Kesyahidan adalah kematian seseorang yang, meskipun menyadari sepenuhnya resiko yang ditimbulkan, bersedia menghadapinya demi satu tujuan suci, atau, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an, di jalan Allah. Kesyahidan mempunyai dua unsur utama :
a) nyawa yang dikorbankan untuk suatu tujuan, dan
b) pengorbanan itu diberikan dengan kesadaran.
Masalah kesyahidan biasanya berhubungan dengan sisi kejahatan, dan sepanjang menyangkut korbannya, kematiannnya adalah suci. Tetapi yang menyangkut pembunuhnya, tindakannya itu merupakan kejahatan yang amat keji. Kebanyakan orang meratapi Imam Husain as karena kesuciannya, (Imam tidak bersalah). Karena Imam menjadi korban keegoisan orang yang haus kuasa. Yang menumpahkan darah Imam tanpa disebabkan suatu kesalahan. Seandainya memang demikian sederhana, Imam Husain tentu hanya akan dianggap sebagai seorang tak berdosa yang menjadi korban perlakuan yang sangat tidak adil. Tak dapat disebut seorang syahid. Apalagi penghulu para syuhada.
Persoalannya ialah Imam Husain as bukan sekedar korban tujuan-tujuan egois. Pelaku-pelaku tragedi itu memang telah melakukan kejahatan karena keegoisan mereka. Tetapi Imam dengan penuh kesadaran memberikan pengorbanan yang paling luhur. Musuh- musuh Imam menghendaki Imam menyerah, tetapi karena menyadari sepenuhnya akan akibatnya, Imam memilih melawan tuntutan mereka.
Imam Husain menganggap bahwa berdiam diri pada masa yang genting itu merupakan dosa besar. Sejarah kesyahidannya, dan terutama penyataan- pernyataanya menjadi saksi atas fakta ini.
Ketika Imam Husain memutuskan berangkat ke Kufah, beberapa anggota keluarganya berusaha mencegahnya. Alasan mereka, tindakan Imam tidak logis. Mereka benar, menurut jalan pikiran mereka sendiri. Keputusan Imam tidak sesuai dengan logika mereka. Logika yang hanya mampu menjangkau dunia. Tetapi Imam Husain as mempunyai logika yang lebih tinggi. Logika lmam adalah logika seorang syahid yang jangkauannya tidak dapat dimengerti orang awam.
Abdullah Ibn Abbas bukanlah orang kecil. Muhammad Ibn Hanafiyyah bukan orang biasa. Tetapi logika mereka didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi dan keuntungan politis. Dari sisi pandang mereka, tindakan Imam Husain as tidak bijaksana sama sekali. Ibn Abbas mengajukan usulan yang sangat politis. la berkata kepada Imam Husain as, "Penduduk Kufah berkirim surat memberitahu bahwa mereka siap berjuang demi tujuanmu. Sebaiknya engkau membalasnya dan meminta mereka menyingkirkan
para pejabat pemerintah Yazid dari sana. Mereka akan menerima atau menolak usulmu. Bila mereka melaksanakannya, engkau dapat pergi ke sana dengan aman. Bila mereka tidak mampu melakukannya, tidak akan mempengaruhi posisimu.
Imam tidak mendengarkan nasihat itu. Imam menjelaskan bahwa ia telah memutuskan untuk maju. Ibn Abbas berkata:
"Engkau akan terbunuh."
"Engkau akan terbunuh."
"Lalu kenapa ?" kata Imam.
"Orang yang pergi dan tahu bahwa ia bakal terbunuh tidak akan mengajak istri dan anak-anaknya," tambah Ibn Abbas.
"Tapi aku harus mengajak mereka," tegas Imam.
Logika seorang syahid adalah unik, tak dapat dimengerti orang awam. ltulah sebabnya kata syahid dilingkari pusaran cahaya kesucian. Kata itu menduduki tempat yang luar biasa dalam kosa kata su atau pembaharu. Kata syahid tidak dapat diganti dengan kata lain.
Darah Syuhada
Apakah yang dilakukan seorang syahid? Manfaatnya tidak hanya sebatas melawan musuh, dan dalam prosesnya, memberi pukulan pada musuh atau terkena pukulan musuh. Bila itu masalahnya, dapat kita katakan bahwa darahnya akan sia-sia. Tetapi darah syuhada tidak pernah sia-sia. Darah itu tidak mengalir di atas tanah. Setiap tetesan darah berubah menjadi ratusan dan ribuan tetes, bahkan menjadi berton-ton darah, dan ditranfusikan ke dalam tubuh masyarakat. ltulah sebabnya Rasul yang suci bersabda, " Allah tidak menyukai tetesan apa pun melebihi tetesan darah yang tercecer di jalan-Nya." Kesyahidan berarti tranfusi darah ke dalam tubuh masyarakat, terutama masyarakat yang menderita anemia. Para syuhadalah yang menginfuskan darah segar ke dalam nadi masyarakat.
Keberanian dan Semangat Syuhada
Karakteristik khas seorang syahid adalah bahwa ia mengisi suasana dengan penuh semangat dan keberanian. la menghidupkan semangat keberanian dan kegigihan, kesatria, dan terutama semangat ilahiah, di antara orang-orang yang telah kehilangan semua itu. ltulah sebabnya Islam selalu membutuhkan para syuhada. Penghidupan kembali keberanian dan semangat sangatlah penting bagi kebangkitan suatu bangsa.
Imam Husain berkata, "Kakekku memberitahuku bahwa aku ditakdirkan mencapai kedudukan spiritual yang sangat tinggi, tetapi tak dapat diraih kecuali dengan kesyahidan."
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kesyahidan sebenarnya merupakan peristiwa bahagia. Bukan peristiwa duka. ltulah sebabnya, seorang ulama besar, Ibn Tawus, berkata, "Seandainya kita tidak diperintahkan untuk berduka cita, saya memilih merayakan hari-hari kesyahidan dengan pesta."
Ajaran moral yang harus kita petik dari kesyahidan adalah bahwa kita tidak boleh membiarkan keadaan serupa terjadi di masa mendatang. Gagasan duka cita adalah untuk memproyeksikan tragedi tersebut sebagai suatu peristiwa yang seharusnya tidak terjadi. Berbagai emosi diungkapkan untuk mengutuk penjahat-penjahat pelaku penindasan dan para pembunuh syuhada, dengan maksud untuk mencegah warga masyarakat meniru kejahatan-kejahatan semacam itu. Dengan demikian kita tahu bahwa tak seorang pun yang terdidik dalam ajaran yang meratapi Imam Husain as menginginkan kemiripan terkecil sekalipun dari Yazid, Ziyad atau yang serupa dengannya.
Ajaran moral lainnya yang mesti ditarik masyarakat adalah bahwa kapan saja muncul situasi yang menuntut pengorbanan, rakyat harus mempunyai perasaan-perasaan seorang syahid dan bersedia mengikuti teladan kepahlawanannya.
Dalam dunia modern ini, adalah merupakan kebiasaan umum untuk mempersembahkan satu hari
setiap tahun kepada kelompok atau golongan tertentu untuk menghormati mereka. Misalnya Hari Ibu atau Hari Guru. Tetapi tidak ada hari yang dipersembahkan , rakyat untuk para syuhada kecuali oleh orang-orang Muslim. Hari itu adalah hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Malamnya dianggap sebagai malam syahid.
Kedudukan Syuhada
Dikisahkan oleh penulis Perang Karbala bahwa : pada malam 10 Muharam, Imam Husein as mengirim putranya bersama rombongan kecil untuk mengambil air. Misi ini berhasil dilaksanakan. Semua minum air yang dibawanya. Kemudian Imam Husain as menyuruh mereka mandi dan membersihkan diri. Imam memberitahu mereka bahwa ini adalah persediaan air terakhir yang dapat mereka peroleh. Bagaimanapun halnya, Imam mengumpulkan segenap sahabatnya dan mengizinkan siapa pun untuk pergi meninggalkannya, jika mereka menghendaki. Imam menyampaikan khotbah yang mengesankan dan penuh dorongan, di mana beliau merujuk peristiwa yang bakal terjadi di siang harinya.
Anda pasti telah mendengar bahwa musuh telah ultimatum terakhimya pada malam 9 Muharram. Berdasarkan itu Imam membuat keputusan terakhir menjelang pagi hari tanggal 10 Muharram. Imam Zainal Abidin yang hadir pada kesempatan itu, mengisahkan bahwa Imam Husain as. mengumpulkan para sahabatnya di tenda yang bersebelahan dengan tempat Imam Zainal Abidin tidur. Imam Husain berkata, "Segala puji bagi Allah. Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau yang sebaliknya." Bagi orang yang melangkah menuju kebenaran dan keadilan, semua yang bakal terjadi pasti baik. Orang yang takwa dengan sadar melaksanakan kewajiban dalam segala keadaan, tak peduli apa pun konsekuensinya.
Berkaitan dengan ini, Imam Husain as memberi jawaban sangat menarik kepada Farazdaq, penyair kenamaan, ketika berjumpa dengannya dalam perjalanan menuju Karbala. Farazdaq menjelaskan situasi berbahaya di Iraq. Imam menjawab, "Bila segalanya berjalan sebagaimana yang kita kehendaki, kami bersyukur kehadirat Allah dan memohon pertolongan-Nya untuk bersyukur kepada-Nya. Tetapi bila terjadi yang tidak menguntungkan, kami tidak rugi, karena maksud kami baik dan kata hati nurani kami jelas. Jadi apa pun yang bakal terjadi pasti baik, bukan buruk. Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya."
Yang Imam maksud adalah bahwa Imam telah melihat hari-hari menyenangkan dan hari-hari tidak menyenangkan dalam hidupanya. Masa menyenangkannya adalah ketika kanak-kanak dan duduk dalam pangkuan Nabi atau saat Imam menunggang di punggung Nabi. Ada masa ketika ia menjadi bocah kesayangan kaum Muslimin. Imam sangat bersyukur pada Allah atas hari-hari itu. Imam juga bersyukur kehadirat Allah atas kesukaran- kesukaran yang terjadi saat ini juga. Karena semua yang terjadi adalah baik baginya. Imam bersyukur pada Allah telah memilih keluarganya mengemban tugas suci, menjadikan mereka mampu memahami Kitab Suci Al-Qur'an sepenuhnya, dan mempunyai wawasan yang benar tentang agama Islam.
Setelah menyatakan itu, Imam menyampaikan pernyataan historis mengenai para sahabat dan anggota keluarganya. Imam Husain berkata, "Saya tidak mengenal sahabat siapa pun yang lebih baik atau lebih setia dari sahabat saya sendiri, dan tidak menyampaikan pemah ada keluarga yang lebih taat dan patuh, dari pada keluargaku sendiri."
Jadi, Imam Husain memberi para sahabatnya status yang lebih tinggi dari status para sahabat Rasulullah yang syahid pada peperangan bersama Rasulullah, dan lebih tinggi dari status para sahabat ayahnya, Imam Ali as, yang syahid pada perang Jamal, Sifin dan Nahrawan. Imam berkata bahwa ia tidak pemah tahu keluarga siapa pun yang lebih luhur dan lebih patuh dari pada keluarganya sendiri. Demikianlah, Imam memberikan pengakuan pada kedudukan tinggi mereka dan mengucapkan terima kasihnya kepada mereka. Selanjutnya Imam berkata, "Saudara-saudara! Akan kuberitahu kalian semuanya, sahabat, dan keluargaku, bahwa orang-orang ini tidak punya urusan dengan siapa pun kecuali aku. Mereka menganggapku sebagai satu-satunya musuh mereka. Mereka menghendaki agar aku menyerah. Sekarang Aku bebaskan kalian dari janji kalian. Kalian tidak harus tinggal di sini. Kalian tidak dipaksa oleh kawan atau lawan. Kalian bebas sepenuhnya. Siapa saja yang hendak pergi, boleh pergi." Kemudian kepada para sahabat Imam berkata, "Hendaklah kalian masing- masing menggandeng tangan salah seorang keluargaku dan pergilah."
Anggota keluarga Imam Husain as, dewasa dan anak-anak semuanya bergabung.Terlebih-lebih mereka semua asing di sana. Imam tidak menghendaki mereka semua pergi bersama-sama. Karena itu Imam meminta masing-masing sahabatnya untuk menggandeng seorang di antara mereka dan meninggalkan medan pertempuran.
Peristiwa ini memancarkan kepribadian luhur para sahabat Imam. Mereka tidak dipaksa pihak mana pun. Musuh tidak mempunyai kepentingan langsung dengan mereka. Imam telah membebaskan mereka dari kewajibannya. Dalam keadaan ini, jawaban yang menghangatkan hati disampaikan setiap sahabat dan anggota keluarga Imam. Sungguh luar biasa.
Peristiwa yang Melegakan
Tanggal 10 Muharram dan malam hari sebelumnya merupakan saat yang sangat melegakan hati Imam karena menyaksikan segenap kerabat, dari yang paling kecil hingga yang lanjut usia, mengikuti jejaknya. Kelegaan lain yang dirasakan Imam Husain adalah kenyataan bahwa tak seorang pun sahabatnya menampakkan tanda kelemahan. Tak seorang pun berbalik bergabung dengan musuh. Sebaliknya, mereka berhasil menginsafkan sejumlah tentara yang memusuhinya hingga berpihak pada mereka. Orang- orang itu bergabung dengan mereka saat hari Asyura dan malam sebelumnya. Salah seorang diantaranya adalah Hur bin Yazid. Sejumlah 30 orang bergabung dengannya sepanjang malam Asyura. Ini merupakan peristiwa yang melegakan Imam.
Seorang demi seorang sahabat Imam Husain berkata padanya, "Junjungan kami! Engkau mengizinkan kami pergi, tapi harus meninggalkanmu sendiri? Itu tak mungkin. Hidup tiada nilainya dibanding dengan diri Yang Mulia." Seorang di antara mereka berkata, “Andai kata saya dibunuh, tubuhku di bakar dan abunya berceceran, sampai tujuh puluh kali, itu belum ada artinya sama sekali dibanding Engkau.”
Yang pertama berbicara malam itu adalah saudaranya Abu al-Fadhl al-Abbas. Sahabat-sahabat lainnya mengulangi apa yang dikatakannya.
Ini adalah ujian terakhir buat mereka. Setelah mereka semua mengumumkan keputusan mereka, Imam Husain as mengungkapkan apa yang bakal terjadi esok. Imam mengatakan, “Saya beritahu bahwa kalian semua bakal syahid besok.” Mereka bersyukur ke hadirat Allah karena diberi kesempatan untuk mengorbankan hidupnya demi keturunan Rasul yang suci.
Di sini, ada tauladan baik untuk dicamkan. Seandainya ini bukan masalah logika seorang syuhada, pembelaan mereka akan sia-sia. Bila memang Imam Husain harus wafat, untuk apa lagi pejuang-pejuang itu mengorbankan nyawa mereka. Imam Husain as tidak mendorong mereka untuk pergi meninggalkannya. Imam tidak pernah mengatakan bahwa kesediaan mereka bertahan tidak berguna. Imam juga tidak pernah menyatakan kehilangan nyawa mereka sia-sia. Seandainya demikian, pertahanan mereka tidak dapat dibenarkan. Imam Husain tidak berkata seperti itu. Sebaliknya Imam menyambut kesiapan mereka untuk , memberikan pengorbanan tertinggi. Hal ini menggambarkan bahwa logika seorang syuhada berbeda dengan logika orang lain. Seorang syuhada sering mengorbankan hidupnya untuk mengobarkan semangat juang, untuk menyinari masyarakat, untuk menghidupkannya kembali dan untuk memasukkan darah segar ke dalam tubuhnya. Salah satu contohnya adalah peristiwa ini.
Menaklukkan musuh bukanlah satu-satunya tujuan kesyahidan. Kesyahidan juga bertujuan mengobarkan semangat. Seandainya sahabat, sahabat Imam Husain as tidak mengorbankan nyawa mereka saat itu, bagaimana mungkin telah demikian banyak semangat berkobar-kobar dibangkitkan? Meskipun Imam Husein merupakan tokoh utama dalam peristiwa kesyahidan ini, tetapi para sahabatnya telah menambah gairah, keagungan semua dan keluhuran peristiwa itu. Tanpa sumbangan mereka, Imam Husain boleh jadi tidak akan dapat menjadikan peristiwa itu demikian penting, hingga menggerakkan, mendidik dan mendorong ummat selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar