Rumah Rasulullah saaw tidak istimewa. Perabot rumah tangganya sangatlah sederhana. Pakaian beliau hanya beberapa potong;semuanya bukan terbuat dari bahan yang istimewa. Akan tetapi rumah tangga Rasulullah saaw. menjadi contoh sebuah rumah tangga yang sejahtera.
Adalah rumah Rasulullah di belakang masjid. Di sebelah rumah beliau terdapat rumah putri kesayangannya, Fatimah Az-Zahra, yang hidup bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib, dan ketiga putra mereka, Hasan,. Husain, dan Zainab. Setiap kali membuka jendela rumahnya, tampaklah oleh beliau rumah Fatimah. Dan setiap pagi, ketika akan bershalat Subuh, Rasulullah saw. senantiasa membuka jendela rumahnya dan berseru memanggil penghuni rumah di sebelahnya itu. Hal itu dilakukannya setiap hari. Kecuali itu, beliaupun selalu mengunjungi keluarga Ali bin Abi Thalib, kemudian bercanda dengan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil.
Rumah tangga Fatimah Az-Zahra tampak sangat bahagia. Rumah tangga keluarga ini layaknya seperti rumah tangga Rasulullah saaw, senantiasa memberikan nasehat-nasehat dan bimbingan kepada keluarga puterinya itu.
Bimbingan Rasulullah saaw. Itu terlihat, misalnya, ketika Fatimah, puteri kesayangannya, datang menghadap beliau untuk minta seorang pembantu. Imam Ali seniri tak samapai hati melihat istrinya selalu bekerja sendirian menumbuk gandum, sehinggga tangan puteri Rasulullah itu menebal dan menjadi kasar. Tapi apa hendak dikata, sebab ia tak punya cukup uang untuk membeli seorang budak. Akhirnya mereka pun menghadap Rasulullah untuk menyampaikan hal itu.
Akan tetapi, apa jawab Nabi? Beliau berkata: “Tidak wahai puteriku. Maukah aku berikan kepadamu sesuatu yang lebih berharga, yang diajarkan Jibril kepadaku?”
Fatimah pun mengangguk. Kemudian Rasulullah pun menyuruhnya membaca subhanallah pun menyuruhnya membaca subhanallah sebanyak 33x, alhamdulillah sebanyak 33x, dan Allahu Akbar sebanyak 34x, setiap selesai menjalankan shalat lima waktu.
Begitu pula cara Rasulullah mendidik anggota keluarganya yang lain, Imam Ali, sepupu dan menantunya, menjadi orang yang terkenal ilmu, akhlak, dan keberaniannya, juga berkat didikan langsung dari Nabi seniri, Demikian juga Hasan, Husein, dan Zainab.
Oleh sebab itu, keluarga tersebut menjadi keluarga yang sejahtera, karena setiap anggota keluarga itu merupakn pribadi-pribadi yang istimewa. Bukanlah karena mereka adalah keturunan Rasulullah maka mereka menjadi istimewa dengan sendirina, melainkan keturunan itu hanya merupakan kesempatan bagi mereka sehingga mereka dapat merasakan pendidikan dan perhatian yang lebih khusus dari Rasulullah saaw.
Masyarakat benar-benar maklum akan keutamaan keluarga yang satu ini. Mereka berpikir, bahwa rumah tangga yang lebih baik daripada rumah tangga Ali dan Fatimah hanyalah rumah tangga Rasulullah saaw, saja.
Tentang keutamaan keluarga ini, pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari, di bulan suci Ramadhan, Imam Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein sedang bersiap-siap untuk berbuka puasa. Tak ada hidangan yang tersedia di hadapan mereka kecuali masing-masing memegang sepotong roti kering. Ketika roti itu akan dimakan, terdengar suara pintu rumah mereka diketuk orang. Maka dibukakanlah pintu itu terlebih dahulu. Yang datang adalah seoang miskin, yang meminta sesuatu untuk berbuka puasa, sebab ia tak mempunyai makanan sedikit pun.
Ia berkata: “Wahai penghuni rumah kecintaan Rasulullah! Aku adalah seorang miskin yang tak punya apa-apa, bahkan untuk berbuka puasa pada hari ini. Tolonglah aku, wahai pribadi-pribadi mulia. Berbagilah denganku atas rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Semoga Allah memuliakan kalian karenanya.”
Imam Ali diam sejenak. Ia memandang anggota keluarganya yang lain. Seisi rumah berpandang-pandangan. Namun, tak lama, segera ia mengambil roti bagiannya sendiri, dan bergegas hendak menyerahkannya kepada si miskin. Tapi langkahnya terhenti. Ia sangat terharu, karena seisi rumah ternyata melakukan hal yang sama. Mereka menyerahkan bagiannya masing-masing, dan akhirnya mereka hanya berbuka dengan meminum segelas air putih.
Hari berikutnya, kejadian serupa terulang kembali. Kali ini yang datang adalah seorang Muslim yang baru saja dibebaskan oleh kaum kafir setelah ia ditawan beberapa lama.
“Assalamu’alaikum ya Ahlul Baitin-nubuwwah!” ( Semoga keselamatan dilimpahkan atas kalian, wahai keluarga rumah tangga Nabi ) terdengar suara orang diluar.
“Wa’alaikum salam warahmatullah,”jawab penghuni rumah itu serempak, kemudian Imam Ali bangkit membukakan pintu untuk tamunya.
“Sungguh, aku tak tahu lagi harus pergi kemana selain ke rumah ini. Aku adalah seorang Muslim yang baru saja dibebaskan oleh musuh. Aku menginginkan kebaikan kalian, karena perutku terasa lapar, dan tubuhku sangatlah lemah kerenanya.”
Imam Ali segera menuju ke mejanya, dan mengambil sepotong roti untuk orang tersebut. Yang lain tampak akan mengikuti seperti halnya kemarin.
“Tak usahlah! Makan saja bagian kalian!” kata Imam Ali menasihatkan.
“Tidak! Demi Allah, aku tak dapat merasa kenyang sementara aku mengetahui bahwa di luar ada seorang Muslim yang kelaparan,” kata Fatimah, istrinya.
“Baiklah,” kata Imam Ali menyerah. Namun, tak urung ia pun tersentuh karena anak-anaknya yang masih kecil ikut menyerahkan bagian mereka.
“Alhamdulillah. Sungguh kalian adalah orang-orang yang mulia. Semoga Allah memberi kalian balasan yang berlipat ganda…,” kata orang itu bersyukur sambil memegangi roti pemberian Imam Ali sekeluarga.
Dan pada hari kedua itu pun, mereka hanya berbuka dengan meminum segelas air putih. Sampailah hari yang ketiga. Ketika keluarga ini tengah bersiap-siap menunggu adzan maghrib, mereka dikejutkan oleh ketukan pintu. Ketukan itu sebenarnya sangatlah perlahan. Imam Ali, selaku kepala keluarga, berjalan membukakan pintu.Ia terkejut, karena tamunya yang lain adalah seorang bocah.
“Assalamu’alaikum,” kata anak itu perlahan.
“Wa’alaikum salam warahmatullah,” jawab Imam Ali sambil berjongkok dan merangkul si kecil, seakan puteranya sendiri. “Ada apa gerangan wahaianakku?” tanya Imam Ali lembut.
“Aku adalah seorang yatim. Ayahku telah lama meninggal dunia. Ibuku bekerja sendirian. Sedang aku, sudah beberapa hari ini perutku kosong, tak kemasukan makanan apa-apa!” katanya memelas dengan wajah tertunduk.
Imam Ali terharu. Matanya berkaca-kaca. Ia memang sangat mencintai anak-anak, lerlebih anak yatim. Bahkan, diseluruh kota, Imam Ali dikenal sebagai ”Bapaknya anak-anak yatim” sekota itu. Sebaliknya, setiap anak yatim menganggap Imam Ali sebagai ayah mereka. Tanpa pikir panjang, ia bergegas mengambil sepotong roti yang menjadi bagiannya. Tapi, lagi-lagi ia kebingungan, karena seisi rumah serempak mengikuti langkahnya. Ia menoleh ke belakang, dan dengan perasaan terharu yang semakin dalam ia berkata: “Sudahlah. Biar aku saja yang memberikan bagianku. Kalian… makanlah bagian kalian!”
“Sungguh, bagaimana mungkin seorang ibu akan merasa kenyang, sementara ia tahu putranya mengigil karena menahan lapar?” kata Fatimah sambil juga menahan air mata.
“Baiklah. Tetapi engkau, anak-anakku, makan sajalah bagian kalian, biar ayah dan ibu yang mengurus keperluan anak itu,” kata Imam Ali lagi. Ia terpaksa berbuat begitu, sebab terbayang jelas olehnya, bahwa putra-putrinya telah dua hari ini tak makan sesuatu selain hanya minum segelas air. Tapi dengan serta-merta lamunannya dibuyarkan oleh suara puteranya yang bernama Hasan. Anak tersebut dengan suara lemah yang dipaksakan berkata:”Tidak wahai Ayah. Bagaimana mungkin aku akan makan bagianku, sementara aku tahu bahwa seorang anak yang lebih kecil usianya daripadaku harus berjuang menahan lapar?”
Imam Ali dan Fatimah menjadi semakin terharu.
“Baiklah. Tetapi kalian, Husein dan Zainab, makanlah bagian kalian!” kata Imam Ali sambil dipaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar