Sabtu, 10 Januari 2009

DUA TRADISI MUHARRAM DI INDONESIA


Dua Tradisi Muharam di Indonesia Cetak E-mail


Tradisi Muharam di Indonesia diselenggarakan di beberapa kota: Pariaman, Bengkulu, Pidie, Aceh, Gresik, dan Banyuwangi. Selain itu, ia terdapat di beberapa kota lainnya di Jawa Tengah. Pada zaman dahulu, masyarakat Sumatera Barat, tepatnya di Padang Panjang dan Solok, juga suka menyelenggarakan tradisi Tabut. Tradisi Tabut di wilayah-wilayah pesisir Pariaman, Sumatera Barat, berasal dari mazhab Syiah. Tradisi ini dilaksanakan untuk mengenang cucu Rasulullah saw yang terbunuh di padang Karbala. Masyarakat Sumatera mengatakan, “Setelah Imam Husain syahid, pasukan Yazid memotong kepala beliau as lalu meletakkannya di ujung tombak, dan mengarak-araknya ke jalan-jalan dan pasar-pasar. Dalam keadaan itu, tiba-tiba muncul seekor burung yang bernama “Buraq.” Burung itu mencabut kepala Imam Husain as dari ujung tombak tesebut lalu membawanya ke langit.”
Mengenai hal ini, di kalangan masyarakat Pariaman, beredar cerita-cerita yang beraneka-ragam. Dikatakan bahwa sewaktu Buraq ingin membawa kepala Imam Husain as ke langit, tiba-tiba seorang tentara yang mencintai Imam Husain as naik ke sayap sang Buraq. Ia ingin bersama Imam Husain as ke surga. Namun, Buraq menjatuhkannya ke tanah dan menahannya untuk tidak mengikutinya serta menasihatinya bahwa hendaknya ia membuat Tabut di dunia ini, dan untuk mengenang Imam Husain as setiap tahunnya, ia harus menyelenggarakan peringatan aza (duka cita).
Para tentara, melalui keluarga tentara itu, memperkenalkan tradisi Asyura ke Irak, India, Madagaskar (Afrika), dan Indonesia. Masyarakat Pariaman, setiap tanggal 10 Muharam, memperingati acara ini.
Kendati kuda Imam Ali as terkenal dengan nama “Deldel” dan kuda Imam Husain dengan nama “Zul Janah,” di Tanah Melayu (secara khusus di Minangkabau) kuda Imam Husain dikenal dengan nama “Buraq.” Mereka meyakini bahwa Deldel dan Zuljanah tidak mampu terbang sedangkan Buraq bisa. Buraq inilah yang telah mengantarkan Rasulullah saw ke sisi Allah Swt. Kemudian, Buraq ini pulalah, setelah syahidnya Imam Husain as, yang membawa ruh dan kepala suci Imam Husain ke singgasana Allah Swt. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa Buraq adalah kuda Imam Husain as.
Masyarakat sangat yakin bahwa kuda Rasulullah saw adalah juga kuda Imam Husain as. Namun, menurut saya, masyarakat telah keliru dengan menyangka bahwa Zuljanah adalah Buraq.
Masyarakat Indonesia yakin, setelah syahidnya Imam Husain dan Imam Hasan as, Buraq membawa ruh kedua Imam itu ke sisi Allah Swt. Secara khusus, masyarakat Minangkabau, yakin bahwa ruh Imam Hasan as dan Imam Husain as akan saling bertemu dan, pada zaman Imam Mahdi as, akan kembali ke dunia ini.
Tradisi Tabut, secara khusus di Pariaman, selalu ditujukan untuk memperingati syahidnya Imam Husain as. Hal itu adalah contoh dari pengaruh budaya Iran terhadap kebudayaan Minangkabau.
Di kalangan umat Islam Sumatera, berdasarkan atas tradisi kuno, tradisi aza bagi Imam Husain as dikenal dengan nama “Tabut.” Bulan Muharam mereka sebut dengan “Syura.” Masyarakat, pada malam pertama Muharam, pergi ke salah satu sungai. Di sana, mereka mengambil tanah dengan anggapan bahwa itu adalah tanah jasad Imam Husain as. Lalu, mereka meletakkannya di salah satu padang yang mereka pagari sekelilingnya dengan kayu. Mereka membiarkan tanah itu di sana hingga hari kesembilan Muharam. Ketika hari itu tiba, mereka kembali ke sana.
Di hari kesembilan Muharam, semua masyarakat pergi keluar rumah dengan membawa gendang dan gong. Mereka mengambil beberapa lembar daun pisang lalu meletakkannya di atas tanah yang pernah disimpan itu.
Pada hari kesepuluh Muharam, mereka keluar dengan membawa Tabut kecil dan meminta sedekah dari orang-orang yang baik. Tabut itu membawa seorang anak lelaki kecil yang memakai pakaian berwarna kuning. Mereka menyebut anak itu dengan “Anak Majnun” lalu membawanya ke setiap rumah masyarakat. Anak-anak kecil yang lain mengiringinya sambil melantunkan suara histeris, “Husain! Husain!”
Tradisi ini seolah-olah ingin kembali mengingatkan masyarakat akan musibah yang pernah menimpa Imam Husain as. Jari-jari Imam Husain as mereka buat dari kayu lalu ditutupi dengan sehelai kain atau daun dan diletakkan di atasnya sekuntum bunga. Kemudian pada malam harinya, mereka keluar sambil membawanya. Dengan cara ini, mereka membawakan permisalan tentang jari-jari Imam Husain as yang dipotong oleh musuh-musuhnya di Karbala setelah kematian sang Imam.
Pada malam itu, senandung-senandung duka Karbala dinyanyikan. Pada malam kedua, bersama jari-jari itu, mereka membuat ‘amamah, yang mereka sebut “sorban Imam Husain as.”
Pada malam ke-12 Muharam, mereka mengambil tabut-tabut dan gendang-gendang. Setelah itu, mereka mengambil sedekah dari masyarakat kota.
Pada malam harinya, semua penduduk kampung membawa tabut-tabut mereka ke sungai dan di sana mereka membacakan beberapa syair. Pada waktu Magrib, mereka menghanyutkan tabut-tabut mereka ke sungai atau laut. Di sana saat tabut-tabut itu mulai tenggelam, mereka menjerit histeris mengenang Imam Husain as lalu akhirnya kembali ke rumah masing-masing.
Muharam dalam bahasa Jawa disebut dengan “Suro.” Sementara di Aceh, Muharam disebut dengan “Bulan Hasan dan Husain.” Peringatan Muharam dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia, secara khusus di Pariaman dan Bengkulu. Setiap tahun, acara ini juga diselenggarakan di Kutaraja, Aceh, oleh para pendatang dari Padang. Di Pidie, sebelah timur laut Aceh, masyarakat Keling (Muslim India) menyelenggarakan tradisi ini dengan cara yang khas.

Kanji Asyura
Tradisi keagamaan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak berbeda dengan masyarakat Iran. Keduanya selalu memasak makanan untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah Swt. Di Indonesia, ini disebut dengan kenduri.
Di India, makanan semacam ini disebut kahacri (semacam sup yang terbuat dari beras dan kacang-kacangan).
Di Kairo, Mesir, makanan ini disebut hubbub, yang terbuat dari berbagai macam biji-bijian. Masyarakat Jawa menyebut makanan ini dengan “bubur Suro,” yang terbuat dari berbagai biji-bijian, seperti jagung, kacang tanah, kelapa, dan beras.
Makanan ini dibuat untuk arwah para orang suci, seperti Rasulullah saw dan yang lainnya. Kemudian setelah itu, mereka membagikannya kepada masyarakat. Adapun di Aceh, makanan campuran ini dinamakan “kanji Asyura,” yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, pepaya, delima, pisang, dan akar-akaran.
Di Aceh, tidak setiap rumah memasak makanan ini tetapi di satu kota mereka memasaknya di satu tempat kemudian membawanya ke mesjid atau ke perempatan jalan. Setelah memanjatkan doa, makanan itu dibagikan kepada masyarakat. Demikian juga di Jawa, masyarakat memakan “bubur Suro.”
Masyarakat Aceh sangat menghormati hari sepuluh pertama Muharam. Mereka tidak melakukan aktivitas apa pun pada hari-hari tersebut. Masyarakat Aceh melarang pernikahan pada hari-hari tersebut karena percaya bahwa pernikahan pada saat-saat itu tidak akan mendapatkan keberkahan dan akan berakhir pada perceraian, khususnya pernikahan perawan atau gadis. Mereka pun tidak melakukan khitanan atas anak-anak mereka, tidak berladang, dan juga tidak memanen hasil ladangnya.
Masyarakat Aceh menganggap Muharam sebagai “bulan api,” yakni bulan musibah dan kesedihan. Di sebagian tempat, masyarakatnya suka melakukan maktam sambil mengelilingi api.
Masyarakat Indonesia yakin bahwa Imam Hasan as dibunuh Bani Umayah dengan cara diracun sementara Imam Husain as dibunuh pasukan Yazid di padang Karbala pada Jumat, 10 Muharam. Mereka mengatakan, “Kedua orang bersaudara ini adalah orang yang teraniaya.” Karena itu, masyarakat memperingati syahidnya Imam Hasan as dan Imam Husain as. Masyarakat Minangkabau menamakan Muharam dengan “bulan Tabuik.” Di wilayah Ternate, tradisi takziah ini disebut dengan “Badabus.”
Sementara itu, masyarakat Betawi menyebut sepuluh Muharam sebagai “hari anak yatim.” Di berbagai wilayah di Indonesia, masyarakat, pada hari kesepuluh Muharam, memasak sejenis makanan yang mereka sebut dengan “bubur merah-putih.” Merah adalah lambang darah Imam Husain as sedangkan putih adalah lambang ruh suci Imam Husain as. Makanan ini terbuat dari beras, gula, dan beberapa bahan lainnya.
Masyarakat Melayu memperingati hari anak yatim untuk mengenang Imam Husain as dan Imam Ali Zainal Abidin as, sebagai yatim pertama dari keluarga Rasulullah saw. Hal itu karena, dalam peristiwa Karbala, hanya Imam Ali Zainal Abidin yang masih hidup. Pada hari-hari Asyura, masyarakat Melayu mengenang para syuhada Karbala juga dengan cara melakukan kegiatan amal saleh.

Arak-arakan Tabut di Pariaman

Raffles (periode pemerintahan: 1811-1816 M), komandan pasukan dan utusan kerajaan Inggris, membawa sejumlah pasukan dari India ke Bengkulu. Setelah Pasukan Inggris yang berasal dari India dan Irak, yang didatangkan ke Bengkulu, kebanyakannya menetap di Bengkulu. Setelah itu, ada pula yang menetap di Pariaman. Mereka semuanya adalah penganut ajaran Syiah dan meneruskan tradisi acara aza dan arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman.
Pasukan ini di Pariaman suka dipanggil dengan sebutan keling atau “yang hitam.” “Komunitas keling,” dengan menyelenggarakan acara aza dan arak-arakan Tabut, telah membawa kebudayaan baru kepada masyarakat Pariaman. Qadir Ali yang berdomisili di Pariaman, memiliki kemahiran dalam membuat Tabut. Sejak itu, masyarakat Pariaman pun disibukkan dengan membuat Tabut, dan setiap tahun acara peringatan Muharam masih diselenggarakan. Jadi, acara arak-arakan Tabut semacam ini sudah sangat berkembang di tengah-tengah masyarakat Pariaman.
Begitu berakarnya tradisi tersebut sehingga orang-orang Pariaman, yang telah tinggal di luar Pariaman, tiap tahunnya menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman mereka untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan acara arak-arakan Tabut tersebut.
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai kelanjutan penyelenggaraan acara Tabut ini. Dikatakan bahwa tarekat Syatariah mempunyai andil cukup besar dalam perkembangan tradisi Tabut ini. Syeikh Abdullah Syattar adalah pengikut Imam Ali as. Ia mendirikan tarekat Syatariah di Bagdad, yang sangat memuliakan mazhab Syafi’i, dan mazhab ini menekankan kecintaan kepada Ahlulbait as, khususnya kelima orang suci, yaitu Muhammad saw, Fathimah as, Ali as, Hasan as, dan Husain as. Tarekat ini dikembangkan di Minangkabau oleh Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ia pun terkenal sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Minangkabau.
Di Irak sendiri, orang-orang Syiah pengikut tarekat Syatariah selalu menyelenggarakan peringatan Asyura, yang juga diikuti para pengikut tarekat ini yang bermazhab Ahlusunah. Kemudian acara peringatan ini pun berkembang pula di Iran. Dari Iran, tradisi ini terus berkembang di India. Lalu dari India, ia berkembang di Bengkulu dan Pariaman, yang dibawa orang-orang Syiah India, yang pernah menjadi tentara Inggris di tanah Bengkulu.
Dalam bahasa Minangkabau, acara arak-arakan Tabut ini disebut dengan “Batabuik” atau “Hoyak Tabuik.” Dikatakan bahwa di Minangkabau, acara ini banyak diselenggarakan di Padang Pariaman, yaitu seluruh wilayah pesisir laut Sumatera Barat, khususnya Pariaman.
Selain Pariaman, seandainya sewaktu-waktu terjadi lonjakan jumlah masyarakat Pariaman yang ada di kota-kota lainnya, maka mereka pun menyelenggarakannya di kota-kota tersebut. Contohnya adalah masyarakat Pariaman yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Karena banyaknya jumlah mereka di sana, acara itu pun diselenggarakan di sana.
Penyelenggaraan acara Muharam sangat penting bagi masyarakat Minangkabau. Pada masa lalu, masyarakat perantau Minangkabau tidak pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri tetapi untuk mengikuti acara Asyura dan bertemu dengan sanak famili mereka.

Bentuk Tabut

Tabut adalah semacam menara yang berbentuk kuda bersayap. Ia diyakini sebagai Buraq Imam Husain as. Tabut terbuat dari bambu dan rotan. Mereka pun mengikatkan sebuah boneka di bagian kepalanya, dan juga menghiasinya dengan menempelkan kertas-kertas yang berwarna-warni.
Untuk membuat sebuah Tabut saja, kira-kira dibutuhkan waktu satu bulan. Tinggi Tabut bisa mencapai 10 meter sementara panjang dan lebarnya kira-kira 2,5 meter. Tabut berbentuk persegi empat. Bentuk Buraqnya seperti manusia yang bersayap. Benda ini dikerjakan sejumlah ahli dalam pembuatan Tabut. Biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan sebuah Tabut, lengkap dengan hiasan-hiasannya bisa mencapai 1500 dolar AS. Tabut-tabut dengan ukuran kecil juga dibuat di berbagai wilayah di Kota Pariaman.
Masyarakat Pariaman juga membuat Tabut khusus untuk bernazar. Maksudnya, apabila seseorang memiliki penyakit yang tak kunjung sembuh, mereka pun bernazar bahwa apabila penyakitnya disembuhkan, ia akan membuat sebuah Tabut. Tabut sepintas terlihat seperti sebuah kamar berukuran besar, yang di dalamnya terdapat Buraq sebesar kuda yang sedang berdiri.
Pada bagian pinggang Buraq itu, dibuat semacam mahkota lalu digantungkan di atasnya payung-payungan yang terbuat dari bunga-bunga yang berwarna-warni. Di bagian kedua kaki Buraq itu, diikatkan sebuah palang dari kayu, yang berguna sebagai pegangan di kala mengangkatnya.
Sewaktu Tabut dibawa berkeliling ke gang-gang dan ke pasar-pasar, mereka biasa memukul-mukul genderang dari kuningan atau kuali dari tembaga hingga mengeluarkan suara ramai dan berteriak, “Ya Husain...Ya Husain!” Tepat pada hari kesepuluh Muharam, ribuan orang membanjiri Pariaman, yang dalam situasi seperti itu sangat jelas terlihat berbagai macam tipe orang dari sisi status dan derajat sosialnya. Ribuan manusia menyertai rombongan aza.
Di Pariaman, umumnya dibuat dua buah Tabut, yang pertama dibuat di daerah pasar, dan karena itu mereka namakan “Tabut Pasar.” Sementara itu, yang satunya lagi bernama “Tabut Kampung Jawa” yang dibuat di daerah Kotamadya Kelima.
Secara historis, dikatakan bahwa tradisi Tabut di Pariaman berasal dari Aceh tetapi sebagian lainnya berpendapat bahwa tradisi Tabut di Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh tentara Inggris berkebangsaan India. Yang lainnya justru berkeyakinan bahwa hubungan perdagangan dan keagamaan antara Bengkulu dan Sumatera Barat-lah yang menyebabkan tradisi Tabut berkembang di Pariaman.
Sebagian lainnya lagi berkeyakinan, berbeda dari yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tradisi Tabut bermula dari Aceh, yang pada abad ke-16 M mulai masuk ke Pariaman dan Bengkulu dan dibawa para mubalig serta pedagang Muslim yang menyebarkan Islam di sana.

Proses Terpenting Tabut di Pariaman

Pengambilan Tanah
Masyarakat pada malam satu Asyura datang ke sungai untuk mengambil tanah. Pada acara ini, seluruh masyarakat kota berkumpul di sana. Kemudian, tanah tersebut mereka masukkan ke dalam sebuah belanga yang suka digunakan untuk memasak nasi, yang mereka sebut dengan payuk.
Setelah itu, payuk itu mereka ikat dengan sehelai kain putih. Kemudian, tanah itu mereka letakkan di antara sebuah daraga yang berukuran 3x3. Di sekeliling daraga itu, mereka menempelkan bambu dan melibatkan kain putih di sekelilingnya. Mereka menganggap daraga ini sebagai lambang makam Imam Husain as.
Makna mengambil tanah dari sungai adalah simbol yang menjelaskan kelahiran sekaligus kesyahidan Imam Husain as. Sementara itu, melibatkan kain putih di atas belanga dan di sekeliling daraga adalah simbol kesucian, kebesaran, dan kesyahidan Imam Husain as di jalan Allah Swt. Sekeliling daraga pun dikuatkan dengan batu-batu bersih dan suci, yang melambangkan kekuatan masyarakat Minangkabau di hadapan para penjajah.

Mengambil Ikatan Pisang
Pada hari kelima Muharam, di malam harinya, masyarakat pergi ke mana saja untuk memutuskan ikatan pisang dengan sabetan pedang lalu mereka membawanya. Ikatan pisang itu harus mereka putuskan dengan hanya sekali sabetan pedang saja. Hal itu diyakini sebagai lambang keberanian Qasim, putra Imam Hasan as, yang tak tertandingi, yang berperang melawan rezim Yazid di padang Karbala.

Pelaksanaan Maktam dengan Lima Jari
Pada hari ketujuh Muharam, tepat pukul 12.00 Zuhur, dilaksanakanlah acara aza khusus, yang bernama “maktam lima jari.” Itu adalah simbol lima jari Imam Husain as yang dipotong pasukan Yazid. Mereka mengingatkan bahwa inilah tangan Imam Husain as, yang telah berhasil membunuh sejumlah besar orang kafir yang berbaju Muslim. Dalam acara ini, jari-jari dan daraga sebagai simbol makam Imam Husain as dengan penuh penghormatan khusus diarak-arak ke gang-gang dan pasar-pasar sementara mereka terus menangis.
Jari-jari tersebut dalam bentuk tangan digantung di atas sebuah bangunan yang berkubah. Di atas kubahnya itu, yang terbuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna, mereka menyalakan lilin lalu dibawa dari rumah ke rumah sambil menyenandungkan kesedihan, sehingga masyarakat pun ikut menangis.

Arak-arakan Lima Jari
Pada hari dan pada malam kedelapan Muharam, mereka mengarak lambang lima jari Imam Husain as itu ke setiap gang dalam kota. Dengannya, mereka ingin menjelaskan bahwa betapa besarnya kezaliman yang telah dilakukan Yazid terhadap Imam Husain as.

Arak-arakan Sorban Imam Husain as

Pada hari kesembilan Muharam, sorban kepala Imam Husain as, sebagai simbol kebesaran dan ketinggian Imam Husain as, diarak ke setiap gang dan pasar di dalam kota.

Arak-arakan Tabut atau Pengambilan Nakhl

Pada waktu Subuh hari kesepuluh Muharam, tepatnya pukul 4 Subuh, mereka segera menyiapkan segala keperluan acara aza. Kira-kira pukul 8 pagi, mereka membawa Tabut bersama Buraq, bendera, dan lambang lima jari ke gang dan pasar untuk menyiapkan acara tersebut.
Di belakang, berjalan sekelompok pemain debus. Orang-orang ini melakukan suatu permainan khusus, dengan cara menghujamkan pedang besi ke dalam perut mereka, dan menempelkan ke tubuh mereka pisau dan rantai yang telah dipanaskan dan batok-batok kelapa yang sedang membara karena dibakar. Pesan dari atraksi tersebut adalah kenapa bukan kami saja yang mati menggantikan Husain as.
Di belakang kelompok debus itu, terdapat sejumlah orang yang terbagi ke dalam dua kelompok. Yang pertama dengan kekuatan penuh memukul-mukul genderang dan yang lainnya memainkan kecapi. Pada malam kesepuluh Muharam, mereka membacakan kisah syahidnya Imam Hasan dan Imam Husain as dengan iringan rebana.

Menghanyutkan Tabut ke Laut
Pada hari kesepuluh Muharam, acara aza tersebut mencapai puncaknya. Pada malam kesepuluh Muharam, tabut-tabut tersebut dihanyutkan ke laut. Sebelum tabut-tabut dihanyutkan ke laut, terlebih dahulu mereka mengambil segala sesuatu yang penting dari dalamnya, seperti lambang lima jari yang terbuat dari emas, kain-kain yang mahal harganya dan kertas warna-warni, untuk digunakan pada pembuatan Tabut di tahun berikutnya.
Ketika kembali ke rumah melalui jalan pantai, mereka menganggap bahwa ruh Imam Husain as tengah terbang dengan Buraq ke langit untuk menjumpai Imam Ali as dan mereka pun menangis histeris sambil mengucapkan dengan suara tinggi, “Ya Ali Madad....Ya Ali Madad Ya Husain....Ya Husain!”

Arak-arakan Tabut di Kota Bengkulu

Arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman tidak jauh berbeda tetapi, dari sisi bentuk, Tabut Bengkulu berbeda dari Tabut Pariaman. Di sini (Bengkulu), Tabut dibuat dengan sedikit lebih besar, berwarna, dan berukuran tinggi. Tinggi Tabut Bengkulu dapat mencapai 6-16 meter. Dikatakan bahwa pasukan India (Banggali) datang ke sini lalu memgenalkan Tabut ini. Orang pertama yang mengenalkan Tabut di sini adalah Syekh Burhanuddin, yang dijuluki dengan “Imam Senggolo.”

Tahapan-tahapan Acara Aza di Bengkulu
Mengumpulkan Tanah dari Sungai
Mereka melaksanakan acara ini pada malam pertama Muharam. Untuk acara Tabut tertua yang dikenal dengan “Tabut Berkas,” mereka mengambil tanah dari satu tempat di sungai dan untuk acara Tabut lainnya yang dikenal dengan “Tabut Bangsal,” dari tempat lainnya lagi di sungai.
Dari tanah tersebut, mereka membuat boneka sebagai simbol tubuh suci Imam Husain as. Sewaktu mengambil tanah dari sungai, mereka bernazar dengan membuat makanan khusus yang bernama “bubur merah-putih” (terbuat dari gula, tujuh lembar daun sirih [orang India memakannya untuk menambah kekuatan pada tubuh dan memerahkan bibir, yang dalam bahasa India disebut pan (betel leaves) dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan daun sirih]), tujuh lembar daun tembakau, kopi pahit, susu murni, dan air selasih.
Saat tiba pukul 10 malam, acara ini diakhiri dengan pembacaan doa untuk kebaikan dan keberkahan seluruh umat Islam, dan dilanjutkan dengan meletakkan tanah di satu tempat yang bernama “gerga,” yang di sekelilingnya dililitkan kain sutra berwarna putih. Gerga tersebut mereka anggap sebagai benteng pertahanan Imam Husain as.
Dari hari pertama hingga hari keempat Muharam, setiap hari dari Asar hingga Magrib, mereka menabuh gendang dan gong dengan suara keras di dekat gerga itu. Mereka juga memainkan tiga macam musik khas dalam peperangan dan kesedihan, yang menunjukkan persiapan Imam Husain as untuk perang. Dalam bahasa setempat, tradisi ini disebut “beruji” (persiapan).

Tradisi Lima Jari Imam Husain as di Bengkulu
Pada hari kelima Muharam, dari pukul 3 sore hingga tiba azan Magrib di dekat gerga, gendang dan gong ditabuh dengan suara keras. Dalam acara ini, lambang lima jari Imam Husain as, yang sudah mereka buat beberapa tahun sebelumnya dari campuran emas dan sejumlah logam lainnya, mereka cuci dengan air wangi yang dicampur dengan bunga mawar dan minyak wangi. Masyarakat menempatkan air tersebut ke dalam wadah-wadah, lalu mereka membawanya ke rumah masing-masing untuk keberkahan dan penyembuhan orang sakit.
Dalam acara ini, mereka bernazar dengan membuat “bubur palu kuning,” tujuh ember air minuman, buah-buahan kering, pisang kuning, gula batu, kopi pahit, minuman, dan susu sapi. Kemudian mereka membagi-bagikan semua itu kepada masyarakat setelah pembacaan doa.

Tradisi Menjara (Jeruji)
Tradisi ini menggambarkan peristiwa yang terjadi pada hari kelima hingga ketujuh Muharam antara Imam Husain as dan pasukan Yazid. Pada hari keenam Muharam, kelompok “Tabut Berkas” menyerang kelompok “Tabut Bangsal.” Pada hari ketujuh Muharam, giliran kelompok “Tabut Bangsal” yang menyerang kelompok “Tabut Berkas.” Acara ini dilakukan di alun-alun kota dan disaksikan ribuan orang. Kedua kelompok tersebut menggambarkan pasukan Imam Husain as yang gagah berani. Dalam acara ini, setiap kelompok membawa gendang, gong, bendera, senjata-senjata perang, dan pedang Zulfikar, pedang Imam Ali as, yang lalu diberikan kepada putra beliau as, Muhammad Hanafiah.
Disebutkan bahwa Muhammad Hanafiah turut ke padang Karbala membela Imam Husain as dan rombongannya dari serangan pasukan Yazid. Dalam acara ini, gendang dan gong ditabuh dengan sekeras-kerasnya hingga pertengahan malam. Bersama gendang dan gong, juga dimainkan sejumlah alat musik lainnya, seperti piano, gitar, dan alat-alat musik tradisional. Dengan iringan musik ini, masyarakat melakukan tarian-tarian tradisional.

Tradisi Arak-arakan Jari-jari dan Sorban
Acara ini banyak diikuti kalangan anak muda Bengkulu. Acara ini dilaksanakan pada hari ketujuh dan kedelapan Muharam dengan mengeluarkan lambang jari-jari Imam Husain as yang terbungkus kain sutra putih dari gerga. Setelah itu, mereka meletakkannya ke dalam sebuah Tabut kecil yang bernama cuki (empat sudut).
Sebelum membawa cuki, terlebih dahulu mereka melaksanakan acara nazar dan niyaz. Misalnya, untuk jari-jari Imam Husain nazarnya adalah kopi pahit atau tanpa gula dan minuman sedangkan untuk sorban Imam Husain as adalah bubur palu kuning, telor ayam yang telah matang, bubur dari tujuh jenis sayuran. Mereka bernazar setelah berdoa dan memakannya. Setelah itu, mereka mengarak-arakan Tabut Cuki tersebut ke gang-gang dan pasar-pasar.
Malam kedelapan dan kesembilan Muharam adalah saatnya arak-arakan sorban Imam Husain as tetapi Tabut Cuki pun turut mereka bawa. Dalam acara ini, gendang dan gong terus ditabuh. Sewaktu kelompok “Tabut Berkas” berhadap-hadapan dengan kelompok “Tabut Bangsal,” mereka saling bertukar Tabut Cuki sebagai hadiah dan saling memberikan salam dan menghormati lalu akhirnya berpisah kembali ke tempat masing-masing.

Tradisi Tabut Gadang

Dari pukul 6 Subuh hingga 12 Zuhur, pada hari kesembilan Muharam, sama sekali tidak ada kegiatan yang dilakukan. Saat-saat tersebut mereka namakan dengan “suasana tenang,” atau secara khusus mereka katakan sebagai “saat kesedihan.” Pada hari kesembilan Muharam, pukul 7 malam, setelah menunaikan salat Isya, mereka memulai acara arak-arakan Tabut dengan penuh antusias.
Tahapan-tahapan pelaksanaan tradisi aza di Bengkulu ini mereka sebut dengan “Tabot Naik Pangkek.” Sebelum pelaksanaan arak-arakan tabut-tabut ke gang-gang dan pasar-pasar, “bapak-bapaknya” Tabut beserta masyarakat bernazar dan melakukan beberapa kebaikan. Mereka menyediakan makanan, kopi, minuman, dan teh manis bagi para peserta dan para pembawa Tabut serta membacakan doa kebaikan untuk semua.
Mereka mengarak tabut-tabut besar dan sejumlah besar Tabut Nazar yang dibuat masyarakat, yang bernazar supaya diberi kesembuhan, kebaikan, dan keberkahan. Dalam arak-arakan ini, sekelompok peserta membawa gendang besar dan gong sambil memperlihatkan kemahirannya yang sempurna dalam memainkannya. Suara gendang dan gongnya terdengar hingga ke seluruh kota. Tabut-tabut besar yang telah dihias dan diwarnai melewati semua pelosok kota Bengkulu. Di sekeliling tabut-tabut tersebut, dipasang lilin-lilin dan lampu-lampu minyak yang menerangi tabut-tabut itu, sehingga keindahannya semakin bertambah.
Dalam acara ini, “bapak-bapaknya” Tabut beserta keluarga masing-masing dan masyarakat kota ikut berpartisipasi. Setelah diarak ke gang-gang dan pasar-pasar tertentu, seluruh kelompok peserta arak-arakan ini tiba di sebuah alun-alun kota, yang terletak di tengah-tengah Bengkulu. Pekerjaan ini mereka sebut dengan “Tabot Bersandang” (Tabot Beristirahat). Para juri menilai tabut-tabut tersebut dari berbagai sisi, seperti bentuknya, warna, hiasan, tingginya Tabut, dan juga suara gendang dan gong. Lalu, mereka memilih yang terbaik dari semuanya. Acara ini kira-kira selesai pada pukul 3 Subuh.

Menghanyutkan Tabut ke Laut

Tahapan terakhir dari keseluruhan acara arak-arakan Tabut adalah menghanyutkannya ke laut pada hari kesepuluh Muharam. Mereka akan memperingati hari kesedihan secara khusus apabila 10 Muharam jatuh pada hari Jumat. Maka, acara menghanyutkan Tabut ke laut akan dilaksanakan sehari setelahnya, yakni tanggal 11 Muharam.
Berdasarkan tradisi, sejak Subuh hari kesepuluh Muharam, tabut-tabut dikumpulkan di alun-alun Kota Bengkulu. “Bapak-bapaknya” Tabut, masyarakat kota, dan ribuan peziarah berkumpul di alun-alun dan gang-gang untuk melihat Tabut dan untuk mengikuti iringan arak-arakan Tabut menuju padang Karbala Kota Bengkulu, yang terletak di wilayah Padang Jati. Di wilayah itu, juga berada makam Syekh Burhanuddin yang dijuluki “Imam Senggolo.” Keberadaannya menambah hangatnya suasana untuk aza.
Sebelum meneruskan acara aza dan arak-arakan semua Tabut, mereka menyiapkan hidangan bagi para pengarak Tabut, yang akan mereka makan setelah tiba di padang Karbala. Tabut-tabut diberangkatkan kira-kira setelah lewat pukul 12 siang. “Tabut Bangsal” berada di barisan terdepan sementara “Tabut Berkas” berada di belakangnya lalu yang lain-lainnya bergerak mengikutinya.
Seluruh Tabut pertamakali akan tiba di sebuah pasar yang bernama “Pasar Minggu.” Lalu, di sana mereka beristirahat sejenak. Dari sini hingga padang Karbala, “Tabut Berkas” berada di barisan terdepan. Sewaktu tiba di padang Karbala, “Tabut Berkas” dimasukkan ke makam Syekh Burhanuddin sementara tabut-tabut yang lain langsung mereka bawa ke laut.
Yang berhak memasuki wilayah padang Karbala hanyalah “bapak-bapaknya” Tabut beserta keluarga-keluarga mereka sementara selain mereka tidak berhak. Para keluarga “bapak-bapaknya” Tabut di padang Karbala melaksanakan episode terakhir acara aza ini. Orang-orang lain menyaksikannya dari luar. Setelah selesai acara, mereka mengambil segala sesuatu yang berada dalam “Tabut Berkas,” seperti hiasan-hiasan, dan kemudian mereka membuangnya ke laut sebagaimana tabut-tabut lainnya.
Hingga di sini, rangkaian acara aza pun berakhir. Demikianlah “hidangan malam bagi orang-orang yang terasing” tersembunyi di balik kegelapan malam. Seluruh pelaku aza kembali ke rumah mereka masing-masing dalam keadaan menangis. Karbala Kota Bengkulu pun kembali tidur dalam kesunyian malam hingga tiba tahun depan.

Kesimpulan

Setelah menyaksikan acara takziah dan arak-arakan Tabut dan nakhl di Tehran dan Yazd (Iran), serta di Pariaman dan Bengkulu (Indonesia), penelitian atasnya sampai pada satu kesimpulan bahwa peringatan Muharam di kedua negeri ini banyak kesamaannya, baik pada pembagian tahapan-tahapannya, arak-arakan Tabut, maupun musik Tabut yang menggunakan gendang dan gong. Baik di Yazd maupun di Pariaman serta Bengkulu semua itu sangat mirip.[Disarikan dari Muhammad Zafar Iqbal, Kafilah Budaya, Jakarta: Penerbit Citra, 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar