Minggu, 22 Maret 2009

Pro Dan Kontra Hadis Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Firqah! (1)


SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

Demi terealisasinya percek-cokan di antara umat Islam, banyak pihak yang bersemangat menanamkan dalam hati dan pikiran kaum Muslimin dan menghembuskan isu terpecahnya umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan, sementara yang selamat hanya satu golongan saja. Khususnya setiap kali muncul tanda-tanda menggembirakan adanya kesadaran akan pentingnya perasatuan.

Padahal hadis itu dari sisi sanad maupun kandungannya adalah batil. Hadis inilah di antara yang menyebabkan berjauhannya kelompok-kelompok umat Islam satu dengan lainnya.

Dalam kesempatan ini kami akan terpanggil untuk menguraikan kedudukan hadis ini dari sisi sanad dan matannya dan menjelaskan bahwa tidak semua perbedaan itu terkecam dan tercela dan tidaklah sepatutnya berbedaan dalam furû’ masalah agama menjadikan saling berpecah, bermusuhan dan saling menyesatkan.

Nash hadis tersebut adalah demikian:

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرَّقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة.

“Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Kaum nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan nashrani terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” [1]

Hadis ini telah diriwayatkan dari berbagai jalur, di bawah ini akan kami sebutkan dengan ringkas berikut komentar tentang kondisi dan statusnya:

(1) Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfû’. Pada jalurnya terdapat perawi bernama Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqamah, ia dha’if/lemah.

Yahya ibn Sa’id dan Imam Malik berkata:

ليس هو ممن تريد

“Ia bukan yang engkau buru.”

Ibnu Hibbân berkata:

يخطىء

“Ia sering salah.”

Yahya ibn Main berkata:

ما زال الناس يتقون حديثه

“Orang-orang senantiasa menjauhi hadisnya.”

Ibnu Sa’id juga berkata:

يُسْتَضْعَف

“Ia dilemahkan.”

(2) Hadis ini diriwayatkan juga dari Mu’awiyah secara marfû’. Pada sanadnya terdapat Azhar ibn Abdullah al Huzani –gembong Nawâshib yang tak henti-hentinya mencela dan melecehkan Imam Ali ra., selain itu ia banyak cacat dan celanya-.

Al Azdi berkata, “Para ulama rijâl mencacatnya dan Ibnu al Jârûd memasukkannya dalam kitab adh Dhu’afâ’-nya.”

(3) Hadis ini diriwayatkan juga dari Anas ibn Malik dari tujuh jalur yang semuanya dha’if/lemah, di antara perawinya ada yang kadzdzâb/pembohong besar atau wadhdhâ’/pemalsu hadis atau majhûl/yang tidak dikenal identitas atau kualitas kepribadiannya. [2]

(4) Hadis ini diriwayatkan juga dari ‘Auf ibn Malik secara marfû’. Dan pada sanadnya terdapat Abbâd ibn Yusuf, ia seorang yang dha’if/lemah. Adz Dzahabi memasukkannya dalam daftar parawi lemah dengan nomer urut:2089. [3]

(5) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al ‘Âsh secara marfû’ dalam riwayat at Turmudzi dalam Sunan-nya. Dalam sanadnya terdapat Abdurrahan ibn Ziyâd al Ifrîqi. Ia dha’if/lemah.

(6) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abu Umamah secara marfû’ dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as Sunnah. Pada sanadnya terdapat Quthn ibn Nasîr, ia adalah perawi dhaif dan munkarul hadis/sering terbukti membawa hadis munkar.

(7) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abdullah ibn Mas’ud secara marfû’, sebagaimana dalam kitab as Sunnah. Dan pada sanadnya terdapat Aqil al Ja’di. Ibnu Hajar berkata, ‘Bukhari berkata, ‘Ia munkarul hadis/sering terbukti membawa hadis munkar.’” [4]

(8) Hadis ini diriwayatkan juga dari Imam Ali ra., seperti dalam kitab As Sunnah,2/467 hadis no.995. dan dalam sanadnya terdapat Laits ibn Abi Sulaim, ia lemah/dha’if. Kualitasnya sudah dikenal di kalangan para ulama. Ibnu Hajar berkata, “Ia kacau sekali hafalannya sehingga tidak mampu memilah, karenanya ia ditinggalkan.” [5]

Ini dari sisi sanadnya, adapun dari sisi matan dan kandungannya dapat dipastikan ia adalah hadis batil, terlepas dari tambahan yang ada di akhirnya apakah ia:

كلها في النار إلا واحدة

“Semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.”

atau:

كلها في الجنة إلا واحدة

“Semuanya di surga kecuali satu golongan saja.”

Terlepas dari itu semua dapat dipastikan hadis tersebut batil, dengan alalan-alasan di bawah ini:

1) Allah berfirman:

{ كنتم خير أمة أخرجت للناس }

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dipersembahkan untuk umat manusia.”

dan ayat:

{ وكذلك جعلناكم أمة وسطاً }

“Dan demikianlah kami jadikan kalian umat yang pertengahan.”

Ayat-ayat di atas menegasklan bahwa umat Islam adalah sebaik-baik umat dan ia adalah pertengahan, awsath, yaitu paling afdhal dan mulianya umat. Sementara hadis-hadis di atas mengatakan kepada kita bahwa Umat Islam adalah sejelek-jelak umat, paling bejat, dan paling rusak dan termakan fitnah. Kaum Yahudi hanya terpecah menjadi 71 golongan. Begitu juga kaum Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Sementara itu, datanglah umat Rasulullah saw. yang paling mulia justru terpecah menjadi 73 golongan!

Jadi, makna hadis itu adalah batil berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan keunggulan dan keafdhalan umat Islam!

2) Yang mendukung kebatilan hadis itu adalah bahwa setiap yang mengarang buku tentang firaq/golongan-golongan menyebutkna nama golongan yang berbeda dengan yang disebut oleh penulis lainnya. Dan setiap sa’at bermunculan golongan baru, sehingga membatasinya hanya pada jumlah 73 golongan adalah hal yang tidak dapat diterima.

Sebagai contoh kecil, coba Anda perhatikan yang ditulis oleh Abdul Qahir al Baghdadi dalam kitab al Farqu baina al Firaq (Perbedaan antara Golongan-golongan), ia menyebutkan 73 golongan, sementara itu setelah masa beliau hingga hari ini bermunculan firqah/golongan yang jauh lebih banyak dari yang ia sebutkan. Adapun anggapan bahwa firqah yang akan muncul itu tidak kelaur dari bingkai umum yang sudah ada adalah anggapan tidak berdasar, kenyataan pun menolaknya.

(Bersambung)

_________________________________

[1] HR. Imam Ahmad dalam Musnad,2/332 dan lainnya, Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya hadis no.3993
[2] Baca Shahih Syarhi ath Thahâwiyah; Hasan as Seqaf:317.
[3] Baca Dîwân adh Dhu’afâ’.
[4] Lisân al Mîzân,4/209.
[5] At Taqrîb dengan no.5685.

Pro Dan Kontra Hadis 73 Firqah (2)


SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

3) Hadis ini, khususnya versi dengan tambahan yang menjadi pegangan kaum Mujassimah (yang meyakini Allah berpostur seperti makhluk) dan kaum Nawâshib (Pembenci keluarga Rasulullah saw.) yaitu dengan tambahan;

كلهم في النار إلا واحدة

“Semua di neraka kecuali satu kelompok saja.”

Hadis dengan versi di atas bertentangan dengan hadis-hadis lain yang sangat banyak jumlahnya yang menegaskan bahwa siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah Rasul utusan Allah, maka tetap baginya surga walaupun ia harus melalui proses siksa kerena dosa yang pernah ia lakukan di dunia. Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya.

إنَّ الله قد حرَّم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka menyentuh orang yang berkata,‘Tiada Tuhan selain Allah’ dengan tulus, tidak mengharap selain kerelaan Allah.” [1]

Dan dalam redaksi Imam Muslim dalam Shahih-nya , 1/63 :

لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه.

“Tiada seorang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah Rasul utusan Allah, lalu ia masuk neraka atau dilalap api nereka.”

Firqah yang berbeda-beda itu tidak banyak yang dapat dengan pasti dihukumi telah kafir akibat bid’ah yang diyakininya, adapun mayorits dari firqah-firqah itu, seperti Mu’tazilah dan lainnya, tidak dapat dihukumi kafir dan keluar dari Islam akibat perbedaan yang ada, seperti yang dipaksakan oleh sebagian orang yang cupet dan sempit wawasannya! Lalu bagaimana mereka divonis masuk neraka?! Karenanya, sebagian ulama kita, seperti Imam al-Baihaqi dan lainnya menukil ijmâ’ para imam dari kalangan Salaf dan Khalaf bahwa dibolehkan shalat bermakmum di belakang seorang beraliran Mu’tazilah, begitu juga shah pernikahan dengan mereka dan berlaku bagi mereka hukum waris Islami. [2]


4) Matan hadis berpecahnya umat Islam menjadi 73 firqah ini mudhtharib, kacau. Dalam sebagian jalurnya disebutkan demikian:

ألا وإنَّ هذه الأمة ستتفرق على ثلاث وسبعين فرقة في الأهواء

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah dalam hawa nafsu.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim: 69).

Dalam sebagiannya:

فواحدة في الجنة واثنتان وسبعون في النار

“… maka yang satu masuk surga dan 72 lainnya di neraka.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:63

pada sebagiannya:

لم ينج منها إلا ثلاث

“… Tidak ada yang selamat keculai tiga fiqrah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:71)

pada sebagiannya:

كلها في النار إلا السواد الأعظم

“… semua di neraka kecuali as-Sawâd al A’dzam (mayoritas).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:68)

dan dalam riwayat Ibnu Hibbân,15/125:

إنَّ اليهود افترقت على إحدى وسبعين فرقة أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى على مثل ذلك.

“Sesungguhnya kaum Yahud berpecah menjadi 71 firqah atau 72 firqah, dam kaum Nashrani juga seperti itu.”

Semantara sebagian lainnya mempermaikan lebih lagi redaksi hadis itu dengan menambahkan pada akhirnya kalimat:

من أخبثها الشيعة

“Yang paling jelek adalah Syi’ah.”

Sementara lainnya menambahkan:

شرهم الذين يقيسون الأمور بآرائهم

“… Yang paling jehat adalah mereka yang mengiaskan perkara dengan pendapat pribadi mereka.”Sebagai kecaman yang mereka tujukan kepada para pengikut Imam Abu Hanifah.

Dalam sebagian riwayat lainnya:

كلهم في الجنة إلا القدرية

“Semuanya masuk surga kecuali Qadariyah.”

Dalam sebagian riwayat lainnya:

إلا الزنادقة

“Kecuali kaum Zindiq.”Demikianlah seterusnya!! Semua itu adalah kepalsuan dan kebohongan semata atas Nabi Mulia Muhammad saw.

Jika Anda cermati redaksi-redaksi seperti di atas itu, pasti Anda dapat mengerti dari mana datangnya hadis-hadis seperti itu, dan di pabrik mana diproduksi.

5) Dan pada sebagian redaksinya, seperti dalam riwayat at-Turmudzi dalam Sunan-nya,5/26 dari Abdullah bin ‘Amr disebutkan:

كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قالوا ومن هي يا رسول الله قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Semuanya masuk neraka, kecuali satu millah. Mereka bertanya, ‘Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?’ beliau menjawab, ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” [3]

Dan dalam riwayatkan lain:

ما عليه الجماعة.

“Yaitu apa yang dijalani oleh jama’ah.”Ucapan di atas adalah ucapan batil dari banyak sisi:

Dari sisi sanad, semuanya lemah, dha’if, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Redaksi: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Tidak mungkin disabdakan oleh Nabi mulia saw. dengan banyak alasan, kami hanya akan sebutkan satu saja darinya: Sesungguhnya para sahabat telah berpecah di masa kekhalifahan Khalifah keempat, Sayyidina Ali –Karramallahu wajhahu- menjadi tiga kelompok; satu kelompok mendukung Sayyidina Ali, yaitu kelompok yang berada di atas haq berdasarkan nash-nash yang shahih dan tegas. Kelompok kedua, tidak mendukung Sayyidina Ali; Khalifah keempat, tetapi mereka juga tidak mendukung yang memerangi Sayyidina Ali ra., sebagian anasir kelompok di kemudian hari menyesali sikap pasifnya. Dan ketiga, adalah kelompok yang bergabung bersama Mu’awiyah pemimpin kaum pemberontak yang memerangi Khalifah yang sah. Kelompok ini adalah kelompok bâghiyah yang terkecam berdasarkan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya:1/541 dan 6/30 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya: 4/2235 hadis 2915.

Nabi saw. bersabda:

عمــار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار

“Ammâr akan dibunuh oleh fi’ah (kelompok) Bâghiyah (yang memberontak tanpa dasar syar’i). Ammâr mengajak mereka menuju surga tetapi mereka mengajak Ammâr menuju neraka.” (HR. Bukhari) [4]

Jadi berdasarkan hadis berpecahnya umat menjadi 73 firqah dengan tambahan bahwa yang selamat adalah: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.’ Dengan kelompok sahabat yang mana yang dipastikan selamat oleh hadis itu?!

Kami perlu katakan di sini, bahwa hadis berpecahnya umat menjadi 73 firqah inilah yang memicu sikap-sikap permusuhan di antara umat Islam, sehingga mareka saling menjauh dan berkeyakinan bahwa kelompok yang berbeda dengannya adalah ahli nereka. Hadis-hadis itu adalah batil, dan tangan-tangan jahat bani Umayyah berperan dalam mengukir kepalsuan itu!

Kami tidak mengingkari bahwa telah terjadi perpecahan di tengah-tengah umat ini dan telah mermunculan firqah-firqah yang saling bertentangan. Akan tetapi kami tidak setuju dengan penyebutan bilangan dan menghitungnya menjadi 73 firqah. Dan kami mengingkari klaim bahwa surga hanya menjadi monopoli satu firqah saja, selainnya adalah penghuni nereka jahannam!

Ini semua, akan memperkeruh perselisihan dan mempertajam perbedaan, sebab semua akan masuk nereka yang masuk surga hanya satu!! Sekali lagi, poin ini yang kami tolak!

(Besambung)

_____________________

CATATAN KAKI

[1] Baca Fathu al-Bari. 3/81 hadis no. 1186

[2] Baca: Mughni al Muhtâj,4/135.

[3] Sunan at-Turmudzi

[4] Dalam hadis di atas, Nabi saw. menyebut kelompok Mu’awiyah sebagai kelompok yang menganjurkan kepada api neraka! Lalu mungkinkah kelompok ini yang akan dijamin masuk surga dan yang dibanggakan Nabi saw. dalam riwayat: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya

Pro dan Kontra Hadis 73 Firqoh (3)


SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

Pebedaan dan Perpecahan di tengah-tengah Umat Islam.

Adapun tentang perbedaan di antara mazhab-mazhab dan firqah-firqah seputar masalah-masalah furû’ (rincian), baik furû’ dalam akidah maupun furû’ dalam fikih atau masalah-masalah lain, itu semua tidak menyebabkan dibolehkannya bermusuhan, berpecah dan saling menohok. Apa yang dilakukan sebagian orang di masa lalu dan juga sekarang, dengan bersekutu dengan musuh-musuh Allah; saling bermesraan dan mendukung, sementara perbedaan kita dengan mereka itu adalah sangat mendasar dalam dasar,ushûl akidah. Tetapi sangat disayangkan, sebagian dari kita memandang saudara seagamanya sebagai musuh yang harus dieyahkan. Semua ini membuktikan kebodohan tentang agama dan keyakinan tidak lain, atau berkuasanya hawa nafsu dan syahwat jahat dalam jiwa serta kecintaan kepada dunia, atau kerana kedua sebab di atas! Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari kejahatan itu, amîn.

Imam ar-Râghib al-Ishfahâni dalam kitab al-Mufradât-nya menjelaskan:

الاختلاف والمخالفة أن يأخذ كل واحد طريقاً غير الآخر في حاله أو قولـه ، والخلاف أعم من الضد لأنَّ كل ضدين مختلفان وليس كل مختلفين ضدين ، ولما كان الاختلاف بين الناس في القول قد يقتضي التنازع استعير ذلك للمنازعة والمجادلــة.

“Kata الاختلاف والمخالفة maknanya ialah setiap orang mengambil jalan yang berbeda dengan jalan lainnya, dalam keadaan dan pendapatnya. Kata الخلاف memiliki makna lebih umum dari kata الضد (lawan), sebab setiap yang berlawanan pasti berbeda, tetapi tidak setiap yang berbeda itu berlawanan. Dan kerena perbedaan di antara manusia dalam pendapat itu menyebabkan perselisihan, maka kata الاختلاف dipinjam untuk makna perselisihan dan perdebatan.”

Jadi الاختلاف (perbedaan) itu ada yang sah-sah saja dan bahkan terpuji, dan ada juga yang tercela dan dilarang. Dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shahihah kedua bentuk itu telah disitir. Di bawah ini, kami akan sebutkan masing-masing dari bentuk الاختلاف itu.

A) Nash-nash yang memuat dibolehkannya ikhtilâf:

Allah Swt. berfirman:

فَهَدَى اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَ اللهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Maka, Allah menunjukkan orang-orang yang beriman dengan izin-Nya kepada (hakikat) kebenaran yang telah mereka perselisihkan itu. Dan Allah selalu menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)

ما قَطَعْتُمْ مِنْ لينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوها قائِمَةً عَلى أُصُولِها فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَ لِيُخْزِيَ الْفاسِقينَ

Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang- orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang- orang fasik. (al-Hasyr: 5)

Dan para sahabat berselisih tentang memotong pohon-pohon dan merobohkan rumah-rumah kaum yahudi bani Nadhîr. Sebagian dari mereka memotong pohon-pohon dan merobohkan rumah-rumah, sementara yang lainnya tidak.

Imam al Mawardi berkata, “Sesungguhnya ayat ini adalah dalil bahwa setiap mujtahid itu benar. Demikian dinukil oleh al Qurthubi dalam tafsirnya,18/8.

Allah Swt. berfirman:

وَ داوُدَ وَ سُلَيْمانَ إِذْ يَحْكُمانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَ كُنَّا لِحُكْمِهِمْ شاهِدينَ * فَفَهَّمْناها سُلَيْمانَ وَ كُلاًّ آتَيْنا حُكْماً وَ عِلْماً

“Dan ( ingatlah kisah ) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing- kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing- masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (QS. Al Anbiyâ’:78-79)

Masing-masing dari dua nabi as. Tersebut telah berselisih dalam ketetapan hukum mereka. Yang satu menetapkan hukum yang berbeda dengan yang lainnya.

Dalam Shahih Bukhari,2/436 ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi saw. besabda kepada kami sepulang dari perang al Ahzâb [Khandaq]:

لا يصلينَّ أحدٌ العَصْرَ إلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة.

“Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”

Lalu sebagian dari mereka menemui waktu ashar di tengah jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat sebelum kita sampai di sana.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Kita shalat saja di sini, Nabi tidak bermaksud seperti yang kamu pahami. Setelah itu mereka melaporkan kejadian itu kepada Nabi saw., dan beliaupun tidak bersikap kasar kepada mereka semua. Dan tentunya beliau tidak akan membiarkan kebatilan!!

Juga dalam Shahih Bukhari,9/101 hadis no.5062 dari Ibnu Mas’ud, ia mendengar seorang membaca ayat yang berbeda dengan yang ia dengar langsung dari Nabi saw., ia berkata, ‘Maka aku pegang dia dan aku bawa menemui Nabi saw., kemudian beliau bersabda:

كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ.

“Kalian berdua telah berbuat baik.”

Imam Bukhari dalam Shahihnya hadis no.7352, dan Muslim dalam Shahihnya, hadis no.1716 meriwayatkan dari Nabi saw.:

إذا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإذَا حَكَمَ فاجتهد ثمَّ أَخْطَأَ فله أجْرٌ .

“Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu ia benar maka baginya dua pahala, dan jika seorang hakim menetapkan hukum dan ia bersunguh-sungguh dalam menetapkannya lalu ia salah maka baginya satu pahala.”

Ini bukti bahwa para ulama yang saling berselisih pendapat itulah yang dimaksud dengan sabda beliau: seorang hakim di atas, yaitu seorang faqîh/ ahli fikih yang mujtahid yang memiliki kelayakan dan kemapmpuan dalam meneliti hukum dari sumbernya. Jika ia akan dieberi pahala dalam usahanya itu baik ia benar ataupun salah dalam upayanya mengungkap hukum, sebab motivasi dan tujuannya adalah mencapai kebenaran hukum dan mencari keridhaan Allah. Kendatipun ia berselisih pendapat dengan seorang mujtahid lain dalam menetapkan sebuah hukum ia akan diberi pahala!!

Para sahabat telah berselisih… para pembesar ulama yang disepakati keagungan dan ketaqwaan mereka telah berselisih dalam banyak masalah. Dan itu tidak dapat diajadikan bukti bahwa mereka semua berada di atas kesesatan!!

B) Nash-nash yang Mengharamkan Perselisihan:

Allah Swt. Berfirman:

َان الدين عند الله الأسلام و مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang- orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” (QS. Âli Imrân;19)

وَ لا تَكُونُوا كَالَّذينَ تَفَرَّقُوا وَ اخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَ أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang- orang yang bercerai- berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang- orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Alu Imrân;105 ).

وَ اعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَميعاً وَ لا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.“ (QS. Ali Imrân;103 )

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Huirairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:

ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كان قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِم وَاخْتِلاَفِهِم عَلَى أنْبِيائِهِم، فَإذَا أَمَرْتُكُم بِشَيْءٍ فَأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وإذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَدَعُوْهُ.

“Biarkan kau selama aku membiarkan kalian, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu binasa dikarenakan mereka banyak bertanya dan menyalahi para nabi mereka. Karena itu apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka kerjakan semampu kalian dan apabila aku larang kalian maka tinggalkan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tolok Ukur Perberdaan Yang masih Ditolerir dan Yang Dilarang

Kita dapat menyimpulkan dari ayat di bawah ini:

وَ مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ

“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” ( QS. Ali Imrân;19 (

bahwa unsur perbedaan dan perselisihan yang terkecam sebenarnya adalah al baghyu (kedengkian)!! Jika ada keikhlasan, kejujuran dan hati bersih dari kebencian, rasa hasud, zalim, cinta kedudukan, ingin tampil menang dan menekan lawan, dan hati ini menjadi sentral kepedulian kepada kemajuan dan kemaslahatan agama dan menegakkan Kalimatullah, berbelas kasih kepada sesama kaum Muslimin dan usur-unsur lain yang menekan sikap al baghyu (kedengkian) maka perbedaan pendapat boleh-boleh saja terjadi! Dengan catatan tidak keluar dari bingkai agama, syari’at, ketetapan aturan bahasa dan kaidah-kaidah yang ditetapkan di kalangan para ulama. Apabila unsur-unsur itu tidak terpenuhi maka ia diharamkan, sebab ia akan menyebakan keharaman yang lebih besar yaitu perpecahan, permusuhan dan terkotak-kotak menjadi puak-puak dan golongan-golongan yang saling bermusuhan.

Allah berfriman:

وَ إِنَّ هذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَ أَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ* فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُراً كُلُّ حِزْبٍ بِما لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ* فَذَرْهُمْ في غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حينٍ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada- Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap- tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing- masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (QS. Al Mu’minun; 52-54)

Dan ketika didapati berdasarkan bukti akurat bahwa perbedaan itu dimotivasi oleh hawa nafsu atau mencari-cari cela untuk mendapat kemudahan karena dorongan nafsu atau kerakusan mendapat dunia yang menyalahi inti tujuan Islam yaitu ridha Allah Swt. Atau menyalahi prinsip berkhidmad untuk membela dan memelihara agama. Atau si penentang itu jauh dari niatan baik mencari titik temu, berlemah lembut dan menabur rahmat untuk umat … jika itu yang memotivasi maka perselisihan yang terjadi adalah tercela dan pelakunya akan merugi. Dan dalam kondisi ini tidaklah benar kita mendukung atau membela pendapat itu.

Bisa jadi dua orang berbeda pendapat tetapi keduanya tercela dan berdosa. Allah Swt. berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَ إِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِي الْكِتَابِ لَفِيْ شِقَاقٍ بَعِيْدٍ

“Semua itu karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran, dan orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) al-Kitab itu, mereka berada dalam penyimpangan yang jauh.” (QS.al Baqarah [2];167)

Dan:

وَ قالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَ قالَتِ النَّصارى الْمَسيحُ ابْنُ اللَّهِ ذلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْواهِهِمْ يُضاهِؤُنَ قَوْلَ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ.

“Orang- orang Yahudi berkata:” Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata:” Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang- orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah- lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling.” (QS. At taubah [9]:30)

Ayat-ayab di atas jelas sekali menunjukkan bahwa kedua kelompok yang saling berbeda itu berada di atas kesesatan dan kekafiran.

Bisa jadi dua orang berselisih, tetapi yang satu berada di atas kebenaran sedangkan yang satunya berada di atas kesesatan.

Allah Swt. berfiman:

وَ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِّنْ بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَ لَكِنِ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَّنْ آمَنَ وَ مِنْهُمْ مَّنْ كَفَرَ وَ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوْا وَ لَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

“Seandainya Allah menghendaki, niscaya orang-orang yang datang setelah mereka itu tidak akan saling berperang (dan bertikai) setelah tanda-tanda yang jelas itu datang kepada mereka. Akan tetapi, mereka saling berselisih; sebagian ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan saling berperang. Akan tetapi, Allah akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Baqarah [2];253)

Boleh jadi ada dua orang berselisih, namun demikian keduanya berada diatas keberanan dan petunjuk Allah, seperti telah disinggung sebelumnya ketika nabi membenarkan kedua kelompok yang berbeda sikap tentang shalat Ashar dalam perjalanan mereka ke kampung bani Quraidhah dan dalam bacaan Al-Qur’an di mana beliau mengatakan bahwa kalian berdua muhsinun, berbuat baik.

Apa yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Perbedaan dan Perselisihan Dalam Pendapat?

Allah Swt berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللَّهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً.

“Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah( Al Qur’an ) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An Nisâ’ [4];59)

Yang dimaksud dengan Ulul Amri dalam ayat tersebut adalah ulama’ yang mendalami agama. Al Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya,5/259:

قال جابر بن عبدالله ومجاهد {أولو الأمر} أهل القرآن والعلم وهو اختيار مالك رحمه الله ، ونحوه قول الضحاك قال : يعني الفقهاء والعلمـاء في الديــن .

Jabir bin Abdilah dan Mujahid berkata, “Ulul Amri adalah Ahli Al Qur’an. Pendapat ini dipilih Imam Malik (rh). Dan pendapat serupa disampaikan oleh Dhahhak, ia berkata, “Yang dimaksud adalah para faqih dan ulama yang mendalami agama.”

Setelahnya ia berkata:

أمر الله تعالى بردِّ المتنازَع فيه إلى كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وليس لغير العلماء معرفة كيفية الرد إلى الكتاب والسنة ، ويدل هذا على صحة كون سؤال العلماء واجباً وامتثال فتواهم لازما.

“Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Al-Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya saw., dan selain para ulama tidaklah mengerti cara mengembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ini menunjukkan bahwa bertanya kepada ulama itu wajib hukumnya dan menjalankan fatwanya adalah kelaziman.”

Oleh karena itu, ketika terjadi perselisihan dalam pendapat, yang harus dilakukan adalah bertanya dan mencari tau, bukan menjauh dan meninggalkan seluruh pendapat yang diperselisihkan. Kewajiban yang harus dilakukan adalah meneliti pendapat masing-masing dan kemudian bersungguh-sungguh dalam memilih mana yang terdekat dengan kebenaran lalu dikemukakan. Dan apabila telah dieketahui mana yang benar, maka harus didukung dan dibela. Jika kebenara bukan pada kedua pendapat yang sedang berselisih maka juga harus diterangkan dengan cara yang bijak.

Allah berfirman:

وَ إِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما

“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.”(QS. Al Hujurât [49];9)

Islâh itu baru dapat dilakukan setelah mengetahui mana yang bener dan mana yang salah!

Allah berfirman:

فَإِنْ بَغَتْ إِحْداهُما عَلَى الْأُخْرى فَقاتِلُوا الَّتي تَبْغي حَتَّى تَفيءَ إِلى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما بِالْعَدْلِ وَ أَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ

“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujurât [49];9)

Coba perhatikan bagaimana Allah memerintahkan umat Islam agar tidak membiarkan pertikaian yang terjadi di antara dua kelompok umat Islam yang muncul akibat perbedaan, akan tetapi Allah memerintahkan agar umat Islam membela yang benar dan melawan yang salah dan memaksanya untuk kembali kepada kebenaran dan terus melakukan desakan hingga kelompok bâghiyah (pembangkang) itu mau kembali kepada jalan kebenaran.

Jika mereka mau kembali maka lakukanlah islâh.

Allah memrintahkan kita untuk menghilangkan permusuhan dan persengketaan, sebagaimana Allah juga memerintah agar kita tunduk kepada kebenaran dan mengajak seluruh lapisan umat untuk menerima kebenaran dan apabila kelompok pembangkang telah kembali kepada kenebaran maka wajib hukumnya menebar kedamaian, dan harus saling kasih mengasihi. Dan ini adalah bukti kuat mendukung apa yang kami tegaskan.

Membela kelompok yang berada di atas kebenaran tidak mesti harus saling bertemu secara fisik, sebab boleh jadi hal itu tidak dapat dilakukan, akan tetapi yang wajib dilakukan ialah membela konsep dan pemikiran kelompok yang benar dan menjabarkannya kapada manusia, baik dengan ceramah, menulis buku atau lain sebagainya.

(Selesai)

Kamis, 19 Maret 2009

Ziarah Nabi Yusuf As di Thebes [1150 BC]


kota-thebes2

Thebes adalah kota kuno Mesir. Kota ini selama berabad merupakan ibu kota Mesir Kuno. Letak kota ini berada di tepi sungai Nil, kurang-lebih 725 Km bagian Selatan dari Kairo (ibu kota kiwari Mesir). Thebes adalah kota yang diidentifikasi dalam ALKITAB bahasa Ibrani sebagai NO (kota) atau No-Amon (Kota Tuhan). Thebes oleh orang-orang Yunani, disebut Diospolis (Kota Tuhan). Thebes (baca: Thebs) di samping di Mesir, juga terdapat di Yunani. Thebes Mesir lebih antik dan kuno ketimbang Thebes yang terdapat di Yunani (479 BC). Thebes menjadi istimewa dan mempesona setidaknya bagi saya karena konon menurut sejarawan dan penafsir al-Qur’an di ibu kota Mesir inilah Nabi Yusuf melewati hampir seluruh masa hidupnya. Semenjak menjadi budak hingga menjadi seorang gubernur yang dicintai tidak hanya oleh Akhenatun (1150 BC) Raja Mesir kala itu, tapi juga oleh seluruh rakyat Mesir, termasuk Zulaikha, kisah amor seorang aristokrat jelita yang tertawan keindahan Yusuf meski ia adalah seorang budak belian. Di Thebes, untuk beberapa tahun kemudian, Yusuf muda memproklamirkan risalahnya yang menyeru manusia untuk meninggalkan sesembahan tuhan-tuhan batu dan besi menuju kepada Tuhan yang Esa. Di kota Mesir Kuno inilah, pesona, keindahan tutur kata, keelokan tingkah laku, kesucian jiwa, ketepatan ta’bir dan takwil mimpi serta kebijakan Yusuf dalam menghadapi setiap persoalan sepelik apa pun menjadi buah-bibir setiap warga kota serta hikmah yang mengalir dari lisan Yusuf bak Nil yang memberi kehidupan bagi rakyat Mesir di sepanjang alirannya.

nabi-yusuf-setelah-menakwil-mimpi-amenhotep-iv-akhenatun-didaulat-menjadi-gubernur-mesir

Nabi Yusuf didaulat Menjadi Gubernur oleh Akhenatun setelah menakwil mimpi Raja Mesir ini

Di tempat inilah Jum’at kemarin saya(www.wisdoms4all.com) dan keluarga melakukan “ziarah”. Anda jangan kaget dulu. Saya dan keluarga tidak berziarah ke kota kuno ini dengan mengendarai mesin waktu seperti yang sering ditayangkan di film-film. Juga tidak sedang melakukan ziarah ruhani dengan melintasi lorong ruang dan waktu dengan menjumpai ruh-ruh yang hidup pada masa 1150 BC (sebelum masehi). Namun saya berziarah ke tempat itu di pinggiran kota Teheran, tepatnya di lokasi syuting sinetron Nabi Yusuf As yang kini sedang ditayangkan setiap malam Sabtu oleh Channel 1, jam 22.15 di seluruh Iran. Dan kabarnya sinetron ini telah disiarkan selain bahasa Persia, juga disiarkan dalam berbahasa Arab dan Turki.

Berziarah ke Thebes ini merupakan sebuah perjalanan yang menarik. Meski berupa replika Thebes Mesir, tapi perjalanan ke Thebes Iran ini mengantarkan kita kepada sebuah cakrawala baru tentang sebuah karya seni, peradaban, dan sebuah kematangan. Menyitir Sa’adi, pujangga terkemuka Iran:

Bisyâr bâyad safar kard

Ta pukhte syawad Khâmi

Banyaklah melakukan perjalanan

Hingga engkau menjadi matang, wahai belia

Iya.. segala perjalanan yang saya atau Anda lakukan adalah sebuah upaya ekskursif untuk melihat dunia baru dan mencicipi hidangan atmosfer baru untuk menjadi lebih matang dan dewasa dari sebelumnya. Betapa tidak, misalnya, ziarah ke Thebes ini kita dapat melihat sebuah karya seni, peradaban dan kematangan hidup orang-orang Thebes di masa Nabi Yusuf dan apresiasi tinggi seniman-seniman Iran atas kisah yang digelari al-Qur’an sebagai kisah terbaik (ahsanul qishas) dalam format sinetron Nabi Yusuf.

dua-aktor-figuran-iran-yang-sedang-syutingan-film-perang1

Dua aktor figuran Iran yang sedang syutingan film perang, dari kejauhan tampak S. Nil

“Thebes ala Iran” tempat pembuatan sinetron Nabi Yusuf ini dibuat di lokasi syuting film “Defâ-e Muqaddas (holy defence) yang banyak melahirkan film-film perang yang berkecamuk antara Iran dan Iraq. Sebelum memasuki “Thebes” kita akan melewati “medan perang” dengan tank-tank tempur bertebaran di mana-mana, barak-barak militer yang di depannya berjejer kendaraan-kendaaran tempur. Di mana pada waktu kami berkunjung ke tempat ini, terdapat beberapa krue film, aktor dan aktris sedang sibuk mengambil film untuk konsumsi festival film Fajr, dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Iran yang jatuh pada tanggal 10 Februari mendatang.

Thebes ala Iran ini kini setelah dua tahun usainya proses pembuatan sinetron dijadikan sebagai museum oleh dinas pariwisata dan kebudayaan pemerintah setempat. Jadi kalau Anda kini mengenal dan bahkan pernah berkunjung ke Thebes yang ada di Mesir atau Yunani, kini Anda juga harus mengenal dan berkunjung ke Thebes di pinggiran kota Teheran. Sebagaimana Thebes yang asli di Mesir ada sungai Nilnya, ada patung Luxor atau Spinxnya, pahatan-pahatan kuno, dan patung Amenhotep III ayah Amenhotep IV, yang kemudian mengubah gelarnya menjadi Akhenatun setelah menjawab seruan Yusuf menyembah Tuhan yang Esa, kini Anda juga dapat melihatnya di pinggiran kota Teheran. Demikianlah apresiasi seni sineas Iran dalam menyuguhkan film-film religius dan bersejarah.

Hingga kini, para sineas Iran telah dan kini sedang membuat beragam film yang bercorak sejarah dan religius. Anda barangkali pernah mendengar bahkan telah menyaksikan film The Seven of Ephesus (Ashabul Kahf), atau Saint Mary (Maryam-e Muqaddas), atau membaca tentang pembuatan film Jesus Spirit of God dan The Kingdom of Solomon. Mengangkat kisah-kisah historis dan religius yang sarat dengan pesan-pesan samawi juga nasihat-nasihat bumi merupakan sebuah keahlian tersendiri para sineas Iran. Kisah-kisah al-Qur’an yang diangkat ke layar lebar atau dijadikan sinetron ini tentu bukan pekerjaan mudah, diperlukan selaksa nara-sumber baik berupa kitab-kitab klasik sejarah, tafsir, hadis, Sunni-Syiah, serta eksplorasi berani seorang sutradara. Dan yang lebih pelik lagi adalah ketika menukil sumber-sumber hadis yang sahih dan membedakannnya dari hadis-hadis Israiliyyat yang banyak bersileweran dalam kitab-kitab hadis, umumnya Ahlusunnah.

Dalam domain film-film kemanusiaan, sineas bangsa Persia ini acapkali menjadi langganan juara di beberapa festival film internasional yang berpengaruh di dunia. Tentu terkecuali Oscar yang memang lebih cenderung pada obyek perfilman komersil, sensual dan serba kolosal.

Nabi Yusuf didampingi Istrinya Asyat di Istana Akhenatun

Nabi Yusuf didampingi Istrinya Asnat di Istana Akhenatun

Sinetron Nabi Yusuf, atau Yusuf-e Payambar dalam Persianya, merupakan salah satu sinteron paling anyar yang dibuat oleh sineas ternama Iran, Farajullah Salahsyur. Sinetron ini dibuat selama 4 tahun dengan menelan biaya produksi kurang-lebih 7 Milyar Toman (sekitar 70 Milyar Rupiah). Sinetron besutan Farajullah Salahsyur merupakan hasil dari 8 tahun riset di perpustakaan al-Azhar Mesir dan kunjungan ke museum Musée du Louvre, Paris, lantaran di museum ini, benda-benda purbalaka perdaban kuno Mesir banyak tersimpan. Sinetron ini mengangkat kisah Nabi Yusuf, semenjak usia belia hingga diangkat menjadi nabi. Hasil riset 8 tahun dan telaah kurang-lebih 60 kitab tafsir kini berbentuk 45 episode dengan durasi tayang 60 menit. “Utamanya saya banyak merujuk kepada tafsir al-Mizan karya Allamah Thaba-thabai,” Aku Salahsyur.

Yang istimewa dari sinteron ini adalah pemerannya adalah seorang yang sama sekali “perawan” dalam dunia perfilman. Berbekal wajah ganteng dan tiadanya pengalaman dalam seni akting, dalam proses casting sang sutradara menjatuhkan pilihan kepada pemuda belia, Mustafa Zamani untuk melakoni peran Nabi Yusuf. “Keperawanan” Mustafa Zamani untuk memerankan tokoh suci Yusersif (dalam film ini, Yusuf oleh orang-orang Thebes dipanggil dengan nama ini) sangat penting karena ketika aktornya telah pernah bermain film dan sinetron dalam beragam peran, apakah itu protagonist atau antagonis dapat menimbulkan kesan dan citra yang kurang baik bagi Yusuf, “Tutur Salahsyur. Apa lagi kalau aktor ini pernah bermain film komedian. Tentu bakalan lebih runyam lagi.

Oleh itu, untuk membekali Mustafa Zamani guna tidak canggung di depan kamera, sang sutradara memintanya untuk menempuh pelajaran intensif seni akting selama lima sampai enam bulan supaya ia dapat menyesuaikan diri dengan peran yang akan dimainkannya. Bahkan, Mustafa Zamani terikat kontrak untuk tidak bermain di film manapun hingga tayangan perdana oleh itu, ia dibayar secara percuma sebesar 500.000 Toman (kurang lebih 5 jutaan Rupiah) tiap bulan meski proses take film udah lama usai. Konon, setelah tayangan perdana dimulai, pelakon Yusuf ini sudah banyak menerima tawaran main film, tapi ia masih saja menolak alasannya ingin mempertahankan citranya sebagai tokoh Yusuf dalam film tersebut. Sikap ini tentu saja Anda tidak akan dapatkan di dunia perfilman nusantara yang serba “boleh” dengan peran apa saja asalkan tetap dapat dipakai.

Thebes dari atas...kini jadi museum setelah 2 tahun usai penyutingan

Saya / Penulis (www.wisdoms4all.com)Thebes dari atas...kini jadi museum setelah 2 tahun usai penyutingan

Ihwal penggalan-penggalan cerita sinetron barangkali akan dialokasikan pada waktu yang lain, namun dari sisi pendekatan bagi Anda yang ingin memahami ayat-ayat Tuhan yang terabadikan dalam surah Yusuf, barangkali menyaksikan sinetron ini akan sangat membantu terwujudkannya keinginan itu. Mengikut Vernon A. Magnesen, dalam Quantum Teaching, yang menyatakan bahwa manusia belajar sebanyak 50 % dari apa yang didengar dan dilihat. Pelajaran audio-visual berupa sinteron yang mengangkat kisah Nabi Yusuf dapat kita ikuti dengan menyaksikan film ini. Sebagai seorang Muslim yang ingin melakukan tadabbur dan tafakkur atas surah Yusuf ini barangkali dengan menyaksikan film ini dapat memperoleh pelajaran sebanyak 50 % selebihnya pada taufik dari Tuhan untuk dapat memahami dan mengamalkan pesan-pesan yang tertimbun di dalamnya. Kabarnya, penerbit Al-Huda Jakarta pernah menerbitkan buku tafsir ukuran saku, Tafsir Surah Yusuf untuk Kawula Muda, yang dikarang oleh Mohsen Qiraati. Tentu dengan gaya bahasa Mohsen Qiraati yang lugas, sederhana tapi menukik akan mengantarkan Anda berziarah abadi secara ruhani dengan Nabi Yusuf melintasi ruang lorong dan waktu, menjambangi kota Thebes fantasi dalam penyingkapan (mukasyafah, disclosure) dan penyaksian (syuhud, witnessing) Anda. Tapi sepertinya Anda sementara ini harus bersabar sampai sinetron Nabi Yusuf ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau minimal bahasa Inggris sehingga Anda dapat segera memulai pelancongan ruhani ini. Kalaulah Anda telah melancong, jangan lupa sampaikan salam saya kepada Yusuf As. Terima kasih.

Selasa, 17 Maret 2009

Syiah kah Aceh????


tarumon

Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali

[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh..

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

shialion21

La Fata Illa Ali, Wa La Syaifa Illa Dzulfaqor

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit)

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:

“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepeda ku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan ceritera tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru dipaha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah ceritera lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan kegungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)

http://serambinews.com/old/index.php?aksi=bacabudaya&budid=104

Jumat, 13 Maret 2009

Rabu, 11 Maret 2009

Shalat hajat untuk menambah rizki dan menunaikan hutang

Diriwayatkan dari Rasulullah saw: Pada suatu hari ada seseorang datang
kepada Rasulullah saw dan mengadu: Ya Rasulallah, aku mempunyai
keluarga banyak dan punya hutang, keadaanku sangat menderita, ajarkan
kepadaku doa yang jika dengan doa itu aku berdoa kepada Allah Azza wa
Jalla Dia memberiku rizki, sehingga dengannya aku dapat menunaikan
hutangku dan meringankan beban keluargaku. Kemudian Rasulullah saw
bersabda: “Wahai hamba Allah, berwudhu’lah dan sempurnakan wudhu’mu,
kemudian shalatlah dua rakaat dan sempurnakan rukuk dan sujudmu,
kemudian bacalah doa:

يَا مَاجِدُ يَا وَاحِدُ يَا كَرِيْمُ أَتَوَجَّهُ اِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ
نَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ، يَا
مُحَمَّدُ يَا رَسُولَ اللهِ اِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ اِلَى اللهِ رَبِّي
وَرَبِّكَ وَرَبِّ كُلِّ شَيْءٍ، وَأَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ اَنْ تُصَلِّيَ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَاَهْلِ بَيْتِهِ، وَأَسْأَلُكَ نَفْحَةٍ كَرِيْمَةٍ
مِنْ نَفْحَاتِكَ وَفَتْحًا يَسِيْرًا وَرِزْقًا وَاسِعًا أَلُمُّ بِهِ
شَعَثِي وَأَقْضِي بِهِ دَيْنِي وَأَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى عِيَالِي.

Yâ Mâjidu yâ Wâhidu yâ Karîmu atawajjahu ilayka bi-Muhammadin
Nabiyyika Nabiyyir rahmah shallallâhu ‘alayhi wa âlihi, yâ Muhammadu
yâ Rasûlallâh innî atawajjahu bika ilallâhi Rabbî wa Rabbika wa Rabbi
kulli syay-in, wa as-aluka Allâhumma an tushalliya ‘alâ Muhammadin wa
Ahli baytihi, wa as-aluka nafhatan karîmatan min nafahâtika wa fat-han
yasîrâ wa rizqan wâsi’â alummu bihi sya’atsî wa aqdhî bihi daynî wa
asta’înu bihi ‘alâ ‘iyâlî.

Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Esa, wahai Yang Maha Dermawan,
aku menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabi-Mu Nabi pembawa rahmat
(semoga Allah menyampaikan shalawat kepadanya dan keluarganya), ya
Muhammad ya Rasulallah denganmu aku menghadap kepada Allah Tuhanku dan
Tuhanmu dan Tuhan segala sesuatu. Aku memohon kepada-Mu ya Allah, agar
Kau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baytnya. Aku memohon
kepada-Mu karunia yang mulia dari seluruh karunia-Mu, kemenangan yang
mudah dan rizki yang luas, yang dengannya aku dapat mengatasi
kesulitanku, menunaikan hutangku dan dengannya aku memohon pertolongan
untuk keluargaku.
(Al-Bâqiyâtush Shâlihât Mafâtihul Jinân bab 2: 230)

Bahaya Orang Yang Enggan Melunasi Hutangnya



Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillahi robbil 'alamin. Allahumma sholli 'ala nabiyyina Muhammad, wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.
duit1Risalah kali ini adalah lanjutan dari risalah sebelumnya. Pada risalah sebelumnya, kami telah menjelaskan mengenai keutamaan orang yang memberi pinjaman, keutamaan memberi tenggang waktu pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan sebagian atau keseluruhan hutangnya. Pada risalah kali ini agar terjadi keseimbangan pembahasan, kami akan menjelaskan beberapa hal mengenai bahaya orang yang enggan melunasi hutangnya. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

"Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (mencuri hasil rampasan perang sebelum dibagikan), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga." (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab "Peringatan keras mengenai hutang."

Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti

Dari Ibnu 'Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
"Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham." (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab "Peringatan keras mengenai hutang."
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.

Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
"Jiwa seorang mukmin masih bergantung karena hutangnya hingga dia melunasinya." (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho'if Sunan At Tirmidzi)

Al 'Iroqiy mengatakan, "Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak." (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)

Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
"Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri." (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Al Munawi mengatakan, "Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka." (Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab "Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya."
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
"Barangsiapa yang mengambil harta manusia, lalu dia berniat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya." (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.

Masih Ada Hutang, Enggan Disholati

Dari Salamah bin Al Akwa' radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

Kami duduk di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak ada." Lalu beliau mengatakan, "Apakah dia meninggalkan sesuatu?". Lantas mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak." Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!" Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Iya." Lalu beliau mengatakan, "Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Lantas mereka (para sahabat) menjawab, "Ada, sebanyak 3 dinar." Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, "Shalatkanlah dia!" Beliau bertanya, "Apakah dia meningalkan sesuatu?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tidak ada." Lalu beliau bertanya, "Apakah dia memiliki hutang?" Mereka menjawab, "Ada tiga dinar." Beliau berkata, "Shalatkanlah sahabat kalian ini." Lantas Abu Qotadah berkata, "Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya." Kemudian beliau pun menyolatinya." (HR. Bukhari no. 2289)

Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid

Dari 'Abdillah bin 'Amr bin Al 'Ash, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
"Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang." (HR. Muslim no. 1886)

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: "Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?" Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat

Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab "Siapa yang berlindung dari hutang". Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari 'Urwah, dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A'UDZU BIKA MINAL MA'TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang)."
Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kenapa yang engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?" Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari." (HR. Bukhari no. 2397)

Al Muhallab mengatakan, "Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta." (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)

Adapun hutang yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:
[1] Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.
[2] Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.
[3] Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya.
Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata (membuat janji) akan mendustakan janji tersebut. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)
Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.

Kenapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?
Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa'id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan,
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia."

Inilah do'a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A'UDZU BIKA MINAL MA'TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).

tawakkalBerbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya

Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab "Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya." Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, "Jangan kamu lakukan itu!" Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, "Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia". (HR. Ibnu Majah no. 2399)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.
Juga terdapat hadits dari 'Abdullah bin Ja'far, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
"Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah." (HR. Ibnu Majah no. 2400)

Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
"Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang." (HR. Bukhari no. 2393)

Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu 'ala nabiyyiina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Yogyakarta, 6 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal


--
Jika ilmu yang engkau miliki berbeda dengan hukum yang Allah tetapkan,
Gantilah hukum Allah agar sesuai dengan ilmu-mu sebagaimana yahudi telah melakukannya,
Atau engkau tambahlah agar hukum yang Allah tetapkan agar lebih bervariasi sebagaimana nashrani melakukannya,
Namun jika engkau muslim kewajibanmu hanya sami'na wa atha'na tidak perlu mengurangi apalagi menambah.
http://baiturrahmah.blogsome.com/

Senin, 02 Maret 2009

kisah bijak !!!!!!!!!!!!!!!

Salah seorang arif (bijak) berkata: “Aku memiliki seorang anak berumur tiga puluh tahun. Namun hingga kini aku tidak pernah memberikan perintah kepadanya, karena aku takut ia tidak mentaati perintahku yang akhirnya akan menyebabkan ia mendapatkan siksa”. [Euis.D]


Tanggapan

Justru engga bijak jadiknya. Syariah ada bukan untuk membebani dan mencari-cari orang untuk mengisi neraka (karena melanggar syariah). Allah membuat syariah justru memberi kesempatan agar kita bisa lebih baik. Begitu juga ketika menjadi ortu, justru harusnya kita mengajarkan dan memberi kesempatan padanya untuk bisa mengenal tuhannya dan lebih baik hidupnya (dgn syariah).

Kertas putih itu memang terlihat bersih, hanya karena kita takut mengotorinya, bukan berarti kita tidak bisa melukis diatasnya.

———————————————————-

Islam Feminis:

Jika anda pahami ungkapan orang tua itu, niscaya anda tidak akan melihat terdapat kontradiksi antara penyataannya dan pernyataan anda.

Perintah orang tua akan dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Jika hubungannya bersifat vertikal maka perintah jenis ini tidak menjadi masalah. Namun jika bersifat horisontal maka harus tidak taat kepada orang tua dan harus mendahulukan perintah Allah. Penafian perintah orang tua yang bertentangan dengan perintah Allah pun harus dengan cara yang baik dan sopan, sesuai apa yang diperintahkan Allah.

Maksud dari perintah orang tua di atas adalah, ia khawatir perintahnya itu bersifat horisontal. Makanya ia hanya memberikan perintah Allah saja kepada anaknya. Itu saja.

Salah seorang pembesar telah ditanya; bagaimana Tuan dapat mencapai kedudukan seperti ini? Beliau menjawab: “Melalui doa ibuku. Pada suatu malam beliau meminta air dariku. Lantas aku mengambilkan dan hendak memberikan kepadanya, namun aku melihat beliau telah tertidur kembali. Menyaksikan hal itu aku berdiri menunggunya hingga waktu subuh. Sewaktu ibuku terbangun dengan penuh rasa heran beliau bertanya: “Kenapa berdiri?” lantas aku menceritakan sebab berdiriku kepadanya. Melihat hal tersebut kemudian ibuku bangkit untuk melaksanakan shalat dan berdoa seraya berkata: “Wahai Tuhanku, sebagaimana anakku ini telah menghormati dan memuliakanku maka muliakan dan jadikanlah orang besar di antara makhluk-Mu”. [Euis.D]

(Sumber: Dantanhoye Mauzu, karya Kazim Said Pur)