Siapakah Yang Bermuka Masam?
Sebab turunnya surat Abasa (QS:80) berasal dari sebuah peristiwa sejarah. Suatu ketika Nabi SAAW tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayyah. Ketika Rasul Allah SAAW tengah mengajari mereka, ‘Abd Allah ibn Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi SAAW, datang kepadanya. Nabi SAAW menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Bagaimanapun, Nabi SAAW tidak menjawab pertanyaan orang buta dengan segera mengingat ia berada di tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena ‘Abd Allah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi SAAW. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri, dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi SAAW. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayyah (Walid ibn Mughiro) bermuka masam dan berpaling daripadanya.
Perbuatan orang kaya Quraisy tidak diridhai oleh Allah dan Dia menurunkan surat Abasa (80) melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surat ini memuji kedudukan ‘Abd Allah kendati ia papa dan buta. Dan, dalam ayat-ayat belakangan Allah “mengingatkan” Nabi-Nya SAAW bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andaikata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang mu’min hanya karena ia tidak kaya dan sehat.
Sejumlah mufasir dan ulama mengatakan bahwa surat Abasa ini ditujukan untuk Nabi Allah SAAW karena Nabi SAAW bermuka masam karena kehadiran ‘Abd Allah yang miskin dan buta.
Faktanya adalah Al-Qur’an tidak memberikan keterangan apapun bahwa yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi SAAW dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Lebih dari itu terjadi perubahan kata benda dari dia dalam dua ayat pertama kepada ” engkau” dalam ayat-ayat terakhir dalam surat tersebut. Allah tidak menyatakan “Engkau bermuka masam dan berpaling”, tapi menyatakan, ” Dia bermuka masam dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa,” (QS 80:1-3)
Kendatipun kita mengandalkan bahwa “engkau” dalam ayat ketiga tertuju kepada Nabi SAAW, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata kata “dia” (orang yang bermuka masam) dan “kamu” tertuju pada dua orang yang berbeda.
Kata “kau” atau “mu” dalam Al-Qur’an tidaklah selalu harus ditujukan kepada Nabi SAAW; dalam QS 75:34-35 kata “engkau” ditujukan kepada orang kafir, “Kecelakaanlah bagi engkau (orang kafir), maka kecelakaanlah (bagi engkau)”
Kata ” tawalla” (berpaling) dalam surat Abasa ayat 1 ( QS 80:1 ), juga akan ditemui di QS 75:32, QS 88:23, QS 96:13 yang ketiga-tiganya ditujukan untuk orang kafir. Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an, kata ” abasa” disebutkan 2 kali: surat Abasa sendiri ( QS 80:1 ) dan surat Al-Muddatstsir ( QS 74:22 ). Dalam ( QS 74:22 ) tersebut kata ” abasa” ditujukan untuk orang kafir.
Maka, berdasarkan bukti di atas, apakah mungkin orang yang bermuka masam dan berpaling adalah Nabi SAAW yang akhlaknya terjamin mulia dan agung? Apakah mungkin Nabi SAAW disejajarkan dengan orang kafir?
Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi SAAW terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk! Satu lagi pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bisa seorang Nabi SAAW yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah SWT sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi SAAW, ” Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (QS 68:4) . Tidak ada keraguan atas kemuliaan akhlak Nabi SAAW, bahkan Allah SWT bersumpah demi bintang apabila tenggelam, “Demi bintang apabila terbenam, tidaklah sesat sahabat kamu itu (Muhammad) dan tidak keliru,” (QS 53:1-2)
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah.” (QS 33:21)
Disepakati bahwa surat al Qalam ( QS 68 ) turun sebelum surat Abasa. Ia bahkan diturunkan segera setalah surat Iqra’ ( QS 96 - surat pertama yang diwahyukan ). Bagaimana bisa masuk akal bahwa Allah melimpahkan kebesaran pada makhluk-Nya di permulaan kenabiannya, menyatakan bahwa ia berada dalam budi pekerti yang agung, dan setelah itu balik menegur dan memperingatkannya atas keraguan yang tampak pada tindakan moralnya.
Kesimpulan akhir adalah orang yang menghina orang buta itu BUKANLAH Nabi SAAW. Ulama dan orang yang menganggap Nabi SAAW menghina orang buta berarti mereka menganggap diri mereka lebih mulia dari Nabi SAAW, karena mereka menganggap diri mereka tidak mungkin akan bermuka masam dan berpaling jika ada orang miskin dan buta datang kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar