nanti bertemu dengannnya, sampaikanlah salamku kepadanya".

Mengenai situasi pemerintahan yang terjadi di zaman beliau, dua tahun pertama dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik yang sangat memusuhi keluarga nabi dan dialah yang memprakarsAl pembunuhan Ali Zainal Abidin a.s. Dua tahun berikutnya beliau juga hidup bersama raja Sulaiman bin Abdul Malik yang sama jahat dan durjananya dengan selainnya, yang seandainya dibandingkan maka dia jauh lebih bejat dari penguasa Bani Umayyah yang sebelumnya. Kemudian tampuk kepemimpinan berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, seorang penguasa Bani Umayyah yang bijaksana dan lain dari selainnya. Beliaulah yang menghapus kebiasaan melaknat Imam Ali bin Abi Thalib di setiap mimbar Jum'at, yang diprakarsai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan telah berjalan kurang lebih 70 tahun. Beliau pula yang mengembalikan tanah Fadak kepada Ahlu Bait Nabi yang pada waktu itu diwakili Imam Muhammad aL-Baqir (AL-Khishal. Jilid 3. Najf Al-Asyraf). Namun sayang beliau tidak berumur panjang dan pemerintahannya hanya berjalan tidak lebih dari dua tahun lima bulan. Pemerintahan kemudian beralih ke tangan seorang pemimpin yang laim yaitu Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.

Pemerintahan Hisyam diwarnai dengan kebejatan moral serta pengejaran dan pembunuhan terhadap para pengikut Ahlu Bait. Zaid bin Ali seorang keluarga rasul yang Alim dan syahid gugur di zaman ini. Hisyam kemudian memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan markas-markas Islam yang dipimpin oleh Imam Baqir a.s. Salah seorang murid Imam al-Baqir yang bernama Jabir al-Ja'fi juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Namun, demi keselamatannya Imam Muhammad al-Baqir menyuruhnya agar pura-pura gila. Beliau pun menerima saran dari Imam dan selamat dari ancaman pembunuhan, karena penguasa setempat mengurungkan niatnya setelah yakin bahwa Jabir benar-henar gila.

Ketika semua makar dan kejahatan yang telah ditempuh untuk menjatuhkan Imam Muhammad AL-Baqir tidak berhasil, sementara orang-orang semakin yakin akan keimamahannya, maka Bani Umayyah tidak punya alternatif lain kecuali pada tanggal 7 Zulhijjah 114 H, ketika Imam Baqir berusia 57 tahun, Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan si penguasa yang zalim, menjadikan imam syahid dengan meracuninya, dan jenanahnya dibaringkan di Jannatul Baqi' Madinah.

Ahlul Bait Nabi saww berguguran satu demi satu demi mengharap ridha dari Allah SWT. Semoga salam dilimpahkan kepada mereka ketika mereka dilahirkan, di saat mereka berangkat menghadap Tuhannya, dan saat dibangkitkan kelak.
Imam Muhammad bin Ali Al-Baqir as
Al-Baqir Muhammad bin Ali bin al-Hussain a.s., adalah penerus dari ayahnya, 
 
Ali bin al-Hussain a.s, wasinya, dan orang yang meneruskan posisi imamah setelahnya. 
 
Dia melebihi saudara-saudaranya dalam bidang ilmu keagamaan, kesederhanaan dan 
 
kepemimpinan. Dia adalah orang yang paling dikenal di antara mereka, 
 
satu-satunya yang dihormati baik oleh non-Shia dan Shia sendiri, dan yang 
 
paling mampu di antara mereka. Tidak ada satupun keturunan dari al-Hasan dan al-Hussain a.s. 
 
menunjukkan kemampuan yang sama dalam pengetahuan keagamaan, tradisi, sunnah-sunnah, 
 
pengetahuan tentang Qur'an dan kehidupan Rasulullah SAAW, dan teknik kesusastraan, sebagaimana 
 
yang ditunjukkan oleh Abu Ja'far (Muhammad al-Baqir) a.s. Sahabat-sahabat Rasulullah SAAW, 
 
para tabi'in, dan ulama-ulama Muslim melaporkan banyaknya prinsip-prinsip keagamaan 
 
di bawah kepemimpinan Imam al-Baqir a.s. Dengan kelebihan moral dan perilakunya dia menjadi 
 
tolak ukur dalam pengetahuan di keluarganya. Banyak cerita dan puisi yang didedikasikan 
 
untuknya.
Al-Qurazi berkata:
 
Duhai (engkau) yang membagi (baqir) ilmu pengetahuan (dan membuatnya tersedia) 
 
bagi orang-orang yang membutuhkan dan tempat orang-orang mencari penyelesaian yang terbaik.
Malik bin Ayan al-Juhi berkata tentangnya:
 
Ketika orang-orang mencari ilmu Qur'an, kaum Quraisy bersandar kepadanya.
 
Jika seseorang hanya dapat bertanya dimanakah putra dari putrinya Rasulullah SAAW, 
 
sedangkan engkau memperoleh ribuan cabang (ilmu pengetahuan) darinya.
 
Engkau seperti bintang yang menyinari musafir pada kegelapan, engkau bagaikan
 
gunung yang mewarisi luasnya ilmu pengetahuan.
          Imam a.s. dilahirkan di Madinah pada tahun 57H (676M). Dan wafat pada tahun 114H (732M) 
 
pada usia 57 tahun. Dia adalah pemimpin dari seluruh keluarga Bani Hasyim. Dia adalah 
 
pemimpin dari seluruh keturunan Ali a.s. Dia dikuburkan di kuburan al-Baqi, Madinah, 
 
semoga Allah memberkati dia dan seluruh keluarganya.
          Abu Ja'far a.s. mencatat kembali kejadian-kejadian dari bermulanya sejarah (mubtada') 
 
dan kehidupan Rasulullah SAAW. Kisah tentang kehidupan Rasulullah SAAW (maghazi) 
 
dicatat dibawah kepemimpinannya. Rakyat mengikuti ajaran dari Rasulullah SAAW secara murni 
 
dibawah kepemimpinannya dan bersandar kepadanya tentang ritual-ritual keagamaan dan haji 
 
yang dipelajarinya langsung dari utusan Allah SWT. Baik kaum Shia maupun non-shia 
 
mengikuti kepemimpinannya. Orang-orang banyak belajar ilmu kalam darinya.
 
Imam al-Baqir a.s. dikenal sebagai orang yang bersahaja dan sangat baik hati dan pemurah 
 
kepada yang membutuhkan.
          Telah dilaporkan di bawah kepemimpinannya, dibawah kepemimpinan ayah-ayahnya a.s., 
 
bahwa Rasulullah SAAW dan keluarga beliau sering berkata,"Hal yang terbaik dari pekerjaan 
 
ada tiga: menjaga saudara dengan uang, memberi keadilan kepada orang lain, dan menyebut 
 
nama Allah pada setiap saat."
          Imam Baqir a.s. pernah berkata,"Rakyat telah menyebabkan banyak masalah bagi kami. 
 
Kami menyeru kepada mereka tapi mereka tidak perduli. Tapi jika kami tinggalkan, 
 
tidak akan ada yang membimbing."
          Imam juga pernah berkata,"Apa sebenarnya yang dibenci oleh mereka terhadap kami yang 
 
merupakan anggota keluarga dari Keluarga yang Disucikan, keturunan dari kenabian, 
 
sumber kebajikan?"
          Imam a.s. meninggalkan 7 putera. Semua saudara-saudaranya banyak berbuat kebajikan, 
 
tetapi tidak ada yang dapat menyaingi Imam a.s. karena posisinya yang berkaitan dengan 
 
imamah, karena kedudukannya di mata Allah SWT, dan karena posisinya sebagai khalifah Rasulullah SAAW, 
 
semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan berkah-Nya kepada Imam a.s. dan keluarga beliau. 
 
Periode keimamahannya berlangsung selama 19 tahun.

Imam Ali Zainal Abidin as : Hikmah Haji



Seorang murid Imam Ali Zainal Abidin as bernama asy-Syibli, setelah selesai melaksanakan ibadah haji, pergi menemuinya untuk menyampaikan padanya apa-apa yang dialaminya selama itu. Maka terjadilah percakapan di antara keduanya.

"Wahai Syibli, bukankah anda telah selesai mengerjakan ibadah haji?"

"Benar, wahai putra Rasulullah".

"Apakah anda telah berhenti di Miqat lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit yang terlarang bagi orang yang sedang mengerjakan haji dan kemudian mandi.. . ?"

"Ya, benar ... .?"

"Adakah anda ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian maksiat dan, sebagai gantinya, mengenakan pakaian taat?"

"Tidak .. . ."

"Dan pada saat menanggalkan semua pakaian yang teriarang itu, adakah anda menanggalkan dari diri anda semua sifat riya', nifaq, serta segala yang diliputi syubhat ....?"

"Tidak ..."

"Dan ketika mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, adakah anda bemiat mandi dan membersihkan diri dari segala pelang-garan dan dosa-dosa?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu, anda tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit dan tidak pula mandi membersihkan diri ..!"

Kemudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:

". . . .Dan ketika mandi dan berihram serta mengucap niat untuk memasuki ibadah haji, adakah anda menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada Allah swt.... ?"

"Tidak ...."

". . . . Dan pada saat niat berihram, adakah anda berniat mengharamkan atas diri anda segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla...?"

"Tidak ...."

. . . Dan ketika mulai mengikat diri dalam haji, adakah anda, pada waktu yang sama, melepaskan juga segala ikatan selain bagi Allah?"

Tidak ...."

"Kalau begitu, anda tidak membersihkan diri, tidak berihram, dan tidak pula mengikat diri dalam Haji... .!" Kmudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:

Bukankah anda telah memasuki Miqat, lalu solat Ihram dua rakaat, dan setelah itu mulai rukan talbiah?

Ya,…benar..."

Apakah ketika memasuki Miqat anda meniatkannya sebagai ziarah menuju keridhaan Allah . . ?"

Tidak .. ."

. . Dan ketika shalat Ihram dua rakaat, adakah anda berniat mendekatkan diri, bertaqarrub kepada Allah dengan mengerjakan suatu amal yang paling utama di antara segala macam amal, shalat yang juga merupakan kebaikan yang di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan hamba-hamba Allah swt......?"

Tidak...."

. . Kalau begitu, anda tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiah, dan tidak shalat Ihram dua rakaat!"

Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

"Apakah anda telah memasuki Masjidil Haram, dan memandang Ka'bah, serta shalat di sana ... ?"

"Ya ..., benar..."

"Ketika memasuki Masjidil Haram, adakah anda berniat mengharamkan atas din anda, segala macam pergunjingan terhadap diri kauni muslimin .. . ?"

"Tidak .. .."

". . . . Dan ketika sampai di kota Makkah, adakah anda mengukuhkan niat untuk menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya tujuan ... ?"

"Tidak . . .."

". . Kalau begitu, anda tidak memasuki Masjidi Haram, tidak memandang Ka'bah, dan tidak pun bershalat di sana . . .!"

Dan beliau melanjutkan lagi:

"Apakah anda telah bertawaf mengeliling Ka'bah. Baitullah, dan telah menyentuh rukun rukunnya?"

"Ya..."

". . .Pada saat bertawaf, adakah anda bernia berjalan dan berlari menuju keridhaan Allah Yani Maha Mengetahui segala yang ghaib dan tersembunyi?"

'Tidak .. ."

"Kalau begitu .. ., anda tidak bertawaf mengelilingi Baitullah, dan tidak menyentuh rukun-rukunnya.

Dan beliau melanjutkan pertanyaannya:

"... Dan apakah anda telah berjabatan (bersalam tangan) dengan Hajar Aswad, dan berdiri - bershalat di tempat Maqam Ibrahim?"

"Ya . . . !"

Mendengar jawaban itu, Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis dan meratap, dengan suara merawankan hati seperti hendak meninggalkan hidup ini, seraya berucap:

"Oh, ... oh,... Barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabatan tangan dengan Allah swt.! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang me-nyebabkan engkau kehilangan kemuliaan-agung yang telah kaucapai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkanganmu terhadap Allah dan mengerjakan yang diharamkanNya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa ....!"

Kemudian beliau berkata lagi:

"Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, adakah anda mengukuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala maksiat. ..?"

"Tidak . . ."

"... Dan ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim adakah anda berniat mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. dalam shalat beliau, serta menentang segala bisikan syaitan?"

"Tidak..."

• "Kalau begitu . . . , anda tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, dan tidak pula shalat dua rakaa di dalamnya..."

Dan beliau melanjutkan lagi:

"Apakah anda telah mendatangi dan memandangi sumur Zamzam dan minum airnya ...?'

"Ya...."

"Apakah anda, pada saat memandangnya berniat menujukan pandangan anda kepada semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memejamkan mata terhadap setiap maksiat kepadaNya?

"Tidak ..."

"Kalau begitu ..., anda tidak memandanginya dan tidak pula minum airnya ...!"

Selaujutnya beliau bertanya lagi:

". . . Apakah anda telah mengerjakan Sa'i antara Shafa dan Marwah, dan berjalan pulang pergi antara kedua bukit itu?"

"Ya ...., benar."

"Dan pada saat-saat itu, anda menempatkan diri anda di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan menghadapi azabNya ...?"

"Tidak..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mengerjakan Sa'i dan tidak berjalan pulang-pergi antara keduanya!"

Lalu beliau bertanya:

"Anda telah pergi ke Mina ... ?"

"Ya..."

"Ketika itu, adakah anda menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar semua orang selalu merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tangan anda sendiri ... ?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu, anda belum pergi ke Mina! Dan ..., anda telah berwuquf di Arafat. .. ? Men-daki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta menghadapkan doa-doa kepada Allah swt. di bukit-bukit as-Shakharaat... ?"

"Ya,.,benar..."

"Ketika berdiri — wuquf di Arafat, adakah anda dalam kesempatan itu, benar-benar menghayati ma'rifat akan kebesaran Allah swt. serta mendalami pengetahuan tentang hakikat ilmu yang akan menghantarkanmu kepadaNya? Dan apakah ketika itu anda menyadari benar-benar betapa Allah Yang Maha Mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta kata-kata hati sanubari anda ... r

"Tidak ..."

"Dan .... ketika mendaki Jabal Rahmah, adakah anda sepenuhnya mendambakan rahmah Allah bagi setiap orang mukmin, serta mengharapkan bimbinganNya atas setiap orang muslim?"

"Tidak . . .."

"Dan ketika berada di Wadi Namirah, adakah anda berketetapan hati untuk tidak mengamarkan (memerintahkan) sesuatu yang ma'ruf, sebelum anda mengamarkannya pada diri anda sendiri? Dan tidak melarang seseorang melakukan sesuatu, sebelum anda melarang diri sendiri ....?"

"Tidak ...."

"Dan ketika berdiri di bukit-bukit di sana, adakah anda menyadarkan diri bahwa tempat itu menjadi saksi atas segala kepatuhan pada Allah, dan mencatatnya bersama-sama para Malaikat pencatat, atas perintah Allah, Tuhan sekalian lelangit?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu . . . , anda tidak berwuquf di Arafat, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan tak pula berdoa di tempat-tempat itu .. . !"

Dan Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

"Apakah anda telah melewati kedua bukit al-Alamain, dan mengerjakan dua rakaat shalat sebelumnya, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah; memungut batu-batu di sana, kemudian melewati Masy'arul'Haram. . . ?"

"Ya. . ."

"Dan ketika shalat dua rakaat, adakah anda meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang tanggal sepuluh Dzul-Hijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?"

"Tidak ..."

"Dan ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, adakah anda saat itu meneguhkan niat untuk tidak bergeser (menyeleweng) dari Agama Islam, agama yang haqq, baik ke arah kanan atau pun kiri…..,tidak dengan hatimu, tidak pula dengan lidahmu, atau pun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain?"

"Tidak ..."

". . . Dan ketika menuju Muzdalifah, dan me-mungut batu-batu di sana, adakah anda berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat dan kejahilan terhadap Allah swt, dan sekaligus menguatkan hatimu untuk tetap mengejar ilmu dan amal yang diridhai Allah ....?"

"Tidak .. "

"Dan ketika melewati al-Masy'arul-Haram, adakah anda mengisyaratkan kepada diri anda sendiri, agar bersyi'ar seperti orang-orang yang penuh takwa dan takut kepada Allah Azza wa Jalla ...?"

"Tidak .. ."

"Kalau begitu . . . , anda tidak melewati 'Alamain, tidak shalat dua rakaat, tidak berjalan ke Muzdalifah, tidak memungut batu-batu di sana, dan tidak pula lewat di Masy'ar-ul-Haram…!'

Dan beliau melanjutkan:

"Wahai Syibli, apakah anda telah mencapai Mina, melempar Jumrah, mencukur rambut, menyembelih kurban, bershalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Makkah dan mengerjakan tawaf Ifadhah (Ifadhah adalah berangkat dan berpencar dan sesuatu tempat ke tempat lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah thawaf yang dikerjakan setelah berangkat pulang dari 'Arafat).?

"Ya .., benar..."

"Ketika sampai di Mina, dan melempar Jumrah, adakah anda berketetapan hati bahwa anda kini telah sampai ke tujuan, dan bahwa Tuhanmu telah memenuhi untukmu segala hajatmu...?"

"Tidak..."

"Dan pada saat melempar Jumrah, adakah anda meniatkan dalam hati, bahwa dengan itu anda melempar musuh bebuyutanmu, yaitu Iblis, serta memeranginya dengan telah disempurnakannya ibadah hajimu yang amat mulia itu?"

"Tidak..."

"Dan pada saat mencukur rambut, adakah anda berketetapan hati bahwa dengan itu anda telah mencukur dari dirimu segala kenistaan; dan bahwa anda telah keluar dari segala dosa-dosa seperti ketika baru lahir dari perut ibumu ... ?"

"Tidak ..."

"Dan ketika shalat di masjid Khaif, adakah anda berniat untuk tidak memiliki oerasaan khauf (takut) kecuali kepada Allah swt. serta dosa-dosamu sendiri? Dan bahwa anda tiada mengharapkan sesuatu kecuali rahmat Allah ... ?"

"Tidak...."

"Dan pada saat memotong hewan kurban, adakah anda berniat memotong urat ketamakan dan kerakusan, dan berpegang pada sifat wara' yang sesungguhnya? Dan bahwa anda mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. yang rela memotong leher putra kecintaannya, buah-hatinya dan penyegar jiwanya . . . , agar menjadi teladan bagi manusia sesudahnya . . . , semata-mata demi mengikuti perintah Allah swt... ?"

"Tidak..."

". . . Dan ketika kembali ke Makkah, dan mengerjakan tawaf Ifadhah, adakah anda meniatkan berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada kepatuhan terhadapNya, berpegang teguh pada kecintaan kepadaNya, menunaikan segala perintahNya, serta bertaqarrub selalu kepadaNya ... ?"

"Tidak ..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak mencukur rambut, tidak menyembelih kurban, tidak mengerjakan manasik, tidak bershalat di masjid Khaif, tidak bertawaf thawaful-Ifadhah, dan tidak pula mendekat kepada Tuhanmu . . .! Kembalilah . . . , kembalilah . . . , sebab anda sesungguhnya belum menunaikan haji anda!!"


(Dipetik dari buku,"Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah, Hikmah Haji, hlm. 79-90, Mizan, 1986)

Imam Ali Zainal Abidin as



Nama : Ali

Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad

Julukan : Abu Muhammad

Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib

Ibu : Syahar Banu

Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.

Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H.

Umur : 57 Tahun

Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid

Makam : Baqi' Madinah

Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan

Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor

Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum

Riwayat hidup

Setelah kejadian "karbala", Ali Zainal Abidin a.s. menjadi pengganti al-Husein sebagai pemimpin umat dan sebagai penerima wahiat Rasul yang ke-empat. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib memegang kendali pemerintahan, beliau menikahkan al-Husein dengan seorang pultri Yazdarij, anak Syahriar, anak kisra, raja terakhir kekaisaran Persia yang bernama Syahar Banu. Dari perkawinan yang mulia inilah Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan.

Dua tahun pertama di masa kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Ali bin Abi Thalib. Dan setelah kakeknya berpulang ke rahmatullah beliau diasuh pamannya al-Hasan, selama delapan tahun. Beliau mendapat perlakuan yang sangat istimewa dari pamannya.

Sejak masa kecilnya beliau telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Keutamaan budi, ilmu dan ketaqwaan telah menyatu dalam dirinya. al-Zuhri berkata: "Aku tidak menjumpai seorangpun dari Ahlul Bait nabi saww yang lebih utama dari Ali bin Husein.

Beliau dijuluki as-sajjad, karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan shalat wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya: Mengapa demikian? Jawabannya: "Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan kepada siapa aku bermunajat".

Setelah kesyahidan al-Husein beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis. Tangisannya itu bukanlah semata-mata hanya karena kematian keluarganya, namun karena perbuatan umat Muhammad saww yang durjana dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia dan di akhirat. Bukankah Rasulullah saww tidak meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana firman Allah (as-Syura 23). "Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya adalah dengan mengikuti mereka."

Di saat keluarganya telah dibantai, sementara penguasa setempat sangat memusuhinya, misalnya di zaman Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan dipermalukan di depan umum, di zaman Abdul Malik raja dari Bani Umayyah beliau dirantai lagi dan dibawa dan Damaskus ke Madinah lalu kembali lagi ke Madinah, Akhirnya beliau banyak menyendiri serta selalu bermunajat kepada khaliqnya.

Amalannya dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui amalannya. Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.

Dalam pergaulannya, beliau sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada lawannya. Dalam bidang ilmu serta pengajaran, meskipun yang berkuasa saat itu al-Hajjaj bin Yusuf As-Tsaqofi seorang tiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh siapapun yang membela keluarga Rasulullah saww, beliau masih sempat memberikan pengajaran dan menasehati para penguasa.

Namun, apapun yang dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dan pada tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika beliau berada di Madinah, Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni Imam Ali Zainal Abidin a.s.

Keagungan beliau sulit digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan. Munajat beliau terkumpul dalam sebuah kitab yang bernama "Shahifah As-Sajjadiah"

Wasiat Imam Husain as



Ini wasiat Husain bin Ali a.s kepada adiknya (saudaranya) Muhammad Hanafiah. Husain berikrar kepada keesaan Allah s.w.t tiada tuhan yang disembah melainkan Allah. Dan Muhammad itu hamba dan pesuruh Allah s.w.t. Agama yang hak adalah agama yang datangnya dari Allah s.w.t untuk sekalian makhluk . Dia berikrar lagi bahawa syurga dan neraka adalah benar dan hari perhitungan pasti akan tiba di mana semua makhluk akan di hidupkan kembali.

Aku keluar dari Madinah bukannya atas dasar pentingkan diri sendiri atau hanya ingin bersuka-suka dan bukan juga untuk mencetuskan kekecohan dan huru-hara tetapi tujuanku adalah semata-mata untuk menjalankan kewajibanku yaitu amar makruf nahi mungkar. Apa yang aku mau dari langkahku ini hanyalah untuk menghapuskan kemungkaran dan menegakkan hukum juga sunnah-sunnah datukku Rasulullah s.a.w dan perjalanan ayahku Ali bin Abi Talib a.s. Justeru itu barangsiapa dapat menerima hakikat ini dan mengikutiku maka dia telah memilih jalan Allah s.w.t.

Jika siapa menolaknya aku akan tetap berdiri, bersabar dan menegakkanya sehingga kami akan dihukum olehNya yang bijaksana. Wahai abang, aku mewasiatkan pesanan ini dengan taufik dari Allah s.w.t. Aku bertawakal kepadaNya dan kepadaNya aku kembali.

KABAR TENTANG KESYAHIDAN

Timbul satu persoalan mengapakah Imam Husain a.s sanggup menggadaikan nyawanya sedangkan memelihara nyawa adalah satu kewajiban, tambahan pula dia telah dikabarkan akan kesyahidannya.

Jihad adalah salah satu daripada tuntutan Islam dan kesyahidan itu juga menjadi satu kebanggaan setiap muslim. Telah termaktub di dalam Al-Quran ayat-ayat mengenai jihad dan kesyahidan. Berjuang menentang musuh Islam atau syahid di dalam menyampaikan kebenaran merupakan tanda-tanda orang mukmin. Lantaran itu kemenangan sebuah perjuangan bukanlah syarat utama kandungan ayat tersebut. Allah s.w.t telah berfirman "sesungguhnya Allah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, bahwa untuk mereka itu syurga. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh sebagai janji yang benar bagi Allah (yang termaktub) dalam Taurat, Injil dan Al- Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah s.w.t? Sebab itu bergembiralah kamu dengan penjualan yang kamu jual itu. Demikian itulah kemenangan yang besar" Terdapat 9 lagi sifat orang mukmin di dalam ayat yang seterusnya dan oleh kerana dengan memiliki sifat-sifat mulia inilah mereka sampai ke tahap jihad.

Secara keseluruhan kita telah mengetahui betapa besarnya arti sebuah perjuangan dan kesyahidan. Apakah ia wajar apabila jihad menjadi satu kewajiban kepada setiap muslim, tetapi ia terkecuali untuk Imam Husain sedangkan Imam sebagai penjaga Al-Quran dan Islam. Jika Imam Husain a.s tidak menyempurnakan kewajiban ini, siapakah lagi yang harus menunaikannya. Dan jika Imam dan ahli keluarganya mengorbankan nyawa mereka bukan kerana menjaga marwah Al-Quran dan Islam, apakah tujuan sebenar mereka? Siapakah lagi yang layak untuk menyempurnakan amanat penting ini?

Sudah pasti jawabannya tidak lain dan tidak bukan hanyalah Imam Husain a.s. Tujuan utama perginya Imam Husain a.s ke Karbala untuk menegak yang makruf dan mencegah kemunkaran demi menjaga kesucian Al-Quran juga kesyumulan Islam yang telah dibawa oleh datuknya supaya tidak tercemar oleh kebatilan. Tugas ini lebih besar daripada memelihara nyawanya sendiri kerana melibatkan semua dunia Islam. Ya, untuk melakukan pertukaran yang bermakna itu Husain bin Ali a.s mempunyai syarat-syarat yang membolehkan dia bertindak sedemikian. Disamping itu, tanggungjawabnya sebagai seorang Imam melayakannya untuk memilih jalan terbaik supaya Al-Quran dan Islam tetap unggul. Oleh kerana itu, Imam Husain bin Ali a.s mengambil keputusan untuk syahid.

ADAKAH IMAM HUSAIN AS TERPAKSA?

Apabila kita melihat jawaban Imam Husain a.s kepada saudaranya Muhammad Hanafiah, Ummu Salamah dan adiknya Hazrat Zainab a.s mengenai pemergian ke Karbala, kesemuanya menunjukkan peristiwa asyura adalah kehendak Allah s.w.t. Dalam arti kata lain segala pengorbanan mereka, titik darah para syuhada Karbala dan keperitan yang ditanggung oleh tawanan Karbala berlaku di atas kemahuan Penciptanya, Allah s.w.t. Jika ini kehendak dan takdir Ilahi, maka wujudlah kekeliruan juga kesangsian tentang pengorbanan yang tidak ternilai oleh Imam Husain dan ahli keluarganya serta sahabat-sahabat yang lain.

Pertamanya nilai kesabaran, kecekalan dan pengorbanan Imam Husain a.s beserta ahli keluarganya juga para sahabatnya tidaklah sebesar sepertimana yang dilaung-laungkan oleh kita semua. Ini kerana jalan mereka telah ditentukan oleh Allah s.w.t dan mereka terpaksa dan tidak mampu melawan takdir yang telah ditentukan Allah s.w.t. Kedua, kita semua tidak sepatutnya melaknat dan mengeji tentera Kufah juga pembunuh-pembunuh di perang Karbala. Hal ini disebabkan oleh takdir Ilahi dan kemahuan yang maha Esa. Imam Husain telah ditulis matinya terbunuh. Setiap yang terbunuh (mangsa) itu pasti ada pembunuhnya. Justeru itu sebagaimana yang terbunuh (mangsa) melakukan pengorbanan tersebut dengan terpaksa, demikianlah dengan pembunuhnya yang juga terpaksa dan akur pada takdir yang telah ditentukan.

Akan tetapi timbulnya persoalan yang sedemikian dengan kurangnya pemahaman mengenai masalah kehendak dan takdir. Kehendak dan takdir Illahi mempunyai 2 cabang iaitu taklifi dan takwini. Takdir Illahi takwinilah yang kita semua akur dengan keputusan yang telah ditetapkan dimana sekalian hamba terpaksa menurut apa saja, seperti kelahiran dan kematian, penciptaan langit dan bumi, kejadian kiamat dan lain-lain.

Sehubungan itu, kita semua adalah hamba yang bebas memilih jalan kita sendiri dengan adanya takdir Illahi taklifi atau tasyrie. Allah lebih mengetahui apa yang akan berlaku dan mengetahui akan yang baik atau yang buruk. Allah s.w.t akan memerintahkan kita melakukannya jika ia yang terbaik dan akan melarang jika ia yang mungkar. Dengan adanya larangan dan suruhan inilah membuktikan keputusan di tangan kita sendiri dan kita mempunyai hak untuk memilih jalan masing-masing. Contohnya Allah s.w.t memerintahkan kita semua berpuasa, sembahyang, mengerjakan haji dan berjihad. Kita dapati kesemua ini adalah kehendak Allah s.w.t. Jika kesemua suruhan ini adalalah takdir Ilahi takwini maka tidak ada makna suruhan yang diperintahkanNya. Lantaran itu, tidak dinafikan kesemua ini adalah kehendak Allah s.w.t, tetapi hamba-hambanya telah diberi kebebasan memilih dan membuat keputusan sendiri. Kejadian syurga dan neraka juga akan menjadi sia-sia jika persoalan ini tidak benar.

DUA KEISTIMEWAAN

Setiap peristiwa yang berlaku semestinya meninggalkan kesan yang dinamakan sejarah. Sejarah inilah yang telah dan akan mengajar kita supaya lebih matang untuk menghadapi apa yang bakal berlaku. Dalam peristiwa karbala terdapat 2 keistimewaan Imam Husain a.s.

1. Sepertimana yang telah kita semua ketahui, setiap Imam mempunyai ilmu keimamahannya. Yaitu ia dapat mengetahui apa yang akan berlaku. Ini adalah salah satu keistimewaan para aimmah yang dianugerah oleh Allah s.w.t. Sebelum tiba di tanah Karbala, Imam telah mengetahui tentera Kufah akan menentangnya tambahan pula Farazdaq telah berkata kepada Imam Husain a.s "Hati-hati mereka bersamamu akan tetapi pedang-pedang mereka bersama Yazid". Tidak perlu dipertikaikan lagi tentang pangkat dan maqam Husain bin Ali yang dia memang seorang Imam. Adanya bukti seperti ini sudah pasti Imam Husain bin Ali a.s memiliki ilmu keimamahannya dan ini hanya wujud dalam kewujudan seseorang Imam.

2. Sifat-sifat terpuji dan mulia juga telah ditonjolkan oleh Imam Husain a.s sebagai petunjuk kepada kita semua. Imam Husain a.s dan para sahabat telah mengajar kita tentang keikhlasan, kesetiaan dan kehambaannya kepada Allah s.w.t. Para pengikut Imam Husain a.s tidak pernah menanyakan apakah upah mereka atau ganjaran yang bakal mereka terima hasil dari peperangan Karbala. Malah Imam dan para pengikut benar-benar ikhlas dan telah sampai ketahap kezuhudan masing-masing. Tetapi lain pula ceritanya apabila kita melihat pihak Yazid. Dari setiap mulut tentara Yazid pasti muncul persoalan apakah bagian kami?

Ternyata Imam Husain a.s dan para pengikutnya ikhlas dan ridha atas keputusan mereka. Demi agama yang telah diamanahkan oleh Allah, mereka sanggup mengorbankan nyawa sendiri. Rentetan dari itu nilai-nilai kehambaan juga telah wujud dalam diri mereka. Mereka rela menghambakan diri yang tidak akan wujud tanpa pencipta. Walaupun di dalam keadaan darurat tanpa diberikan setitik air untuk diminum ataupun untuk berwudhuk, mereka tetap mengerjakan apa yang diperintahkan iaitu mengerjakan solat. Sewaktu menunaikan solat timbul pula sifat-sifat setia kawan. Mereka sanggup mati menahan dan menghalang panah-panah mengenai sahabatnya yang sedang menunaikan solat timbul pula sifat-sifat setia kawan. Mereka sanggup mati menahan dan menghalang panah-panah mengenai sahabatnya yang sedang menunaikan kewajiban solat zuhur dengan menjadikan tubuh mereka dinding tempat sahabatnya mengerjakan solat.

Kemenangan Imam Husain bin Ali a.s di dalam perang Karbala ialah dengan tidak tunduknya mereka kepada kuasa kebatilan Yazid dan patuhnya mereka akan kehendak Islam agar tetap unggul. Akan tetapi kemenangan zahiriah itu tidak akan tercapai tanpa sifat-sifat maknawiah yang dimiliki oleh mereka. Oleh kerana tempat tujunya Allah s.w.t maka kemenangan hakiki menjadi milik mereka.

IMAM MEMATIKAN HUJJAH

Di dalam peperangan manapun, Islam tidak mengajarkan kita memulainya. Biarlah pertempuran itu tercetus dari pihak lawan. Imam Husain a.s memang tidak mau mencetuskan peperangan walaupun semua laskar Yazid telah bersedia untuk mengangkat pedang-pedang mereka. Laskar Yazid telah menyekat air untuk sampai kepada tentara Imam Husain a.s namun begitu Imam Husain a.s tetap berkhutbah tentang pesan ayahnya iaitu "Jangan sekali-kali bermusuhan dengan ahlul-bait".

Manusia selalu alpa dan mungkin dengan kata-kata Imam Husain a.s pada saat akhir itu dapat menyadarkan mereka semua. Imam Husain a.s mengharapkan ada orang yang akan memahami peringatan terakhirnya. Apabila keadaan menjadi lebih tegang Imam Husain a.s mengambil sebuah al-Quran lalu menjunjungnya seraya berkata di hadapan barisan tentera Yazid " Aku adalah Imam dan ketua kamu semua. Al-Quran ini adalah kitab dan kalam Allah s.w.t. Apa yang telah aku lakukan sehingga darahku telah halal untukmu? Adakah aku bukannya anaknya puterinya Rasulullah s.a.w yang kamu sanjungi dan hormati pada ketika dahulu? Apakah kamu semua tidak mendengar kata-kata dari Rasulullah s.a.w bahawa aku dan saudaraku Hassan a.s adalah pemuda syurga. Jika apa yang aku katakan ini tiada kebenarannya, tanyalah Jabir, Zaid bin Arqam dan Abu Said Khidri. Bukankah Jaafar Tayyar itu pakcikku".

Tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan Imam Husain a.s kecuali Syimr. Dia menjawab "Sekarang engkau akan masuk neraka". Imam Husain a.s dengan terkejut menjawab kata-kata Syimr "Allahu akbar, datukku telah menceritakan bahwa baginda telah bermimpi dan di dalam mimpi itu baginda menyaksikan kejadian yang menjijikan yang mana seekor anjing sedang menjilat darah ahlul-baitku". Imam Husain a.s menyambung kata-katanya lagi " Aku merasakan anjing itu adalah kau wahai Syimr".

Namun begitu Imam Husain telah mematikan hujjahnya dengan memberi khutbah terakhir kepada pengikut-pengikut Yazid, walaupun di dalam keadaan yang sangat genting dan tidak mempunyai sedikit waktupun untuk berkhutbah. Imam Husain a.s tidak mau ada yang menyalahkan dirinya kerana tidak menyampaikan amanah Allah s.w.t. Dalam keadaan apapun Imam Husain a.s tetap patuh pada perintah Rabbul Jalil.

SEBAB KEMURKAAN ALLAH S.W.T.

Selepas tercetusnya peperangan, sebilangan daripada tentera Imam Husain bin Ali a.s telah pergi menemui yang Maha Esa dan mengecapi kenikmatan syurga masing-masing. Pada ketika itu, Imam Husain a.s membelai janggutnya lalu berkata di suatu ketika Allah s.w.t memurkai kaum yahudi kerana mempercayai Allah s.w.t mempunyai anak. Kemurkaan Allah s.w.t pada kaum masihi dikeranakan mempercayai wujudnya 3 tuhan. Dan Allah s.w.t juga bertambah murka kepada kaum yang meyembah api kerana menjadikan matahari dan bulan tuhan mereka. Kemuncak kemurkaan Allah s.w.t kepada puak yang membunuh anak lelaki puterinya Rasullullah s.a.w yang setia kepada Penciptanya.

DISAAT SYAHIDNYA HABIB BIN MAZAHIR

Satu hari dari hari-hari kesedihan, diwaktu mengerjakan solat zohor Imam Husain a.s meminta para tentera menghentikan peperangan buat seketika untuk solat. Salah seorang daripada tentera Yazid, Hasin bin Namir menjawab dengan laungan yang kuat "Solat apa yang kamu ingin lakukan? Bukankah solat kamu semua tidak diterima Allah s.w.t?"

Habib bin Mazahir mara ke hadapan setelah mendengar jawapan dari Hasin. Perasaannya yang makin membara membuatkan ia menjawab kembali kata-kata Hasin tadi. " Hanya kamu saja yang menganggap solat ahlul-bait Rasulullah tidak dikabulkan dan merasa solat yang dilakukan oleh keldai seperti kau saja yang diterima oleh Allah s.w.t". Kata-kata Habib bin Mazahir membuatkan Hasin dan koncu-koncunya walaupun Habib bin Mazahir lebih tua dari Hasin akan tetapi dia masih boleh menumpaskan pihak lawan. Namun begitu, oleh kerana bilangan mereka semakin bertambah mereka dapat menjatuhkan Habib bin Mazahir.

Imam Husain bin Ali a.s duduk menemani jenazah Habib bin Mazahir yang telah dikerat-kerat di dalam keadaan tidak berkepala seraya berkata " Belahan tubuhku, terbunuhnya para sahabatku sepertimu adalah kerana menurut perintah Allah S.W.T.

KATA-KATA IMAM HUSAIN A.S DISAAT KEMATIAN MUSLIM BIN AUSAJAH

Pada detik-detik terakhir kematian Muslim bin Ausajah, Imam Husain a.s duduk menemaninya. Imam dengan penuh sifat-sifat kasih sayang yang sentiasa terbayang diraut wajahnya kelihatan tenang sambil mengucapkan tahniah dan selamat jalan pada Muslim. Tahniah kerana akan sampai kepada kejayaan hakiki dan selamat jalan kerana akan meneruskan perjalanan ke destinasi sebenar.

Sememangnya kita tidak mampu untuk membayangkan raut Imam Husain ketika berhadapan dengan sahabatnya itu. Sifat-sifat penyayang yang telah diwarisi dari ibunya Fatimah Az-Zahra dan ayahnya Ali Al-Murthada dan datuknya Muhammad Al-Mustafa mengeratkan lagi hubungannya dengan para sahabat. Dengan sifat-sifat yang penyayang inilah mereka menyampaikan risalah Allah s.w.t. Apabila sahabatnya memandang Imam Husain a.s, dia semakin sayang dan cintanya terhadap cucu Rasulullah begitu mendalam. Imam Husain a.s meletakkan tangannya dibahu Muslim bin Ausajah, perlahan-lahan memegang lehernya lalu membuat Muaniqah (mencium kiri dan kanan pipinya).

Imam Husain a.s mencium dahi Muslim dengan penuh kasih sayang dan penuh tanggungjawab terhadap sahabatnya. Kata-kata terakhir terpacul keluar dari mulut lemah Muslim " Aku merasa bangga dapat mengecapi kasih sayang dari anak Rasullullah dan aku merasa gembira yang teramat sangat. Siapa yang lebih bertuah dariku di mana anak Rasullah s.a.w meletakkan pipinya ke pipiku". Muslim bin Ausajah menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam keadaan gembira dan redha.

KEMBALINYA SI KECIL IMAM HUSAIN A.S (ALI ASGHAR) KE RAHMATULLAH

Tabari telah menceritakan daripada Uqbah bin Basyir Asadi riwayat daripada Imam kelima Muhammad Baqir a.s. Uqbah bin Basyir Asadi adalah dari kaum bani Asad. Imam Baqir a.s berkata "Wahai Uqbah ! Kaummu masih ada hutang darah dengan keluarga Rasulullah s.a.w". Imam Baqir a.s menerangkan kepada Uqbah dengan lebih jelas. "Pada peristiwa Asyura salah seorang daripada anak lelaki datukku Imam Husain a.s telah syahid di tangan bani Asad." Imam Baqir menyambungnya lagi a.s "Sewaktu air telah disekat untuk sampai ke khemah-khemah, Imam Husain a.s telah meminta Ali Asghar dibawa kepadanya. Dengan harapan, Imam mengangkat Ali Asghar yang masih bayi dengan kedua belah tangannya seraya berkata "Wahai ahli Kufah ! Aku tahu kamu semua menentangku tapi apakah anak kecil ini harus menanggung apa yang ditanggung olehku sekarang. Kalau kamu menyekat air kepadaku maka berikanlah kepada anak kecil yang tidak berdosa ini". Belum sempat Imam Husain a.s memeluk anaknya itu, satu anak panah telah mengenai leher Ali Asghar. Lalu Imam Husain a.s menadah titisan darah yang mengalir dari leher anak kecilnya dan menyimbahkannya ke langit. Anak panah itu telah dilepaskan oleh salah seorang daripada kaummu Bani Asad".

Tabari meriwayatkan lagi selepas Imam Husain a.s menyimbah darah Ali Asghar ke langit dia berdoa " Ya Allah ! Jika di dunia ini kemenangan bukan milik kami maka kami inginkan kemenangan yang besar di akhirat nanti. Hanya Kau yang layak membalas perbuatan mereka".

KEBEBASAN DAN KELELAKIAN YAZID DAN TENTERANYA TERGADAI

Khawarizmi menyatakan Imam Husain a.s dan pengikutnya yang masih ada telah berperang tanpa henti pada hari ke sepuluh Asyura dan telah menumpaskan ramai musuh-musuhnya. Oleh kerana itu pihak lawan telah membuat keputusan untuk menjatuhkan Imam Husain a.s yang menjadi semangat kepada pengikutnya. Tentera Yazid memulakan serangan ke atas khemah-khemah yang didiami oleh golongan kanak-kanak dan wanita. Imam Husain a.s dengan suara yang lantang melaungkan "Wahai pengikut keluarga Abu Sufian ! Kalau engkau tidak ada agama dan tidak takut pada hari kiamat sekurang-kurangnya hiduplah kamu dalam kebebasan. Jika kamu dari golongan arab dan tahu datuk-datuk kamu disanjungi kerana kemuliaan dan kebesaran mereka maka peliharalah kemuliaan kamu itu".

Syimr menjawab "Apa yang kau katakan Husain?" Imam menjawab "Aku adalah lawanmu dan kau adalah lawanku. Kenapa kau libatkan kanak-kanak dan wanita ini? Tidakkah kau merasa malu menentang kanak-kanak dan wanita-wanita ini? Jangan kau cuba mencederakan mereka. Sehingga aku masih hidup, aku akan mempertahankan mereka dan selagi hayat masih ada jangan kau berbuat apa-apa kepada mereka". Syimr menjawab lagi " Baiklah, kalau itu yang kau mahukan aku setuju". Syimr yang berwajah seribu kekejaman dan kekejian telah mengerahkan tenteranya supaya hanya menentang Husain dan tenteranya sahaja sehinggalah kesemuanya menuju jalan syahid.

Mungkin apabila dilihat secara global, insiden tadi hanyalah menonjolkan kata-kata Imam Husain a.s dengan Syimr bin Jausyan di hari ke sepuluh Asyura sahaja. Ia juga sudah dianggap sebagai peristiwa yang benar-benar menyayat hati di dalam sejarah Islam. Tetapi hakikatnya di sini dari peristiwa Karbala itu, Imam Husain a.s ingin menyampaikan satu pernyataan universal kepada dunia untuk sepanjang zaman. Memang tidak dapat dinafikan semua penghuni dunia tidak berpegang pada undang-undang Ilahi kerana bukan semuanya menjalani kehidupan sebagai muslim. Namun begitu di dunia kita dari dahulunya telah tercipta satu undang-undang antarabangsa di mana semua penduduk dunia memelihara dan mematuhi kanun yang telah ditetapkan. Mana-mana negara yang berhadapan dengan masalah peperangan, hanya kaum lelaki yang akan mara ke medan pertempuran. Pihak yang menang tidak berhak menganiayai kanak-kanak dan wanita-wanita kecuali menjadikan mereka sebagai tawanan.

Islam adalah agama yang suci dan pastinya mempunyai undang-undang tersendiri seperti mana telah termaktub di dalam Al-Quran. Kita dilarang menghianati orang lain dan harus menyayangi sesama Islam seperti kita menyayangi diri kita sendiri kerana orang-orang Islam itu adalah bersaudara. Islam juga menegaskan supaya jangan melewati batasan yang telah ditetapkan. Di dalam surah Al-Baqarah ayat 190 Allah s.w.t telah berfirman "Perangilah olehmu pada jalan Allah akan orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mengasihi orang-orang yang melampaui batas". Ayat ini menunjukkan bahawa janganlah kita bermusuhan dengan orang-orang lain kecuali mereka yang berperang dengan kita sahaja. Rumah-rumah mereka jangan diroboh, keturunan mereka jangan dihapuskan, air jangan disekat, wanita dan golongan yang tidak berdaya jangan dianiaya dan yang melarikan diri jangan diekori. Hatta kata-kata kesat juga jangan dilemparkan kepada mereka.

Apabila menjengah kembali pada peristiwa Asyura, kita dapati Syimr dan pengikutnya bukan sahaja telah melanggari undang-undang Islam bahkan undang-undang dunia pun mereka lewati. Syimr berperang atas tuntutan nafsu (kemarahan) bukan seperti Imam Husain a.s berjuang kerana tuntutan dan tanggungjawab kepada agama. Sifat kemanusiaannya telah hilang apabila emosi buas menguasai diri. Dia bukan saja melepasi batasan dunia dan Islam malah kelelakiannya juga tergadai ketika menyerang dan mengepung khemah kanak-kanak dan wanita sejurus selepas kesyahidan Imam Husain a.s dan para pengikutnya serta penyeksaan terhadap tawanan dari Karbala hingga ke Syam.

MUNAJAT TERAKHIR IMAM HUSAIN A.S

Berdasarkan nukilan Syeikh Taifah dari Syeikh Tusi (Misbahul Mujtahid) dan dari marhum Syed bin Tawus (Iqbal). Pada detik terakhir kehidupan Imam Husain a.s bermunajat kepada Allah s.w.t disaat rebahnya ke bumi. Dia telah membuka matanya dengan perlahan-lahan memandang ke arah langit yang turut bersedih di atas peristiwa di tanah Karbala.

Imam Husain a.s berdoa kepada Pencipta sekalian alam " Ya Tuhanku ! Agungnya makamMu, kerasnya marahMu, kekuatanMu mengatasi segala kekuatan, Kau tidak bergantung (memerlukan) kepada makhlukmu dan ciptaanMu di bawah penguasaanMu seperti apa yang Kau inginkan. RahmatMu dekat kepada makhlukMu, janjiMu benar, nikmatMu sempurna, ujianMu indah, Kau dekat kepada hamba-hambaMu ketika Kau dipanggil, Kau berkuasa di atas ciptaanMu, Kau menerima taubat mereka yang memohon kepadaMu, Kau bertindak di atas kemahuanMu, Kau tidak meminta di syukuri apabila Kau disyukuri, Kau tidak meminta diingati apabila Kau diingati , aku memanggilMu kerana memerlukanMu, aku mendekatMu seperti seorang fakir. Takutku kepadaMu seperti orang yang di dalam seribu ketakutan, aku menangis seperti orang yang di dalam kesedihan, aku memohon pertolongan dariMu seperti orang yang dhaif, aku berserah kepadaMu seperti orang yang memadai (mencukupi).

Ya Tuhanku !Hukumkanlah (adili) diantara kami dan diantara kaum kami kerana mereka menipu dan membohongi kami. Mereka meninggalkan (tidak menolong)kami dan membunuh kami keluarga nabiMu kekasihMu Muhammad s.a.w yang telah dipilih untuk menyampaikan risalah (wahyu). Dan jadikanlah untuk kami dari setiap urusan kami kemudahan dan jalan keluar. Aku bersabar di atas qada’dan qadarMu, wahai tuhan yang tiada tuhan lain selainMu. Wahai Yang membantu mereka-mereka yang memerlukan bantuan. Tiada tuhan lain bagiku selainMu. Aku bersabar di atas hukum dan takdirMu. Wahai Pembantu yang tiada pembantu bagiNya. Wahai yang sentiasa ada (kekal) dan tidak berpenghujung. Wahai Penghidup para yang mati, Wahai yang berkuasa di atas kesemuanya, hukumkanlah (adili) diantaraku dan mereka dan sesungguhnya Kau adalah sebaik-baik Penghukum.

Dari :
AHLUL-BAIT RESEARCH CENTRE
6 Muharram 1421H