Rabu, 17 Juni 2009

lanjutan komentar Topik: Bagaimana Hukum Nikah Mut'ah dalam pandangan Islam?

Kiriman 241
1 balasan
Muhammad Baqiranwar menulispada 16 April 2009 jam 22:00
Salm alaikum wr wb
Pak Shallahuddin

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiat khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka. (Shahih Muslim No.3429)

Siapakah khalifah pertama yg ditunjuk oleh Rasulullah? Abubakar bukan ditunjuk oleh Rasul, tetapi dia di pilih oleh umat di Saqifah....dan pemilihannya pun penuh dengan pemaksaan... Hadis diatas bukan penunjukan Abubakar... namun sebagai penegasan kesetiaan kepada khalifah... Siapa khalifah yg telah ditunjuk Rasul???

Dia adalah Imam Ali telah diangakat oleh Rasul Saww di Ghadir Khum, dan Abubakar dan umar memberi salam kepada Imam Ali...

Kuatnya hadis Ghadîr Khumm ini tidak dapat disangkal. Di antara para ahli yang menguatkan hadis ini ialah Imâm Ahmad bin Hanbal, Tirmidzî, Nasâ’î, Ibnu Mâjah, Abû Dâwud, dan penulis-penulis Sunnî lain, seperti Ibnu Atsîr dalam Usdu’l-Ghâbah, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Istî’âb, Ibnu ‘Abdu Rabbih dalam al-’Iqd al-Farîd, dan Jahizh dalam ‘Utsmâniyyah. Lebih dari seratus saluran isnâd yang berbeda-beda dan paling sedikit 110 Sahabat yang telah menyampaikan kesak¬siannya, dan tercatat dalam buku-buku sejarah Sunnî membuktikan kuatnya hadis ini. Ibnu Katsîr, seorang Sunnî yang fanatik, menulis tujuh setengah halaman tentang peristiwa ini.

Isinya Khotbah nabi Saww di Ghadir Khum tentang pengangkatan imam Ali sbg Khalifah pertama, sbb:

Tidakkah kalian mengetahui atau menyaksikan bahwa aku adalah paling utama menjadi wali bagi setiap kaum mu’minîn lebih dari diri mereka sendiri?

Rasûl Allâh saw. lalu memegang dan mengangkat tangan ‘Alî bin Abî Thâlib dengan kedua tangannya sehingga hadirin dapat melihat kedua ketiaknya yang putih .

Kemudian Rasûl Allâh saw. bersabda:
Wahai manusia sekalian! Allâh adalah maulâku dan aku adalah maulâ kalian , maka barang siapa menganggap aku sebagai maulânya, maka ‘Alî ini (juga) adalah maulânya!

Akhirnya Rasûl Allâh bersabda:
Allâh sungguh Maha Besar dengan menyempurnakan agama-Nya dan mencukupkan nikmat-Nya serta meridai risalahku dan menetapkan wilayah bagi ‘Alî!

Umar dan Abû Bakar beri Selamat pada ‘Alî
Sesudah itu ‘Umar bin Khaththâb datang bersama jemaah menemui ‘Alî dan ‘Umar berkata:
‘Alangkah bahagianya Anda (hani’an laka) wahai Ibnu Abî Thâlib, Anda menjadi maulâ setiap mu’min dan mu’minat!’ Dan di riwayat lain: ‘Beruntung Anda (bakhin bakhin laka) wahai Ibnu Abî Thâlib!’. Dan dalam riwayat lain: ‘Beruntung ya ‘Alî!(bakhin ya ‘Alî) engkau menjadi maulâ kaum mu’minîn dan mu’minât!

JADI JELAS INIADALAH PENGANGKATAN IMAM ALI SEBAGAI KHALIFAH PENGGANTI NABI UTK MENERUSKAN RISALAH ISLAM ATAS PERINTAH ALLAH YG DISAMPAIKAN NABI MUHAMMAD DI GHADIR KHUM...

BUKAN ABUBAKAR...
Kiriman 242
Shalahuddin Al Ayyubi membalas kiriman Muhammadpada 16 April 2009 jam 22:13



Wa'alaikumsalaam W W

Maaf, tertinggal nih:

Dari Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika semua orang dibiarkan menuduh semaunya, niscaya akan ada banyak orang yang menuduh harta suatu kaum dan darahnya. Oleh karenanya, haruslah seseorang yang menuduh itu menunjukkan bukti-buktinya dan yang menolak wajib untuk bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya, sebagiannya terdapat dalam kitab Shahih)

Ini juga adalah pegangan saya. :-)

Lalu mengenai "Wajib setia dengan baiat khalifah, yang pertama dibaiat itulah yang kita utamakan.":

Saya kutipkan (lagi), Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiat khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka. (Shahih Muslim No.3429)


KEMUDIAN, tentang "Koq anda merasa tidak bersalah menuduh dgn jelas bahasa indonesianya, anda mengatakan:
Ifadah perempuan penikmat hubungan seks Mut'ah (setidaknya karena mendukung Mut'ah) artinya
Ifadah itu wanita yg menikmati hubungan sex mut'ah krn mendukung mut'ah... INI JELAS2 anda menuduh ifada menikmati hubingan sex mut'ah... berarti ifadah melakukannya.... Apakah anda bisa memastikan bahwa setiap org yg meng HALAL kan Nikah mut'ah itu pasti akan melakukannya???
Anda benar2 telah melakukan fitnahan tanpa bukti..."

JAWABAN SAYA:

Tolonglah anda baca baik-baik, kata per kata, kalimat demi kalimat, pernyataan, dan jawaban saya sebelum ini.

Atau hendak belajar Bahasa Indonesia dulu?


TENTANG "Dan anda belum memberikan jawaban:
Apakah hadis bisa membatalkan ayat quraan?
Apakah ada ayat quraan yg membatalkan ayat an nisa 24 tentang halalnya perkawinan mut'ah?"

JAWABAM SAYA:

KAPAN DAN DI MANA anda bertanya kepada saya tentang ini?


==================================

QS Aali Imraan ayat 7: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [1], itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [2]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

[1] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[2] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.


An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)[


Kiriman 243
Shalahuddin Al Ayyubi membalas kiriman Muhammadpada 16 April 2009 jam 22:31
Wa'alaikumsalaam W W

Eh, rupanya saat saya sedang mengetik on-line jawaban saya terhadap pertanyaan anda yang menanggapi pernyataan saya yang antara lain berisikan keheranan saya bahwa anda tidak senang bersalam dan seterusnya, anda menambahkan sesuatu yang lain tentang Imam, Ghadir Khum dll Forum Diskusi ini, ya?

Sampai belum sempat jawab satu per satu.

Eh, sebagian dari ini pernyataan, bukan? :-)

Ya sudah, saya baca saja, deh. Saya hormati pendapat anda. :-)

Yang berupa pertanyaan, sudah dijawab kiranya. Yang belum (emangnya ada yang belum ya?), nanti2 aja deh ya? Capek juga. Udah malem ni? Kayanya panjang deh? Dan setahu saya memang, ada jawabannya. banyak yang sudah tahu.

WWW





Kiriman 244
1 balasan
Muhammad Baqiranwar menulispada 16 April 2009 jam 22:43
Salam
Pak Shallahuddin,

Lalu mengenai "Wajib setia dengan baiat khalifah, yang pertama dibaiat itulah yang kita utamakan.":

Saya kutipkan (lagi), Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiat khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka. (Shahih Muslim No.3429)

Komentar saya:
Hadis itu tidak mejelaskan bahwa Abubakar sebagai khalifah pilihan Nabi Saww... Anda baca baik2 hadis tersebut...

Sementara hadis Ghadir Khum menjelaskan pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah atas perintah Allah melalui Nabi Saww... INI JELAS....

Mengenai tuduhan penikmat sex atas diri Ibu Ifadah itu jelas sekali.. Tapi anda tidak mengakuinya.. ya saya tidak punya hak memaksa pengakuan anda.. tetapi Biarlah teman2 akan menilainya...

TENTANG "Dan anda belum memberikan jawaban:

Komentar saya:

Ternyata pertanyaan itu saya berikan bukan kepada anda namun kepada Abdul Karim..

Sekarang pertanyaan itu saya ajukan kepada anda:

Apakah hadis bisa membatalkan ayat quraan?

Apakah ada ayat quraan yg membatalkan ayat an nisa 24 tentang halalnya perkawinan mut'ah?"
Kiriman 245
Ifadah Amalia menulispada 17 April 2009 jam 11:43
Pak Shalahuddin
Anda harus bisa membedakan antara subtansi hukum dan aplikasinya.
Maaf2 kl mental seperti anda siapa perempuan yg mau nikah dg Anda. Kl Anda tak bisa berhujjah soal nikah mut'ah, jangan menyebar fitnah.

Bagaimana anda mau melakukan nikah mut'ah sementara anda tdk mengakui hukum halalnya? Jangan kan anda tdk mengakui hukumnya, mengakuinya saja saya tdk mau. Tampangmu serem, jahat seperti godoruwu hehehe.
Kiriman 246
Ifadah Amalia menulispada 17 April 2009 jam 11:53
Mengapa topik pembahasannya pindah ke pembahasan soal khalifah? Kalau tidak, topik ini tutup dulu, pindah ke topik Khalifah. Sy punya saran pak Shalahuddin yg buat artikel ttg kekhalifahan.
Kiriman 247
Santi Wahyuni menulispada 17 April 2009 jam 12:20
Mas Shalahuddin, kamu ngakui dulu hukum halalnya nikah mut'ah, baru bicara pelaksaannya. Memangnya kamu punya mahar utk nikah mut'ah? Kalau mau mut'ah, aku sih mau asal maharnya satu rumah harganya 5 milyar, dan 1 mobil BMW baru. Kamu jangan konyol yaaa...spy aku tdk konyol. Lihat tampangmu kayak yg di kebon binatang.
Kiriman 248
Irma Firdausy membalas kiriman Umarpada 17 April 2009 jam 18:11
Pak Umar yth,

perkawinan mut'ah itu bersandar pada al-quran dan sunah Nabi saw, sahabatpun pernah melakukannya pada masa tertentu.

Seandainya mut'ah itu haram atau zina, tidak mungkin al-quran, Nabi saw serta sahabat menghalalkannya.
Dan jika ada yang mengatakan bahwa mut'ah sudah tidak dibolehkan hukumnya (di-naskh), hal ini tidak ada dasarnya ataupun nasikhnya baik dari al-quran maupun sunah Nabi saw, jadi tidak ada dalil yang kuat yang bisa dijadikan pegangan.

Silakan rujuk semua hadis tentang mut'ah didalam kitab sahih dan sunan serta musnad yang menjadi pegangan mazhab - mazhab Islam yang berbeda beda.
Kiriman 249
Ali Reza membalas kiriman Marlinpada 17 April 2009 jam 22:15
"Benarkah Ayat : ‘Famā'stamta' tum bihi min hunna fa ātū hunna ujūra hunna farîdhatan’
(Dan untuk kenikmatan yang kamu peroleh dari mereka, berilah maskawin (ujūr) mereka, sebagai suatu kewajiban".)
Adalah hujah utk halalnya mut'ah?"

Sebelum menguraikan hal ini, mari kita simak kelengkapan ayat ini agar pemahaman kita tidak sepotong-sepotong.
Allah berfirman :

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.

Maka isteri-isteri yang telah kamu nimati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24)

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan menikah, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (25)

Ayat "Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)"

Potongan ayat ini sering dijadikan hujah utk melegalkan mut’ah. Benarkah demikian? Mari kita simak!
Kiriman 250
1 balasan
Ali Reza menulispada 17 April 2009 jam 22:19

1. Teks ayat ini “Famā'stamta' tum bihi min hunna fa ātūhunna ujūra hunna farîdhatan.”

Di antara ke-mukjizatan Alquran, adalah pada bayan dan pilihan katanya. Kita sepakat bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan kata “istimta’”, bukan “mut’ah”.

Apa arti “mut’ah” dan “isitimta’” dalam Alquran?

Kata “mut’ah” terdapat di dalam Alquran utk bbrp arti yg maksudnya adalah

1. Pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikannya "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah(pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikan) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

Juga pd Qs. Al-Ahzab:49, Qs. Al-Baqarah: 236, al-Baqarah:241. ini wajib bagi suami.

2. Mut’ah haji (tamattu’), maksudnya adalah melaksanakan umrah pada masa aman sebelum tibanya musim haji.

Qs. Al-Baqarah : 196 : Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.

3. Mengambil manfaat dengan rizki yg baik dan kenikmatan hidup.

Dalam Alquran banyak disebutkan kata “mata’a”. Baca : Qs. Huud:3, Qs. Huud: 65, Qs. Muhammad : 12, Qs. An-Nisa’:77.

Adapun kata “istimtaa’”, selain pd Qs. An-Nisaa’ di atas, coba Anda baca pada:

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik." Qs. Al-Ahqaaf: 20

Di antara mu’jizat Alquran, adalah pada bayan dan pilihan kata yg disampaikan. Kata “mut’ah” dan tashrif-nya sebagaimana pada poin 1-3, masuk pada bab “at-tafa’ul” dan “at-taf’iil”, di Alquran selalu disebutkan dengan maksud dan arti untuk pemanfaatan yang sejenak (memiliki batasan waktu). Baik batasan waktunya disebut atau tidak.
Adapun “istimta’”, tidak disebutkan dalam Alquran kecuali untuk pemanfaatan yang bersifat terus menerus, tidak terputus kecuali dengan terputusnya kehidupan dunia.

Penggunaan wazan “istif’aal” dalam Alquran, biasanya untuk “mubaalaghah” = (berlebih-lebihan, terus-menerus), seperti kata : ijabah dan istijabah; ikhraaj dan istikhraaj; iqaamah dan istiqaamah. Dst.

Adapun “nikah mut’ah”, sama sekali tidak ada penyebutannya di dalam Alquran!
Kiriman 251
Ali Reza menulispada 17 April 2009 jam 22:20
2. Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas,

Hal ini disebutkan oleh Ibn Jarir At Thabari dalam tafsirnya. Namun alangkah baiknya jika teman2 Syi’ah, ketika menukil dr tafsir tsb atau dr lieratus Ahlus Sunah lainnya, spy bersikap jujur dan amanah.

Krn Ibn Jarir, stlh menyebutkan “qira’ah syadzah” ini, beliau berkata,

“Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas, dr bacaan mereka “('Famā'stamta' tum bihi min hunna ilā ajalin musamman'), ini adalah bacaan yang menyelisihi mush-haf-mush-haf kaum muslimin. Tidak boleh bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari sumber yang qath’I, (terlebih lg juga bertentangan dengan riwayat mutawatir) yg tidak boleh diselisihi.
Kiriman 252
Ali Reza menulispada 17 April 2009 jam 22:21

3. Bukti2 lain dari kandungan ayat ini sangat jelas mengharamkan nikah mut’ah.

Ayat : “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman…. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs. An-Nisa: 25

Ayat ini jelas sekali menyatakan, barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yg tidka memiliki kecukupan utk menikahi wanita merdeka, maka ia bisa menikahi wanita budak. Dan jika ia masih juga blm mampu, maka hendaklah ia bersabar.

Jika mut’ah adalah solusi, mengapa seseorang yang masih saja belum bisa menikahi budak diperintahkan untuk bersabar?

Demikian pula dalam Qs. An-Nur: 33, Allah berfirman :

33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.

Jika mut’ah adalah adalah halal dan merupakan solusi, kenapa Allah menyuruh orang yang belum mampu untuk menikah supaya menunggu, terbakar dengan gelora syahwat yang menggebu-gebu!

Jika mut’ah halal, mengapa Allah memerintahkannya untuk bersabar sampai Allah memberikan kecukupan baginya untuk melaksanakan pernikahan secara syar’i?

Kiriman 253
1 balasan
Ali Reza menulispada 17 April 2009 jam 22:22
4. Benarkan “ajr” di dalam ayat ini adalah “ajr”/”ujrah” nikah mut’ah?

Sering kita mendengar alasan, “ “shadaq” (mahar nikah) tidak disebut dengan “ajr” dlm Alquran. Maka jelaslah yg dimaksud dengan “ajr” di sini adalah “ujroh” untuk mut’ah.”!!

Kita jawab: Di Alquran, juga menyebut “shadaq” dengan “ajr”. Karena “shadaq” (mahar) adalah sebagai pengganti dari kenikmatan yang kita dapat dari istri, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran Qs. An-Nisa’ : 21

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Maka ia memiliki keserupaan yang sangat kuat dengan harga dari manfaat yang kita peroleh. Maka hal itu disebut dengan “ajr”.
Ayat yang dengan tegas menyebutkan bahwa “ajr” yang maksudnya adalah mahar adalah :

karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka… Qs. An-Nisa: 25, juga dalam Qs. Al-Maaidah : 5 :

(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka.

Dengan demikian jelaslah. BAHWA AYAT AN-NISA : 24-25 INI ADALAH TENTANG NIKAH YANG SAH, BUKAN NIKAH MUT’AH.

ALLAH BERFIRMAN :

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Qs. Al-a’raaf: 28

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 32
Kiriman 254
Marlin Tigor membalas kiriman Alipada 17 April 2009 jam 22:43
PEMBAHASAN YANG MENARIK PAK ALI REZA.

Saya ingin bertanya Pak Ali..
1. Adakah istilah khusus untuk kata NIKAH SAH dan JENIS NIKAH LAIN (misalnya poligami dan nikah mutah ) ? ... atau semua kata nikah semua disebut umum ? .. sebab jika itu disebut umum (nikah tanpa keterangan lain) semua kemungkinan nikah itu bisa terjadi dalam ayat An-nisa tersebut.

2. Ini semakin menarik dengan riwayat Rasulullullah yang pernah menghalalkan mutah. Apa artinya penghalalan tersebut ? .. sebab jika melihat kesimpulan pak reza bahwa mutah sepertinya sama dengan zina saya bisa menafsirkan RASULULLAH JUGA MENGHALALKAN ZINA ? ..

terimah kasih

Kiriman 255
2 balasan
Ali Reza menulispada 17 April 2009 jam 23:27
Jawaban saya,

1. Nikah dalam Islam adalah pernikahan yang dibangun berdasarkan asas firman Allah :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Qs. Ar Ruum : 21

a. "Cenderung dan merasa tenteram kepadanya" = "litaskunuu ilaihaa". Ini mustahil dalam nikah mut'ah! Karena sakinah yg seperti apa yg timbul pada pertalian sejenak?!
b. "dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang" Rasa kasih dan sayang yg seperti apa yang bisa timbul dari pernikahan sejenak?! Mut'ah?!

Maka "tanda kebesaran" Allah pada ayat ini ternafikan pada nikah mut'ah!

Pernikahan dalam Islam juga berdasarkan firman Allah :

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

Adapun nikah mut'ah adalah pertalian antara laki-laki dan perempuan untuk jangka waktu tertentu dan mahar tertentu. Maka makna yg terkandung dalam ayat ini tdk dpt terelisir dlm pernikahan mut'ah!

Maka, poligami = nikah yg sah, dan sama sekali berbeda dengan mut'ah, dari alif sampai ya'nya!

2. untuk pertanyaan kedua ini, perlu dipastikan 1 hal :

Bagaimanakah sifat mut'ah yg pernah dihalalkan oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasllam-?

Mut'ah yg dihalalkan oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- adalah pernikahan dengan syarat2 sbb: ada wali, ada akad, ada mahar, ada saksi, dan harus diramaikan, dan yg terakhir, -yg menyebabkan mut'ah ini diharamkan- adalah ada batas waktu.

Dengan demikian, mut'ah yg pernah dihalalkan, sama sekali jauh dari definisi zina!

Maka jelas, mut'ah di jaman Nabi -shalallhu 'alaihi wasallam- berbeda dg mut'ah versi Rafidhah! yang tidak mensyaratkan wali dan saksi dalam mut'ah versi mereka!

Semoga jelas.
Kiriman 256
Abdul Malik Karim membalas kiriman Muhammadpada 17 April 2009 jam 23:48
jika anda memang jujur mencari kebenaran, silahkan telaah lagi shahih muslim bab nikah mut'ah

jika memang anda jujur sih,

ingat, saya sudah memberi waktu anda cukup lama.

anda barangkali tidak bodoh, tapi yang jelas anda tidak jujur, dan ini tidak mengejutkan saya khususnya.
Kiriman 257
1 balasan
Abdul Malik Karim menulispada 18 April 2009 jam 0:15
jika kita mau jujur menelaah kembali sejarah, maka kita akan temukan fakta-fakta tentang mut'ah itu dengan jelas

repotnya, kita berangkat dengan tujuan untuk mempertahankan keyakinan kita, lalu mencari pembenaran dari dalil yang ada.

ini mengakibatkan kita sulit untuk berlaku objektif, karena ketika ada ayat atau hadits atau bukti lain yang tidak sesuai dengan keyakinan kita, maka cenderung kita tolak, atau jika tidak berani menolak, kita sembunyikan rapat-rapat.

misalnya dalam pembahasan nikah mut'ah,

syiah selalu mengungkap fakta bhwa nikah mut'ah yang pernah dihalalkan Nabi SAAW, ini memang benar, tetapi jika kita perhatikan konteks penghalalan mut'ah pada jaman Nabi, dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh syi'ah sendiri, ternyata Nabi hanya membolehkan nikah mut'ah pada waktu peperangan.

ini fakta penting yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks penghalalan mut'ah.

maka kita tidak pernah temukan bukti bahwa Nabi SAAW mengijinkan untuk nikah mut'ah di kota madinah, selalu dalam keadaan perang.

tetapi syi'ah menggeneralisir hukum ini keluar dari konteks perang, dan menganggap hukum nikah mut'ah adalah mutlak boleh.

dalam mengemukakan bukti halalnya nikah mut'ah, syi'ah tidak segan-segan untuk mengutip kitab hadits sunni, seperti shahih muslim, tetapi karena alasan di atas, mereka tidak berani bersikap jujur dalam mengutip seluruh riwayat yang ada di shahih muslim.

sudah lama saya meminta pada syi'ah yang ada di sini untuk melihat ke shahih muslim, dan saya sudah memberi kesempatan berhari-hari, tetapi mereka masih takut.


Kiriman 258
Marlin Tigor membalas kiriman Alipada 18 April 2009 jam 0:38
Terimah kasi Pak Ali jawabannya. Tapi sejujurnya saya belum jelas, bahkan tambah bingung.


Jawaban yang pertama yang saya tangkap isinya sama saja dengan pembahasan Pak ALi sebelumnya (Argumentasi mengapa mengharamkan mut'ah). Dan menurut saya masih berpeluang "kata nikah" itu ditafsirkan dari sudut pandang lain. Begitu juga denggan ayat Ar-rum 21 tersebut, sama sekali tidak terlihat disitu itu mengarah kepada nikah yang mana.

Jawaban a, itu sangat relatif menurut saya pak Ali. Artinya ketidak tenangan dalam rumah tangga itu bisa terdapat juga dalam nikah permanen atau poligami atau nikah sah menurut keyakinan pak ali. Kekerasan terhadap perempuan, Selingkuh, dan perceraian bisa kita lihat itu tanda tanda SAKINAH ITU perlu dipertanyakan, dan kasus kasus itu banyak terjadi dalam nikah permanen.

Kemudian, MAAF, orang yang kebelet nafsunya secara psikologi bisa jadi sangat tidak tenteram, dan itu bisa diobati dengan menyalurkannya. Dari sini maaf, prostitusi masih laku. Kehamilan diluar nikah banyak terjadi. Pelakunya itupun banyak yang nikah sah dan tentu tidak menikah sama sekali. Tentu yang paling halal adalah kepada istri sahnya.

Kalau ingin berhujjah soal ketentraman sejati (baik suami atau istri) saya lebih berhujjah kepada ayat ayat taqwa dan iman. Misal :yaitu ) orang- orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah- lah hati menjadi tenteram (Ar-Ra'ad 28). Artinya jika keluarga itu ingin bahagia dan tentram beriman dan banyaklah mengingat Allah.


2. Untuk Yang kedua ini saya lebih bingung lagi,.. disaat yang sama MUT'AH itu boleh SELAMA MEMENUHI KETENTUAN SYARIAH... DISISI LAIN HARAM asumsinya JIKA ULAMA MENYAMAKAN KONDISINYA DENGAN SYARIAH boleh jadi HALAL NIKA MUT"AH. Dengan bahasa yang lebih tegas MUT'AH rasulullah boleh, muthah SYIAH rafidhah Haram..... jadi Yang Haram itu MUT'AHnya atau syariahnya ? ....

Berkaitan dengan topik ini, saya pribadi berpendapat pandangan Pak ALi tersebut belum dapat secarah utuh mengharamkan mutah.

Wasalam









Kiriman 259
Uliex Unik membalas kiriman Alipada 18 April 2009 jam 1:22
Salam.. Kepada Pak Ali

Terima kasih,.. atas penjelasan,.. namun dibuat mutar-mutar. Katanya HARAM nikah mut'ah namun dipenjelasan lain pak ali mengatakan MUT'ah di HALALkan.. Di Jaman RAsullullah Saww dengan Syarat2.

Mohon dijawab dgn JUJUR menurut antum ;
1. Nikah Mut'ah hukumnya HARAM apa HALAL.. ?
2. Apa mungkin Allah Swt membuat ketetapan HALAL kemudian Meng HARAMKAN ?

Terima kasih.. Wassallam
Kiriman 260
1 balasan
Ali Reza menulispada 18 April 2009 jam 1:58
Wa 'alaikum salam wrwb.

1. HARAM. Itu sudah jelas dalam uraian saya. Saya telah berusaha menulis dg bhs Indonesia spy Anda paham!!

2. Mungkin. Anda baca tahapan pengharaman Khamer (minuman keras) dalam Alquran, pada mulanya dibolehkan, bahkan Allah menyebutkan adanya manfaat pada khamer (Qs. Al-Baqarah: 219). Kemudian bertahap kpd pelarangan utk minum khamer ketika hendak shalat (Qs. AnNisa: 43), dan terakhir pengharaman secara mutlak (Qs. Al-Maidah : 90).

Waffaqakallah!

Kiriman 261
1 balasan
Uliex Unik membalas kiriman Abdul Malikpada 18 April 2009 jam 2:20
Pak Abdul Malik,..

Anda kurang membaca dalam pemhasan2 dan tulisan2 sebulumnya silahkan dibaca kembali ulasan Muhammad Sadiq dkk.. atau mungkin anda yg kurang Jujur.. dan sebagai tambahan saja,, ;

Bukti lain perihal Riwayat riwayat tentang Pernikahan MUT'AH dalam kitab2 diakui, banyak yg tdk mungkin ditolak atau dipertentangkan, karena sebagian dari riwayat-riwayat itu tercantum dlm kitab-kitab hadis yg shahih.

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, Juz 1 hlm. 535, bab Nikah Mut'ah, yang diterima dari Ata, berkata bahwa ketika Jabir bin Abdullah melaksanakan Umrah, kami mendatangi rumahnya, dan kami mendengar seseorang dari sebuah kaum bertanya kpd Jabir ttg segala sesuatu diantaranya adalah Nikah Mut'ah. Jabir saat itu menjawab, kami memang melakukan istimta' pada masa RAsullulah Saww, masa Abu Bakar dan Juga pada masa Umar.

Imam Muslim meriwayatkan juga dlm Juz yg sama hlm. 467 kitab Haji, bab Taqshir fi al-'umrah' yg bersumber kepada Abi Nadhrah, mengatakan bahwa ketika dia bersama Jabir bin Abdillah kemudian seorang datang dan berkata "Sesungguhnya Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih pendapat tentang dua mut'ah, maka Jabur berkata, "Kami Melakukannya pada masa Rasullulah kemudian kami dilarang melakukannya pada masa Umar"
Ahmad meriwayatkan dalam musnad nya zuz 1 hlm 25 dari dari sumber yg lain dengan sedikit perbedaan dlm redaksinya.

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya pada Juz yg sama bab Nikah Mut'ah dgn sanad dari Zubair ia mendengar Jabir Bin Abdillah berkata, "kami melakukan istimta' dgn segenggam kurma dan tepung pada hari-hari dimasa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga akhirnya Umar melarangnya pada perkara Umar bin Haritz. Dan dalam kitab2 shahih kalian banyak lagi yg tdk mungkin disebutkan seluruhnya.

Seperti BUKHARI meriwayatkan dalam kitab tafsirnya yg Sahih bab "Haji Tamattu', dan Ahmad dlm musnad-nya, juz 4, hlm. 429, dari Abu Raja dari Imran bin Husain ia berkata ketika ayat tentang Mut'ah ini turun, kami melakukannya pada masa Rasulullah Saww dan Allah tidak menurunkan ayat lain yg mengharamkannya . Rasulullah sendiri tidak melarangnya sehingga wafatnya.

jadi semua itu mengungkapkan tentang pekerjaan para sahabat yg melakukan nikah mut'ah pada masa Rasulullah dan Abu bakar serta pada awal pemerintahan umar, yg kemudian umar melarangnya.
Kiriman 262
Marlin Tigor membalas kiriman Uliexpada 18 April 2009 jam 2:47
Maaf Pak Ali Reza. Sedikit keluar dari topik. Soal Khamer yang dari boleh, sedikit boleh sampai diharamkan mutlak.

Untuk obyektifitas pernyataan tersebut seperti yang Pak Ali Reza Lakukan kita jangan melihatnya sepotong sepotng. Berikut ini surat Al baqarah 119 dan An Nisaa'-43 yang dijadikan alasan boleh dan kemudian haram terhadap khamer.

Al-baqarah 119.

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَ الْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَ مَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَ إِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَ يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ(219)

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah, “Keduanya memiliki dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi, dosanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan harta dari kebutuhan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir (merenung)

An Nisaa 43

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَ أَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ وَ لا جُنُباً إِلاَّ عابِري سَبيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْديكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً (43)

Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,( jangan pula hampiri mesjid )sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ( suci ); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.( 43 )

Saya harus mengakui dan jujur bukanlah orang yang faham bahasa arab. Tapi dari terjemahan tersebut sekali lagi saya tidak melihat itu berkait dengan bolehnya khamer kemudian menjadi haram.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah, “Keduanya memiliki DOSA BESAR dan beberapa manfaat bagi manusia.... bagaimana mungkin sesuatu yang menjadi DOSA BESAR jadi diperbolehkan ? ... tolong diklarifikasi Pak ALi Reza. Kalo itu bahasanya salah tertipu semua umat ini.

begitu diayat annisa 43 itu. Apakah penafsirannya sudah sholat boleh mabuk ? ...

NAMPAKNYA ANDA LEBIH MENGERTI TENTANG BAHASA ARAB. Jangan biarkan orang orang salah tafsir gara gara salah terjemah.









Kiriman 263
1 balasan
Uliex Unik membalas kiriman Alipada 18 April 2009 jam 3:03
Salam pak.. terimakasih penjelasan singkat dan padat.

Namun apa ga mulai ngacau ini pak Ali Reza... Allah Swt Mengharamkan sesuatu memakai tahapan.. dgn dalill antum sebut atau seperti diuraikan bang Marlin Tigor.. coba antum lihat lagi..

Kalau memang antum mengatakan bahwa Allah Swt dalam membuat suatu keputusan Mungkin hari ini HARAM dan dilain waktu Mungkin HALAL.. seperti antum sebutkan.

Berarti banyak Orang yang tidak akan percaya Akan TUHAN (Allah) dan salah satunya saya.. Karena Allah Plin Plan dalam mebuat keputusan hari ini ia HALAL kan dan besok nya ia HARAM seperti yg antum katakan..

Kiriman 264
1 balasan
Muhammad Baqiranwar menulispada 18 April 2009 jam 6:19
Saudara Ali Reza,

Anda mengatakan Nikah Mut'ah HARAM... anda sdh menjelaskan.. Tapi penjelasan anda itu tidak sesuai Nash dan bahkan bertentangan dengan Alquraan... bagaimana bisa diperjaya penjelasan anda???

Pertanyaan paling gampang utk anda jawab:
1. Apakah ada ayat yg membatalkan Nikah Mut'ah surat an-nisa 24? kalau ada ayat yg membatalkan sebutkan ayatnya?

2. Apakah bisa hadis membatalkan ayat alquraan?

Coba anda jawab sesuai dgn kaidah2 hukum quraan dan hadis....

Kami sdh menjelaskan tentang Halalnya nikah Mut'ah dan siapa yg meng HARAM kan? yang mengharamkan adalah Umar bin Khatab... Abubakar mengawinkan anak putrinya dgn perkawinan Mut'ah dan menghasilkan 2 org anak putra... Apakah Abubakar mengajarkan perzinaan?

Beginilah sikap anda dan kawan2 dan kaum mayoritas islam (golongan sunni dan wahabi) yg telah disinggung Allah karakter2 mereka bahwa:
Seandainya malaikat Allah menjelaskan kebenaran maka kebanyakan manusia itu tidak beriman, dan kebanyakan manusia diantara mereka akan digiring ke NERAKA, dan kebanyakan manusia itu tdk bersyukur, dan kebanyakanmanusia itu seperti binatang.... " Anda tau kan surat dan ayatnya di dlm quraan karakter kaum mayoritas umat??? Begitulah anda dkk...

Kalau malaikat saja menjelaskan anda tidak mungkin beriman, apalagi manusia seperti kita yg menjelaskan.. anda akan merasa lebih berilmu... dan akhirnya menjadi manusia yg bebal, alias taqlid buta... yaaa seperti binatang itu...
Kiriman 265
Abdul Malik Karim membalas kiriman Muhammadpada 18 April 2009 jam 8:45
ada pertanyaan yang lebih mendasar untuk dibahas, yaitu apakah surat An Nisa' ayat 24 membahas tentang nikah mut'ah?

baru tanya apakah ada yang menasakh,

anda bilang:
Abubakar mengawinkan anak putrinya dgn perkawinan Mut'ah dan menghasilkan 2 org anak putra...

dari mana sumbernya?


Kiriman 266
Muhammad Baqiranwar menulispada 18 April 2009 jam 9:19
BUKTI HADIS YANG MENGATAKAN ABUBAKAR MENGAWINI PUTRINYA, SBB:

Anda Baca kitab, "Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 139. Bacalah juga Shahîh Muslim, jilid 1, 354, Abu Dāwud Ath-Thiyāsî dalam Musnad-nya, hlm. 227, Imam Ahmad, Musnad, .jilid 6, hlm. 348

Kata-kata Ibnu 'Abbās kepada 'Urwah: "Tanyakan pada ibumu' karena ibu dari 'Urwah bin Zubair, putri khalifah pertama yang bernama Asmā' binti Abū Bakar nikah mut'ah dengan ayah 'Urwah yang bernama Zubair bin 'Awwām dan melahirkan 'Abdullāh bin Zubair dan 'Urwah bin Zubair.

Ar-Rāghib berkata dalam Al-Muhādharāt jilid 2, hlm. 94:
" 'Abdullāh bin Zubair mencela 'Abdullāh bin 'Abbas karena yang terakhir ini menghalalkan mut'ah.

'Abdullah bin 'Abbas lalu berkata: 'Tanyakan pada ibumu bagaimana anglo yang menyala antara ibumu dan ayahmu. Maka 'Abdullāh bertanya kepada ibunya. Ibunya menjawab: 'Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui kawin mut'ah'.

Dan Ibnu 'Abbās berkata: 'Perapian pertama yang menyala dalam mut'ah adalah perapian keluarga Zubair".

Pak Abdul Malik,
KELIHATAN ANDA TIDAK PERNAH MEMBACA KITAB ANDA... TAPI TIDAK APA2, KARENA KAMI MEMAHAMI KARAKTER2 KAUM MAYORITAS UMAT ISLAM SUNNI DAN WAHABI ITU SESUAI DGN FIRMAN ALLAH BAHWA KEBANYAKAN MANUSIA ITU TIDAK BERIMAN MESKIPUN MALAIKAT MENJELASKAN... DST NYA... DAN SUDAH TERLIHAT KARAKTER ITU ADA PADA DIRI ANDA DKK...

Anda pun tidak menjawab pertanyaan saya:
Apakah ada ayat quraan di batalkan oleh hadis?
Apakah ada ayat quraan yg membatalkan surat an Nisa 24 mengenai halalnya nikah mut'ah? kalau ada di jawab...

Jadi Topik ini tidak perlu dibahas lagi karena membahas dan berdiskusi sama org bodoh seperti anda itu sulit sekali... tidak paham pertanyaan lalu menjawab se enaknya dan buat pertanyaan pula yg tidak ada singkron...
Kiriman 267
Ali Reza membalas kiriman Uliexpada 18 April 2009 jam 9:59
Saya sudah sangka, jika Anda akan berkata spt ini.

Allah Maha Tau akan keterbatasan yg ada pada hambaNya. Anda perhatikan setiap syariat yg Allah turunkan, dari jaman para nabi, dan jaman Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- -dari ketika masih di Makah dan ketika stlh hijrah ke Madinah-.

Alquran tidak turun sekaligus 30 juz. Tapi bertahap!

Ini bukan karena plin-plian seperti sangkaan Anda, tapi ini karena ke-Maha Bijaksanaan Allah, ke-Maha kasih an Sayangnya Allah pada hambaNya.

Adapun jika muncul dari salahsatu ciptaanNya yg spt Anda, sehingga menisbatkan hal2 yg tidak layak bagiNya, Allah pun memberikan waktu tangguh bagi seluruh makhlukNya hingga hari penghisaban.

Bukankah Allah telah memberikan masa tangguh kepada iblis dengan segala pembangkangan dan kekurang-ajarannya?
Kiriman 268
Muhammad Baqiranwar menulispada 18 April 2009 jam 11:27
Pak Ali Reza,
Justru, bukan saya yg berkata menceritakan bahwa Abubakar mengawinkan putrinya dgn cara pernikahan Mut'ah... Yang mengatakan itu adalah tulisan ahli sejarah ulama sunni dalam kitab yg saya sebutkan diatas, dan bersumber dari sahabat Nabi juga bernama ibnu Abbas kepada Urwa...

Jadi, anda tidak perlu kecewa, karena Abubakar tidak berani mengharamkan nikah Mut'ah, bahkan merestui putrinya melakukan nikah Mut'ah... Karena Dia tau itu adalah perbuatan HALAL...

Yang anda perluh risaukan itu adalah sikap Umar bin Khatab, krn dialah yg berani mengharamkan nikah Mut'ah yg di halalkan Allah....

Koq anda mengatakan saya menisbatkan yg tidak layak... Kitab ulama2 anda sunni lah yg menceritakan demikian... saya hanya meng copy tulisan kitab itu... Kalau tulisan itu salah... Maka jangan mengikuti kebanyakan manusia itu.. karena karakter mereka tidak akan beriman... anda lebih paham firman Allah itu mengenai karakter manusia yg kebanyakan tidak beriman...

Allah memberikan masa tangguh kepada Iblis itulah makannya Allah memperingatkan kepada umat islam agar tidak mengikuti kebanyakan manusia itu (ahlussuna dan wahabi sabagai umat mayoritas islam) krn mereka tidak akan beriman meskipun malaikat menjelaskan kebenaran itu, mereka itu kebanyakan tidak bersyukur, kebanyakan manusia itu menyukai yg batil.. dan mereka akan digiring ke neraka seperti binatang/org yg punya akal tapi tidak dipergunakan seperti anda dkk

Kiriman 269
Marlin Tigor menulispada 18 April 2009 jam 12:13
Pak Ali Reza. Apa hubungannya turunnya Al-quran yang bertahap berkaitan dengan bertahap juganya proses pengharam sesuatu ? dalam hal ini khamer yang anda hujjahkan dengan aya Al-Baqarah 119 dan An- niisaa 43. mari saya postingkan lagi ?

1. HARAM. Itu sudah jelas dalam uraian saya. Saya telah berusaha menulis dg bhs Indonesia spy Anda paham!!
Postingan anda :

2. Mungkin. Anda baca tahapan pengharaman Khamer (minuman keras) dalam Alquran, pada mulanya dibolehkan, bahkan Allah menyebutkan adanya manfaat pada khamer (Qs. Al-Baqarah: 219). Kemudian bertahap kpd pelarangan utk minum khamer ketika hendak shalat (Qs. AnNisa: 43), dan terakhir pengharaman secara mutlak (Qs. Al-Maidah : 90).

sementara terjemah kedua ayat itu tidak hubungannya dengan proses PROSES pengharaman yang anda sebut, kecuali anda ingin membatalkan terjemah itu dengan bahasa arab atau ada penjelasan dari kitab kitab tafsir.

MAAF saya tidak ingin keluar dari topik. Tapi ini menjadi penting,.. jika Pola Anda asal comot terhadap sebuah hukum tuhan, semua pandangan Pak ALi reza tentang MUTAH bisa jadi meragukan. Bahkan terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu pendapat.


DAN MENURUT SAYA KITA BELUM DALAM KAPASITAS PEMBANGKAN TERHADAP ALLAH DAN APALAGI MENJADI PENGIKUT IBLIS. KITA INI MASIH DALAM PENDISKUSIAN UNTUK MENARIK BENANG MERAH TENTANG FAKTA FAKTUAL TERHADAP HUKUM HUKUM ISLAM DALAM HAL INI NIKAH MUTAH. SEMUA MASIH BERPELUANG MEMBUKTIKAN KEBENARAN APA YANG DIYAKINI.








Kiriman 270
Muhammad Shadiq membalas kiriman Alipada 18 April 2009 jam 14:38
@ Ali Reza
Apa arti "istimta" ..., coba simak saksi sejarah periode kenabian dan berikutnya, bagaimana mereka mengimplementasikan ayat sehingga menjadi prilaku syar'i dalam kehidupan mereka atas nama pernikahan MUT'AH...?!

“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.

Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah

Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:

1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.

2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.

3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.

4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.

5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.

6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.

7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat dan Tabi’in

Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:

Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab,

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas...”(Qs Al-Ma’idah:87)

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya.

Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.

Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya,

Hahaha..P. Ali Saya gak tahu anda dapat dari mana legalitas menjadi Mujtahid gadungan, memuncul kan ide baru dalam leteratur keislaman ini ..?
Kiriman 271
2 balasan
Irma Firdausy membalas kiriman Lisnapada 19 April 2009 jam 10:52
Salam Ibu Lisna,

Kenapa anda berbicara seperti itu, anda tidak mengerti tentang mut'ah atau bagaimana??
Kiriman 272
1 balasan
Januar Mangitung menulispada 19 April 2009 jam 11:30
Saya kira bab mut'ah itu sudah selesai, ternyata sudah sampai halaman 10 ya... yang jelas pernikahan mut'ah itu halalan toiyyiban... sesuai dg nash quraan dan hadis....

Kalau ada yg masih meragukan dan meng- haram-kan pernikahan mut'ah itu berarti tidak percaya dengan kitab suci quraan itu berasal dari Allah... Penjelasan Pak Shodiq dan Pak Baqir sudah jelas sekaleee...boo..

Kalau ada yang mau melakukan silakan, dan kalau ada yg tidak mau juga monggo... Namun yang terpenting kita tidak menjadi manusia pembangkang terhadap hukum Allah dengan mengharamkan yang dihalalkan Allah...

Syukron...
Kiriman 273
Syahru Rizal menulispada 19 April 2009 jam 14:35
betul..saya setuju..usulan bang januar.., karena diskusinya berhadapan sama orang-orang pandir dari si 2umar.., si dul makar...dan konco-konco sesatnya ...susah di ajak berpikirnya....sama persis seperti...si...Umar ktb..yg dahulu dungu...dungu....dan...dungu...
Kiriman 274
Lisna Wati membalas kiriman Irmapada 19 April 2009 jam 14:53
saya punya pengalaman dari seorang teman yg kebetulan seorang dosen yg mempraktekkan nikah mut'ah,dgn apa yg menjadi alasan2 mereka tuk melakukan nikah mut'ah kaeknya tdk bisa di terima oleh saya,....itu aja sih...
Kiriman 275
Muhammad Baqiranwar menulispada 19 April 2009 jam 16:00
Ibu Lisna,
Betul sekali, anda boleh tidak setuju atau mengharamkan perkawinan dgn nikah mut'ah utk diri Ibu sendiri.. Tapi tidak boleh ibu mengharamkan Nikah mut'ah utk umat islam, seperti Umar bin Khatab berani mengharamkan, Karena Allah meng Halalkan...

Syukron Bu...
Kiriman 276
Rafiq S Sos menulispada 19 April 2009 jam 17:07
Assalmualaikum w.w.
Segala puji bagi Allah, Tuhannya Kaum sunni dan kaum syi'ah. Tuhannya empat Imam fiqih mazhab Sunni dan Imam-imam mazhab syiah. Tuhannya penganut Qadariyah dan Jabbariyah, Mu'tazilah dan al-asy'ariyah, Khawarij, murji'ah dan maturidiyah.
Perbedaan pendapat di antara umat Muhammad adalah rahmat. Celaka bagi mereka yang memanfaatkan perbedaan tersebut untuk membuat kerusakan. Mereka begitu sombong, angkuh dan menganggap dirinyalah yang benar. Sebenarnya kodrat setiap makhluk untuk bersifat fana, sebagaimana fananya pemikiran-pemikiran mereka. Hanya Allah lah kebenaran yang mutlak, dan Islamlah jalan yang diredhainya.
Menurut saya;"Nikah daim lebih baik dari pada nikah mut'ah, Nikah mut'ah lebih baik dari pada pelacuran."
Kiriman 277
Muhammad Baqiranwar menulispada 19 April 2009 jam 17:41
Wa alaikum slm wr wb

Mas Rafiq,
Perbedaan pendapat adalah rahmat, rahmat bagi kaum yang mau berfikir melihat nilai2 kebenaran... Karena kebenaran hanyalah satu yakni Allah. Dan dgn perbedaan itu kita bisa mengenal kebenaran...kalau tidak juga bisa melihat kebenaran dari perbedaan itu, maka tidak bisa disebut rahmat, yang ada malapetaka bagi kita...

Untk mendapatkan hakekat kebenaran itu maka Allah mengurus Para Nabi dan Rasul utk menyampaikan kepada umat kebenaran Nya. Dan Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan pembawa kitab dan hukum Allah yg terakhir, dan berisikan Firman2 Allah YANG MAHA BENAR untuk disampaikan hakekat kebenran itu kepada Umat yang mau berfikir. Lalu setelah Nabi wafat, Allah memerintahkan kepada Nabi utk mengangkat Imam Ali dan 11 Imam berikutnya yg di akhiri Imam Mahdi Zahibuzzaman.. utk menjelaskan kepada umat setiap zaman hakekat kebenaran agar manusia tidak tersesat kepada kebatilan...INILAH KEBENARAN YG SESUNGGUNYA...

Hukum nikah mut'ah tidak bisa dibandingkan dengan pelacuran... karena yang namanya pernikahan itu baik mut'ah ataupun daim adalah perbuatan HALAL yg di ridhoi Allah sesuai syariah, sementara Pelacuran jelas2 perbuatan yg di ridhoi Iblis dan haram hukumnya...

Mas, afwuan / maaf, anda jangan membandingkan antara hak dan batil tidak akan pernah ketemu... Begitupulah antara Syiah dan sunni meskipun kedua-duanya mengakui ke Esahan Tuhan, kebnabian, dan hari akhir, pasti diantara kedua golongan itu ada yang benar dan ada yang batil, tidak mungkin dua-duanya benar, dan mustahil kedua-duanya batil... Sama seperti Iblis, dia juga mengakui ke Esahan Tuhan, percaya kepada para nabi, percaya hari akhir, dan berzikir tak henti-hentinya sampai semua makhluk sebelum adam diciptakan sangat mengaguminya, akan tetapi Iblis terlaknat oleh Allah sampai hari kiamat karena pembangkangan terhadap perintah Allah utk sujud kepada Adam......

Sekarang kita tinggal memilih mana golongan pembangkangan terhadap perintah Allah: Apakah golongan syiah atau sunni/salafy...

Dalam Hukum mut'ah saja kaum sunni dan salafi mengharamkan hukum mut'ah karena mereka mengikuti Umar bin khatab yang mengharamkan... Jadi jelas Umar adalah pembangkang terhadap hukum ALlah... Jadi amalnya sia2 selama bersama Rasulullah, begitu pula Abubakar dan Umar mengambil alih hak tanah warisan Fatimah dari Rasul, Ini namanya perbuatan kezoliman dan pembangkangan terhadap Rasul, dengan sendirinya maka pembangkangan terhadap Rasul berarti pembangkangan terhadap Allah... Jadi jelas mereka bersama-sama dalam kebatilan... bukan dalam kebenaran.. INILAH SEJARAH YG TIDAK BISA DIPUNGKIRI FAKTA KEJADIANNYA...

Wassalamualaikum wr wb
Kiriman 278
Uliex Unik membalas kiriman Januarpada 19 April 2009 jam 19:07
Sepakat Bang.. Diskusi tentang ini.. kita sudahi toh pro dan kontra ada dalam tulisan-tulisan dan perdebatan sampai dgn halaman 10 ini. Dan dengan keyakinan saya bahwa pernikahan Mut'ah Halal dengan dalil atau nash pada pembahasan pembasah sebelumnya.

Kalaupun ada Umar Css yg mengharamkan.. ya wes moggo.. (meminjam kata pak januar) dan terpenting tidak menjadi manusia pembangkan terhadap Hukum Allah dengan mengharamkan yg sudah dihalalkan.
Kiriman 279
Rafiq S Sos menulispada 19 April 2009 jam 19:57
Panglima besar shalahuddin ( apa iya?) kayaknya anda membabi buta seperti Richard the Lion Heart. Atau sekarang ini Richart the lion heart lagi makai sorban sambil menghunus pedang dengan tameng kitab nabi Islam. Forum ini ilmiah SIR! Kita orang Islam kan Ilmiah.

Terimakasih penjelasannya Mas Muhammad Baqiranwar.
Kiriman 280
1 balasan
Hasim Gorontalo membalas kiriman Irmapada 20 April 2009 jam 3:13
Jelasin dong mbak apa itu NM, syaratnya dan rukunnya, biasanya aqadnya apa isinya, berapa lama, terus pada saat mau purna bakti apa yang diakukan, bagaimana kalo punya anak kewajibannya, terus berapa kali batasnya NM, dimana biasanya ada,dan bagaimana caranya masuk ke NM, ...thanks atas penjeasannya
Kiriman 281
Muhammad Baqiranwar menulispada 20 April 2009 jam 6:51
Pak Hasim,
Anda terlambat.. tolong baca diskusi ini dari awal, pertanyaan anda sudah terjawab....

Dan sebelum anda bertanya, anda meyakini dulu apakah nikah Mut'ah itu Halal atau Haram? Tolong anda membaca saja diskusi ini dari awal.. agar bisa anda mengambil kesimpulan yg benar tentang nikah mut'ah...

Wasslm
Kiriman 282
1 balasan
Hasim Gorontalo membalas kiriman Muhammadpada 20 April 2009 jam 23:27
Sesungguhnya orang bodoh sejati ialah yang menuduh orang lain bodoh..istigfar saudaraku, diskusi NM dalam sejarah Islam sudah basi. Kalo anda meyakini..lakukanlah banyak wanita yang harus diselamatkan dari pada jadi WP. Yang tidak meyakininya ga usah terpancing ga produktif. Tapi saya ingin tahu prosesinya..Kapan2 udang saya, pingiin liat gimana sih prosesinya tentu aqadnya juga...
Kiriman 283
Hasim Gorontalo membalas kiriman Iqbalpada 20 April 2009 jam 23:33
Tolong pak bagi2 pengetahuannya tentang NM, ya ilmunya (dalilnya, rukun, syaratnya, maharnya, yang membatalkannya, aqadnya) dan pengalamannya, apalagi kalo punya anak...gimana itu....Thanks
Kiriman 284
Abdul Malik Karim menulispada 21 April 2009 jam 0:58
@all

bahasan nikah mut'ah belum selesai, menunggu baqir anwar dan m shadiq menelaah shahih muslim, sebelum terbongkar "kejujurannya".
Kiriman 285
Imelda Akbar menulispada 21 April 2009 jam 10:11
AMH: Ah... sok muna. nggak mendidik umat dengan bijak! kalimat-kalimatnya... mau paste mau tulis yang penting yang diposting kan kebenaran adanya. ngomong doang... teori doang... kl model sampeyan, prakteknya malah yg haram juga ditabrak.. Sekarang yg diperlukan pendidikan akhlaq umat di Indonesia yang riil riil saja lah..

Ulama ente saja sering mraktekin kawin kontrak.. amati perilaku kaummu sendiri dulu, berkaca baru masuk ke negeri orang.. Wong barang halal di haramin... bertentangan tuh dengan Nash Qur'an.. dasar muna..
Kiriman 286
Didik Y. Al-Paresi membalas kiriman Hasimpada 21 April 2009 jam 10:41
@ Pak Bagiranwar

Pertanyaan Pak Hasyim menarik sekali, syarat ilmu karena menyangkut syarat, rukun, ritual dll ada baiknya kalo dijelaskan secara gamblang Pak! ini kayaknya inti dari NM yang musti diketahui oleh para pihak dan sepertinya belum pernah di posting.

Dan juga dikarenakan kebanyakan orang hanya melihat perkawinan KUA/uu no.1 th.74 . ini termasuk saya pak belum pernah melihat secara langsung NM dan kalau ada kalau berkenan boleh saya dikabari , saya ingin menyaksikan secara langsung seperti saya melihat pernikahan KUA, ini semata mata agar tidak terjadi salah dalam bayangan.

Terimakasih.
Kiriman 287
Muhammad Baqiranwar menulispada 21 April 2009 jam 13:18
Pak Didi,
Syarat2 nikah'mutáh sama seperti nikah daim, perbedaannya adalah nikah mutáh itu tidak ada perceraian, hanya dibatasi kesepakatan waktu dalam melafalkan ijab kabul, pada saat waktu selesai maka berakhirlah pernikahan tersebut. Dan masa iddahnya hanya 2 kali haid.. dan pada pernikahan mutáh itu istri tdk ada hak waris, namun ketika terjadi kehamilan maka anaknya sama haknya dgn anak nikah daim dlm hal waris dsb....

Kiriman 288
Didik Y. Al-Paresi menulispada 21 April 2009 jam 14:53
@ Pak Bagiranwar

Pak untuk lafalnya apa kira2" :

saya nikahkan kamu dengan fulan bin fulan dengan mas kawin...................untuk jangka waktu 6 bulan.

saya trima nikahnya fulan binfulan dengan mas kawin................. dengan jangka waktu 6 bulan.

kira begitu apa bukan pak? dan pesen pak apakah saya bisa menyaksikan pernikahan mut'ah ( kabarin ya paak)

Kiriman 289
Alfian Hamdan menulispada 21 April 2009 jam 15:56
Kayaknya pak Didik sdh siap2 nih.... sampai butuh detail .... untuk menghafal ya pak?.... kapan pak? ngundang- ngundang dong..... he he .... becanda pak
Kiriman 290
Marlin Tigor menulispada 21 April 2009 jam 16:08
Saya pesen orangnya aja satu. Kalo ada yang mau :). Pak Alfian jadi saksi. Pak Muhammad Baqir jadi penghulu. Ha ha ha

Setelah panjang lebar diskusi ini, (nanti di usulkan ke muri aja, biar jadi diskusi paling panjang di FB). Menarik untuk didiskusikan bagaimana implementasi hukum mutah tersebut dalam pratek ? . dimana letak pertimbangan akal ? .. antara misal wanita yang tersakiti dan pilihan mutah ? .. apa memang dapat serta merta ? .. pengen yo mutah
Kiriman 291
1 balasan
Muhammad Shadiq membalas kiriman Hasimpada 21 April 2009 jam 17:12
P. Hasim, Rupanya ingin menafikan kebodohan sejati orang, namun terjerumus sendiri dalam sejati kebodohan hehehehe...., dengan komentarnya "Sesungguhnya orang bodoh sejati ialah yang menuduh orang lain bodoh.."
Kiriman 292
Didik Y. Al-Paresi menulispada 21 April 2009 jam 17:19
@ Pak Alfian.

itu dia pak saya ini penasaran saya sering dapet undangan termasuk jadi saksi tapi untuk yg NM kok gak pernah ngundang2 ya Pak kenapa yaaa? saya pingin sekali menyaksikan tetapi sayangnya Bapak gak ngundang saya he
he heeee

@ Pak marlin nati Undang saya!

kalo saya tetap berpegang UU No.1 Th.74 InsyaAllah
Kiriman 293
1 balasan
Hasim Gorontalo membalas kiriman Muhammadpada 21 April 2009 jam 21:58
Jawaban anda, mengingatkan peristiwa 20 tahun yang lalu ketika saya SMP, sungguh sangat retoris, agitatif, provokatif, belagu ilmiah penuh kebencian dan sarkistik. Saya bersyukur bisa lepas darinya.....Setelah 20 tahun kemudian saya berharap tidak ketemu, tapi ternyata..............masih seperti dulu diskusinya...saling melaknat untuk sebuah doktrin Nikah Mut'ah....dengan bungkus "pandangan islam"....semuga ummat islam dan syiah bisa saling memahami..thanks
Kiriman 294
Muhammad Baqiranwar menulispada 21 April 2009 jam 22:17
Nikah mut'ah itu bukan doktrin, akan tetapi hukum Allah tentang perkawinan yang di halalkan... Jadi kalau ada manusia yg mengharamkan maka harus diluruskan...

Kalau pun terjadi laknat melaknat maka bukan berarti suatu kebencian terhadap golongan lainnya... krn tanpa dilaknat oleh manusia, Allah pasti akan melaknat kepada manusia yg mengharamkan apa yg di halalkan Nya...

semuga ummat islam dan syiah bisa saling memahami.. tulisan ini mengandung fitnahan karena memisahkan umat islam dan syiah, se-olah2 syiah bukan bagian dari islam... syiah pun adalah bagian dari islam..
Kiriman 295
1 balasan
Deddy Herdiansyah menulispada 22 April 2009 jam 0:58
kan ada nikah resmi yang dah jelas hukmnya, kenapa harus nikah dgn cara yang belum jelas hukumnya (mut'ah). klo emang masih dilakukan acara itu (kawin kontrak) saya ambil kesimpulan mereka semata-mata hanya ingin . . .
wuennak nya saja/(zina).
Kiriman 296
Muhammad Baqiranwar menulispada 22 April 2009 jam 10:37
Mas Deddy
Anda harus baca dulu semua tulisan disini, baru komentar..
Apakah nikah mut'ah itu halal atau haram hukumnya menurut Allah (ayat quraan dan hadis)...

Kalau anda bilang haram tolong buktikan ke haramannya dgn dalil... bukan asal ngomong...

Kalau halal, bagaimana syarat nikahnya?
Kiriman 297
Muhammad Shadiq membalas kiriman Hasimpada 22 April 2009 jam 11:17
P.Hasim, apa yang anda maksud dari saling laknat untuk sebuah doktrin, atau mungkinkah anda jelaskan dulu apa itu laknat dan apa itu doktrin...,biar persoalan jelas buat kami dan tentunya anda..?!
Kiriman 298
1 balasan
Muhammad Shadiq membalas kiriman Deddypada 22 April 2009 jam 11:20
" Andaisaja yang bodoh diam, maka manusia tidak akan berselisih" (Amirul mukminin Ali Bin Abi Thalib)
Kiriman 299
Wardah Wa Ode membalas kiriman Umarpada 22 April 2009 jam 12:32
Jika anda tidak faham mengenai nikah mut'ah, tidak berkomentar akan lebih bajak kali ya. . .
Kiriman 300
Usman Ghalib menulispada 22 April 2009 jam 23:36
Pak Muhammad
Laknat itu tdk boleh, karena tdk ada contohnya dari Nabi saw.
Apa yang anda maksudkan: yang bodoh itu diam? tidak boleh berkomentar? kl gitu, org bodoh tidak boleh belajar dan bertanya? kl gitu, kapan akan ada orang berilmu dan pandai? Kita semua berawal dari bodoh.
Kiriman 301
Muhammad Baqiranwar menulispada 23 April 2009 jam 7:08
Usmaaan, usmaaan. ketahuan kamu itu bodoh sekali dalam menjawab:
Kamu dkk tidak disurh diam oleh Pak Shodiq.. yang dimaksud itu adalah, anda kalau bodoh lebih baik diam daripada banyak memberikan komentar yg tidak mempunyai nash lalu menjawab dgn tidak menggunakan akal.. itulah org bodoh..

Kalau org bodoh itu bertanya, bukan berkomentar seperti tong kosong bunyinya nyaring... itu yg dimaksud Pak Sodiq... Antum ini tambah bodoh lagi...

Usman baca baik2 ya tentang melaknat: kalau tidak bisa jawab lebih baik diam, dan bertanya kepada yg lebih mengerti.., sekali lagi baca baik2 tulisan dibawah in:

MENCELA SAHABAT TIDAK MEYEBABKAN KEKAFIRAN

Adapun perkataan Ahlussunnah bahwa mencela sahabat dan melaknat mereka serta melaknat sebagian istri-istri Nabi Saw yang dilakukan oleh orang-oramg Syi’ah menyebabkan mereka menjadi kafir, merupakan suatu hukum yang aneh. Saya tidak tahu dengan dalil apa, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah Nabi sehingga muncul hukum seperti ini?

Karena sesungguhnya mencela, melaknat dan memaki, apabila bersandar kepada dalil dan argumen yang kuat, maka tidak ada masalah.

Namun jika itu tanpa dalil dan argumen yang kuat maka perbuatan itu termasuk fasik, walaupun itu dilakukan terhadap para sahabat Nabi dan istri-istri beliau.[1] Dan ini adalah pendapat sebagian ulama kalian SUNNI, seperti Ibnu Hazam ketika mengatakan dalam kitabnya al-Fashlu, juz 3,

“Barangsiapa mencela seseorang dari sahabat yang dilakukannya karena kebodohan dia, maka ia bisa diampuni. Akan tetapi apabila dia bisa menunjukkan dalil atas kemuliaannya sehingga para sahabat itu tidak pantas dicela, maka ia disebut fasik, yaitu seperti orang yang berzina dan mencuri. Namun apabila hal tersebut disertai dengan penentangan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya maka ia disebut kafir. Umar pernah berkata kepada Rasulullah Saw tentang Hatib, dan beliau termasuk sahabat dari Muhajirin dan ikut serta dalam perang Badar, ‘Biarkan saya pukul tengkuk si munafik ini.’ Maka Umar tidaklah menjadi kafir karena mengkafirkan Hatib, Cuma beliau hanya dianggap bersalah…dst.”

Sementara banyak dari ulama-ulama Ahlussunnah terdahului menolak hukum yang tidak adil ini. Dan menisbatkan orang yang mengatakannya sebagai orang yang bodoh dan fanatic. Sedangkan mereka menganggap bahwa kaum Syi’ah adalah Muslim dan Mukmin.

Di antara mereka adalah al-Qadhi Abdurrahman al-Iji al-Syafi’i dalam kitabnya al-Mawafiq. Beliau menolak semua dalil yang dikemukakan oleh sebagian orang-orang yang fanatic dari Ahlussunnah yang mengkafirkan Syi’ah dan menetapkan kebatilan mereka. Tokoh sunni lainnya adalah Imam Muhammad al-Ghazali, yang menjelaskan bahwa mencela sahabat tidak meyebabkan seseorang itu menjadi kafir. Bahkan mencela dua syaikh (Abu Bakar dan Umar) tidaklah termasuk kekafiran.

Di antara mereka juga adalah Sa’duddin Taftazani dalam kitabya Syarh al-‘Aqa’id al-Nafsiah. Beliau menguraikan pembahasan ini dengan rinci, dan beliau berpendapat bahwa mencela sahabat bukanlah kafir.

Di antara dalil yang menyebutkan tidak kafirnya celaan terhadap sebagian sahabat Rasulullah adalah sebuah peristiwa ketika Abu Bakar pernah mencela oleh seorang Muslim dan orang itu pun mencela beliau, namun beliau tidak memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh orang itu. Peristiwa ini disebutkan di dalam kitab Mustadrak al-Hakim al-Naisaburi, juz 4, ia mengeluarkannya dengan sanadnya yang bersumber dari Abu Bazrah al-Aslami beliau mengatakan, “Wahai Khalifah Rasulullah, tidakkah aku harus membunuhnya? Ia mengatakan, ‘Hal itu tidak dibenarkan, kecuali bagi orang yang mencela Rasulullah Saw.’”

Maka bila demikian halnya, ketika seorang khalifah mendengar seseorang mencela dan memakinya, beliau tidak menghukumi orang tersebut dengan kekafiran apalagi membunuhnya.

Apabila mencela sahabat Rasulullah menyebabkan seseorang menjadi kafir, maka mengapa kalian tidak menghukum kafir terhadap Mu’awiyah dan para pengikutnya yang mencela dan melaknat sahabat Rasulullah Saw yang paling baik, paling berilmu dan paling wara’, ditambah lagi bahwa beliau adalah Amirul Mukmini dan sebagai penerima wasiat Rasulullah Saw dan imam orang-orang bertakwa, yaitu Ali bin Abi Thalib As?

Dan apabila mencela sahabat meyebabkan kekafiran, mengapa kalian tidak mengkafirkan Aisyah binti Abu Bakar? Padahal ia telah mencaci Utsman bin Affan dan menghasut para pengikutnya untuk membunuh Utsman dengan mengatakan, “Bunuhlah Natsal (julukan terhadap Utsman) karena sesungguhnya ia telah kafir.”

Apabila mencela sahabat mengharuskan seseorang menjadi kafir, maka seharusnya orang yang pertama kali mencela adalah Abu Bakar ketika beliau mencela Imam Ali bin Abi Thalib As di atas mimbar mesjid. Sementara Ali adalah sahabat terbaik dan yang paling dekat dengan Rasulullah Saw dan yang paling besar nilai dan perannya di sisi Allah Swt.

Walaupun demikian, kalian tidak pernah mencela perbuatan Abu Bakar tersebut, bahkan kalian memuliakan dan mengagungkannya.

________________________________________
[1] Karena perkataan Nabi Saw yang menyebutkan bahwa mencela orang mukmin adalah fasik, dan membunuhnya adalah kafir (Bukhari juz 8 dari hadis Ibnu Mas’ud). Maka Syi’ah tidak melaknat orang beriman, hanya saja melaknat orang-orang kafir dari sahabat-sahabat Rasul Saw dan yang murtad setelahnya. Dan merekalah orang-orang yang dimaksud oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [QS. Ali Imran: 144].
Mereka itulah orang-orang yang membubuh Ali As dan sahabat-sahabatnya yang beriman, dimana apada waktu itu beliau sebagai Khalifah Rasulullah Saw dan Amirul Mukminin yang dibai’at oleh Ahlu al-Hilli wa al-‘Aqli. Dan mereka bersatu dengan kekuasaan dan pemerintahannya. Maka orang-orang yang keluar dan menentangnya berarti telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan membunuh orang-orang yang beriman.
Dan herannya, Anda sekalian mengkafirkan orang-orang Syi’ah karena mencela dan melaknat Muawiyah, ‘Aisyah, Thalhah, ‘Amr bin ‘Ash dan semisalnya yang memimpin manusia dalam membubuh kaum muslimin dan memerangi Amirul Mukminin Ali As kalian tidak mengkafirkan mereka, padahal sudah ada nash yang jelas dari hadis Nabi Saw yang mengatakan, “Mencela orang mukmin adalah fasik, dan membunuhnya adalah kafir.”


Kiriman 302
Hasim Gorontalo membalas kiriman Muhammadpada 23 April 2009 jam 8:02
Subhanallah kata2 sahabat Ali sangat menyentuh, semuga MS cs, bisa memahami dan mengamalkan...tidak sekedar jualan retorika.....
Kiriman 303
Primanti Veriani (Universitas Gadjah Mada) menulispada 23 April 2009 jam 12:30
bingung..
aku baca di forum diskusi ini, bbrp munculin An Nisa 24. tapi ko aku ga liat ciri2 nikah mut'ah disitu ya?
"..halal diantara keduanya setelah mahar.." bukannya nikah normal juga emang iya? salah satu syarat sah nikah emang mahar to?
nah bukannya bedanya di mut'ah ini ada jangka waktu? di An Nisa 24 yg dijadikan dasar mendukung nikah Mut'ah ini ko ga disebutkan "..hingga batas waktu yg disepakati bersama.." ato gimana gitu?
Apa ada terjemahan versi lain yg blm ada yg posting?

Ada beberapa hal yg masih ganjel sbenerya.. tapi itu dulu deh nanya nya.. tar berangkat lg nanya kalo udah mudeng..
Thanks atas bantuannya..
Kiriman 304
Muhammad Baqiranwar menulispada 23 April 2009 jam 14:16
Ibu jangan bingung,
Ibu liat asbabul nuzul tentang surat an nisa 24 itu, mengenai penghalalan nikah mutáh oleh Allah... semua mazhab sunni - syiah sepakat... yg tidak disepakati adalah pengharamannya...

Hukum Allah itu semuanya jelas.. tidak ada yang samar...

Kalau sempat tolong dibaca komentar disini mengenai topik nikah mutáh...
Kiriman 305
Muhammad Baqiranwar menulispada 23 April 2009 jam 14:23
Maaf Ibu Tuti, mohon izinnya... Ini adalah posting Ibu Tuti Jawa, yang saya copy - paste... dari topik sebelumnya... Mohon di telaa, di dibaca lalu berikan komentar dgn dalil dan nash kalau nikah mutáh itu HARAM....

KESIMPULAN SEKITAR NIKAH MUT'AH

Kajian tentang nikah mu`ah ada tiga macam: Kajian teologis, kajian fiqhiyah (tentang halal dan haramnya), kajian tafsir dan hadis (apakah surat An-Nisa’: 24 sebagai ayat penetapan syariat nikah mut`ah?).

Pendapat-pendapat tentang nikah mu`ah:

1. Nikah mut`ah tidak pernah disyariatkan di dalam Islam.
2. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam kemudian dimansukh
3. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam dan tidak pernah dimansukh

Pendapat Pertama: Mut`ah sebagai perbuatan zina dan keji. Berarti Nabi saw pernah membolehkan sahabatnya melakukan perbuatan zina dan keji. Apa alasannya? Dharurat atau rukhshah?

Pendapat kedua: Kapan dimansukh oleh Nabi saw? Ayat apa yang memansukhnya?
Dalam kelompok ini ada beberapa pendapat.
1. Dimansukh oleh Surat Al-Mu’minun: 5-7
2. Dimansukh oleh ayat tentang iddah yaitu Surat Ath-Thalaq: 1
3. Dimansukh oleh ayat tentang waris yaitu Surat An-Nisa’: 12
4. Dimnsukh oleh ayat tentang muhrim (orang-orang yang haram dinikahi) yaitu Surat An-Nisa’: 23
5. Dimansukh oleh ayat tentang batasan jumlah istri yaitu Surat An-Nisa’: 3
6. Dimansukh oleh hadis Nabi saw.

Jawaban
Terhadap pendapat yang pertama: Tidak sesuai dengan hukum nasikh-mansukh, karena Surat An-Nisa’: 24 (tentang nikah mut`ah) ayat Madaniyah sedangkan Surat Al-Mu’minun: 5-7 ayat Makkiyah. Tidak ayat Makkiyah menasikh ayat Madaniyah.

Terhadap pendapat ke 2, 3, 4, dan ke 5: Hubungan Surat An-Nisa’: 24 dengan ayat-ayat tersebut bukan hubungan Nasikh-Mansukh, tetapi hubungan umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas). Memang sebagian ulama Ushul figh mengatakan bahwa jika yang khusus diikuti oleh yang umum dan berlawanan dalam penetapan dan penafian, maka yang umum menasikh yang khusus. Tetapi menggunakan kaidah dalam masalah ini sangat lemah dan tidak sesuai dengan pokoh persoalannya.

Misalnya ayat tentang Iddah sifat umum dan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah sebagai awal surat Madaniyah, diturunkan sebelum surat An-Nisa’ yang di dalam terdapat ayat tentang nikah mu`ah. Demikian juga ayat tentang batasan jumlah istri, dan muhrim terdapat di dalam Surat An-Nisa’ sebagai pengantar ayat tentang nikah mut`ah saling berkaitan satu sama lain. Semua ayat itu bersifat umum, dan ayat tentang nikah mut`ah sebagai ayat yang bersifat khusus diakhir dari yang umum. Bagaimana mungkin pengantar menasikh penutup pembicaraan.

Wabil khusus, pendapat yang mengatakan ayat tentang Iddah menasikh ayat nikah mut`ah sama sekali tidak berdasar, karena hukum iddah itu berlaku juga dalam nikah mut’ah selain di dalam nikah permanen. Demikian juga pendapat yang mengatakan ayat tentang muhrim menasikh ayat nikah mu`ah, semuan perempuan yang haram dinikahi saling berkaitan dan tak terpisahkan dengan segala bentuk pernikahan baik permanen maupun mut`ah. Bagaimana mungkin pengantar pembicaraan menasikh penutupnya. Lagi pula ayat tersebut tidak menunjukkan larangan hanya terhadap nikah permanen.

Pendapat yang keenam: Ayat nikah mut’ah dimasukh oleh hadis Nabi saw. Pendapat ini sama sekali tidak berdalil, karena secara mendasar ia bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir yang menjelaskan Al-Qur’an, dan riwayat-riwayat yang merujuk kepada Al-Qur`an.

Riwayat-Riwayat Penasikhan (Penghapusan hukum) nikah mut`ah

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Abdurrazzaq, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al-Juhani, ia berkata: “Pada tahun Fathu Mekkah Rasulullah saw mengizinkan kami melakukan nikah mut`ah. Lalu kami bersama seorang laki-laki dari kaumku melakukan bepergian. Aku lebih tampan darinya; masing-masing kami membawa kain berwarna. Kain warna kainku sudah lapuk, warna kain dia masih baru dan bagus. Ketika sampai di Mekkah kami berjumpa dengan seorang perempuan jalanan. Lalu kami berkata kepadanya: Maukah kamu nikah mu`ah dengan salah seorang dari kami? Ia menjawab: Apa yang akan kamu berikan? Kemudian masing-masing kami menunjukkan kain-warna kami, ia pun melihatnya. Temanku melihat perempuan itu sambil berkata: Kain warna ini sudah lapuk, sedangkan kain-warnaku masih bagus. Perempuan itu berkata: Dengan kain yang ini aku mau. Kemudian aku melangsungkan nikah mu`ah dengannya. Dan kami tetap melakukan nikah ini sehingga Rasulullah saw mengharamkannya.

Dalam kitab yang sama: Malik, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada hari Khaibar, dan melarang makan daging keledai yang jinak.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Syaibah, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Salamah bin Akwa’, ia berkata: “Rasulullah saw memberi rukhshah (kemudahan) kepada kami untuk melakukan nikah mut`ah tiga hari pada tahun terjadinya perang Authas, setelah itu beliau melarangnya.”

Dalam Syarah Shahih At-Tirmizi oleh Ibnul Arabi: dari Ismail, dari ayahnya, dari Az-Zuhri, ia berkata, Saburah meriwayatkan: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji wada’”. Dalam redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, ia berkata: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji qada’ setelah beliau membolehkannya dalam waktu yang tertentu. Sementara Al-Hasan mengatakan bahwa nikah dilarang pada Umrah qadha’.

Dalam kitab yang sama: Az-Zuhri mengatakan, sesungguhnya Nabi saw melarang nikah mut`ah pada perang Tabuk.

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah saw membolehkan para sahabatnya melakukan nikah mut`ah hanya tiga hari, kemudian beliau mengharamkannya.
Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan Muslim meriwayatkan dari Saburah, ia berkata: Aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara tiang dan pintu sambil berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menghalalkan nikah mut`ah. Dan ingatlah, sekarang aku melarangnya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mempunyai isteri mut`ah hendaknya dicerai, dan jangan mengambil sedikit pun mahar yang telah diberikan kepada mereka.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata: “Demi Allah, tidak ada nikah mut`ah kecuali hanya tiga hari yang diizinkan oleh Rasulullah saw, kemudian sebelum dan sesudahnya tidak ada nikah mut`ah.”


Riwayat-riwayat yang membolehkan

Dalam Shahih Bukhari: meriwayatkan dari Abu Jumarah, ia berkata: “Pada suatu ketika Ibnu Abbas ditanyai tentang nikah mut`ah, kemudian ia menjawab, nikah mut`ah itu rukhshah (kemudahan). Lalu budaknya berkata kepadanya, bukankah nikah mut`ah itu hanya sebagai rukhshah dalam keadaan dharurah, dan perempuan itu sendiri jarang sekali yang bersedia melakukannya, kemudian Ibnu Abbas menjawab, memang.

Dalam Tafsir Ath-Thabari: meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah swt Surat An-Nisa’:24 adalah ayat tentang nikah mut`ah.

Dalam kitab yang sama: meriwayatkan dari As-Sudi tentang ayat ini, ia berkata: “Ayat ini adalah ayat tentang nikah mut`ah. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan dengan syarat waktu yang ditentukan (nikah mut`ah). Jika masanya sudah habis, sang suami tidak mempunyai apapun dari perempuan itu, dan ia suci darinya. Ia harus mensucikan diri dari kasih sayangnya, antara keduanya tidak waris, dan tidak saling mewarisi.

Dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Ad-Durrul Mantsur meriwayatkan dari Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan, dan kami tidak membawa isteri-isteri. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah saw, apakah sebaiknya kami berkebiri? Beliau melarang kami melakukan hal itu, dan mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut`ah dengan mahar sehelai baju untuk waktu tertentu. Kemudian beliau membacakan firman Allah swt:

ياايها الذين آمنوا لاتحـرموا طيبات مااحل الله لكم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al-Maidah: 87).

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Nafi` bahwa Ibnu Umar pernah ditanyai tentang nikah mut`ah, lalu ia menjawab: haram. Kemudian dikatakan kepadanya, Ibnu Abbas membolehkan nikah mut`ah. Ia berkata: Mengapa dia tidak membolehkannya pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab.

Dalam kitab yang sama: Ibnu Mundzir, Ath-Thabari dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, tahukah Anda akibat fatwa Anda tentang pembolehan nikah mut`ah? Fatwa Anda tersebar di seluruh penjuru negeri, dan disebut-sebut oleh para penyair. Apa yang mereka katakan? Tanya Ibnu Abbas. Mereka berkata:

Kukatakan kepada kawanku yang lama berada dalam perantauan
Tidakkah kamu ingin melaksanakan fatwa Ibnu Abbas?
Serumah dengan si cantik, penghibur
Sambil menunggu teman dalam perjalanan.
Mendengar itu Ibnu Abbas terkejut dan berkata: Inna lillâhi wa inna ilayhi raji`ûn. Demi Allah, bukan demikian yang kumaksudkan dalam fatwaku. Aku tidak menghalalkannya kecuali Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging bagi orang yang dalam keadaan darurat. Demikian juga nikah mut`ah, seperti memakan bangkai, darah dan daging babi.


Kementar
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut nikah mut’ah dilarang oleh Nabi saw pada waktu yang bebeda-beda, dan dimansukh oleh ayat yang berbeda-beda pula. Dalam riwayat-riwayat tersebut nampaknya Nabi saw dengan alasan dharurat atau rukhshah, membolehkannya, kemudian melarangnya lagi, kemudian membolehkan lagi, kemudian melarang hingga hari kiamat.

Ada pendapat yang mengatan: Hadis-hadis Nabi dan pernyataan-pernyataan sahabat yang meriwayatkan nikah mut`ah, semuanya menunjukkan bahwa Nabi saw memberi rukhshan (kemudahan) kepada sahabat-sahabatnya untuk melakukannya dalam sebagian peperangan, kemudian beliau melarang mereka, kemudian memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian melarang mereka lagi dengan larangan untuk selamanya.

Sesungguhnya rukhshah itu ada karena adanya kesulitan untuk menghindari zina dan jauh dari isteri-isteri mereka. Jadi rukhshah itu bertujuan untuk meringankan dua kondisi yang sangat berbahaya tersebut. Sehingga, jika seorang laki-laki melakukan nikah mut`ah dengan seorang perempuan dan tinggal bersamanya dalam waktu tertentu, hal ini merupakan langkah yang lebih mudah daripada mengekang diri untuk tidak berzina dengan perempuan yang memungkinkan untuk melakukannya.

Sanggahan Penulis: Apa yang dikatakan oleh pendapat tadi bahwa semua riwayat menunjukkan pemberian rukhshah dalam sebagian peperangan, kemudian Nabi saw melarangnya, kemudian beliau memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian beliau melarang lagi untuk selamanya. Pendapat ini sama sekali tidak sesuai dengan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hendaknya Anda mengkaji kembali riwayat-riwayat tersebut sehingga Anda tahu bahwa riwayat-riwayat itu mendustakan pendapat ini.

Pendapat tersebut juga mengatakan: Ahlussunnah memandang rukhshah dalam nikah mut`ah satu kali atau dua kali dengan tujuan sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, seperti tahapan dalam mengharamkan khomer, keduanya adalah perbuatan keji yang tersebar pada zaman jahiliah, hanya saja perbuatan zian hanya tersebar di kalangan budak-budak perempuan bukan di kalangan perempuan-perempuan yang merdeka.

Sanggahan Penulis: Pernyataan bahwa rukhshah dalam nikah mut`ah sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, mengharuskan pendapat tadi berkesimpulan bahwa nikah mut`ah adalah salah satu bentuk perzinaan, nikah mut`ah sama seperti perzinaan yang tersebar pada zaman jahiliah, kemudian untuk melarang perzinaan tersebut Nabi saw mengambil langkah tahapan yang halus dan lembut dengan membolehkan mut`ah agar para sahabatnya mau menerimanya, kemudian beliau melarang segala bentuk perzinaan kecuali mut`ah. Sehingga saat itu tinggal perzinaan dalam bentuk mut`ah, kemudian Nabi saw memberi rukhshah untuk melakukan zina dalam bentuk mut`ah, kemudian beliau melarangnya, kemudian memberi rukhshah lagi sampai waktu tertentu yang memungkinkan untuk melarangnya secara pasti, lalu beliau melarangnya untuk selamanya.

Demi Allah, sungguh pendapat tersebut telah mempermainkan syariat agama yang suci, yang Allah tidak menghendakinya kecuali untuk mensucikan ummat Rasulullah saw dan melengkapi nikmat atas mereka.

Kajilah dengan teliti pernyataan pendapat tadi:
Pertama: Ia telah menisbatkan kepada Nabi yang suci saw pelarangan nikah mut`ah, kemudian memberi rukhshah, kemudian melarang, kemudian memberi rukhshah lagi. Sementara ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil untuk mengharankan nikah mut`ah adalah ayat-ayat Makkiyah yaitu: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7).
Jadi, pendapat yang bersikeras itu telah menisbatkan kepada Nabi saw menasikh ayat-ayat tersebut. Denagan kata lain, menganggap Nabi saw memberi rukhshah, kemudian menghapus rukhshah tersebut dan menetapkan hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut, kemudian menghapus kembali, kemudian menetapkan kembali. Coba Anda pikirkan, bukankah hal yang demikian itu berarti menisbatkan kepada Nabi yang suci sikap pelecehan terhadap kitab Allah?

Kedua: Ayat-ayat Al-Qur’an yang melarang perbuatan zina: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perbuatan zina adalah perbuatan keji, dan sesuatu yang buruk. (Al-Isra’: 32). Coba Anda bayangkan, adalah bahasa yang lebih jelas dari bahasa ayat ini, sementara ayat ini adalah ayat Makkiyah dan terdapat dalam rentetan ayat-ayat yang melarang perbuatan zina.

Katakan, marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu … dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-An`am: 151). Kata Fawâhisya bentuk jamak dari Fâhisya dan didahului ole Al, dan terletak dalam kontek kalimat larangan. Ini berarti bahwa larangan itu mencakup seluruh perbuatan yang keji dan segala bentuk perzinaan, sementara ayat ini juga ayat Makkiyah.

Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji , baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-A`raf: 33). Demikian juga ayat telah kami sebutkan yaitu:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7). Dua surat ini adalah surat Makkiyah, juga ayat-ayat (yang oleh pendapat tadi) dijadikan dasar untuk mengharamkan nikah mut`ah, dan juga ayat-ayat yang mengharamkan segala bentuk perzinaan adalah ayat Makkiyah.

Inilah ayat-ayat yang terpokoh yang melarang perbuatan zina dan segala bentuk perbuatan keji, yang semuanya adalah ayat Makkiyah. Maka ayat yang mana lagi yang akan dijadikan dasar oleh pendapat tersebut untuk mengharamkan nikah mut`ah. Atau sebagaimana yang nampak dalam pendapatnya ia akan menggunakan Surat Al-Mu’minun: 5-7 untuk mengharamkan nikah mu`ah? Dengan asumsi Allah swt secara tegas mengharamkan nikah mu`ah, kemudian Nabi saw mengharamkannya secara bertahap dari rukhshah ke rukhshah dengan tujuan merayu manusia agar mau menerimanya. Sementara Allah swt menegaskan kecintaan-Nya kepada Nabi saw dengan cinta yang sebenarnya di dalam firman-Nya:

Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka menjadikan kamu sebagai sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir sedikit cenderung kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah kami Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati … (Al-Isra’: 73-75).

Ketiga: Pemberian rukhshah yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Dari rukhshah ke rukhshah yang lain. Jika pemberian rukhshah itu bukan ketentuan syariat yang membolehkan, dan yang semestinya nikah mut`ah termasuk perbuatan zina dan perbuatan keji, maka jelas pemberian rukhshah itu adalah sikap penentangan Nabi saw terhadap Tuhannya, padahal beliau ma`shum dengan pemeliharaan Allah swt. Dan jika rukhshah itu datang dari Tuhannya, berarti Allah telah memerintahkan untuk melakukan perbuatan keji. Sementara Allah swt dengan tegas menolak perbuatan keji:

Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh melakukan perbuatan keji. (Al-A`raf: 28).

Jika pemberian rukhshah itu dengan ketentuan syariat yang menghalalkan, berarti mut`ah itu bukan perbuatan zina dan keji, dan merupakan ketentuan syariat yang dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, tidak tergolong pada peringkat-peringkat yang diharamkan.




Siapa sebenarnya yang melarang nikah mut’ah?

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Abdurrazzaq dan Ibnu Mundzir meriwayatkan dari `Atha`, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Semoga Allah merahmati Umar bin Khattab, tidak ada mut`ah kecuali rahmat dari Allah untuk ummat Muhammad. Sekiranya Umar tidak melarangnya, niscaya ummat tidak melakukan perzinaan kecuali orang yang celaka. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: Mut`ah itu adalah suatu pernikahan yang ditetapkan di dalam firman Allah Surat An-Nisa’:24 sehingga demikian dan demikian, dari waktu demikian dan demikian. Kemudian Ia berkata: Dalam nikah mut`ah antara suami-isteri tidak ada waris, jika kedua saling merelakan setelah waktunya berakhir, itu suatu kenikmatan; jika keduanya berpisah, maka itu pun suatu kenikmatan dan antara keduanya tidak ada ikatan pernikahan. Ada juga riwayat yang bersumber dari `Atha` bahwa ia mendengar Ibnu Abbas berkata: Nikah mut`ah itu halal hingga sekarang.

Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ad-Durrul Mantsur menyebutkan riwayat dari Abdurrazzaq dan Abu Dawud tentang ayat yang menasikh(menghapus) hukum nikah mut`ah. Ia ditanyai tentang ayat ini: Benarkah ayat ini dimansukh? Ia menjawab: Tidak. Ali bin Abi Thalib berkata: Kalau sekiranya Umar tidak melarang nikah mut`ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Kami melakukan nikah mut`ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum, beberapa hari pada zaman Rasulullah saw dan khalifah Abu Bakar, sehingga Umar melarangnya karena kasus Amer bin Huraits.

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Malik dan Abdurrahman meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa pada suatu hari Khawlah binti Hakim datang dan melapor kepada Umar bin Khattab: Sesungguhnya Rabi`ah bin Umayyah melakukan mut`ah dengan seorang perempuan hingga ia hamil. Kemudian Umar keluar dari rumahnya sambil menarik-narik bajunya dan berkata: Inilah akibat mut`ah, kalau sekiranya aku sudah membuat keputusan tentangnya sebelumnya, niscaya aku rajam ia.

Dalam Kanzul Ummal, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ummu Abdillah binti Abi Khaitsamah, ia berkata: Pada suatu ketika ada seorang laki-laki datang ke negeri Syam, dan ia tinggal di rumahku. Ia berkata, aku tidak tahan hidup sendirian, carikan aku perempuan untuk mut`ahi. Ummu Abdillah berkata: Aku tunjukkan padanya seorang perempuan, dan ia memenuhi persyaratannya dan berjanji untuk berlaku adil; kemudian ia tinggal bersama perempuan itu dan melakukan apa yang ia inginkan. Setelah ia pergi aku memberitakan kejadian itu kepada Umar bin Khattab, lalu ia mengirim utusan kepadaku dan bertanya: Benarkah kejadian itu? Ya, jawabku. Utusan itu berkata: Jika laki-laki itu benar-benar melakukannya, bawalah perempuan itu ke sini; jika laki-laki benar melakukannya, aku akan menceriterakan hal itu kepada Umar bin Khattab. Selajutnya Umar bin Khattab memanggilnya dan bertanya: Mengapa kamu melakukan hal itu? Laki-laki itu menjawab: Aku melakukan hal ini pada zaman Nabi saw dan beliau tidak melarangnya hingga beliau wafat. Dan hal yang sama juga aku lakukan pada zaman Abu Bakar dan ia tidak melarangnya sampai ia meninggal; kemudian aku lakukan pada zaman Anda, dan Anda pun belum pernah menceriterakan kepada kami dasar pelarangan melakukan hal ini. Kemudian Umar berkata: Demi Zat yang menguasai diriku, sekiranya kamu melakukan hal ini, niscaya aku rajam kamu. Kemudian laki-laki itu berkata: Jelaskan kepadaku sehingga jelas bagiku perbedaan antara nikah dan zina.

Dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad meriwayatkan dari `Atha`, ia berkata: Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung ke rumahnya, ketika itu ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian mereka menyebutkan mut`ah. Jabir berkata: Kami melakukan mut`ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat dari Ahmad, sehingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Dalam Sunan Al-Baihaqi, dari Nafi`, dari Abdullah bin Umar, ketika ia ditanya tentang nikah mut`ah, ia berkata: Nikah mut`ah itu haram menurut Umar, dan sekiranya ada orang yang melakukannya, ia pasti merajamnya dengan batu.

Dalam Sunan Al-Baihaqi: Jabir berkata, Umar berdiri kemudian berkata: sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang diinginkan dengan apa yang diinginkan, maka hendaknya kamu menyempurnakan haji dan umrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, dan hentikan melakukan nikah ini, tidak ada seorang pun laki-laki yang menikahi perempuan dengan waktu yang ditentukan kecuali aku rajam dia.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dari Umar bin Khattab, dalam khutbahnya ia berkata: Dua mut`ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut`ah haji dan nikah mut`ah
Kiriman 306
Insun Evrian menulispada 23 April 2009 jam 19:21
sebagian orang menilai bahwa "nikah mut'ah itu haram, karena banyak orang yg mempergunakannya hanya untuk melepaskan hasrat syahwat belaka".

pertanyaannya adalah:
apakah fair menhukumi sebuah peraturan karena sebagian orang salah dalam menggunakan hukum tersebut??
manakah yg keliru, orang yg salah mempergunakannya, atau hukumnya??

jika kita mengharamkan nikah mut'ah karena alasan tersebut, lalu apa bedanya kita dengan orang2 yg menilai Islam adalah "agama teroris" karena sebagian orang dalam Islam bertindak sebagaimana layaknya seorang teroris??
Kiriman 307
Insun Evrian menulispada 23 April 2009 jam 19:25
klo nikah mut'ah itu haram, mengapa nikah mut'ah masuk dalam klasifikasi nikah??
sementara smua madzah dalam Islam sepakat bahwa nikah adalah sesuatu hal yg mulia.
Kiriman 308
Fajri Annur menulispada 23 April 2009 jam 23:56
bener sudah itu, siapa yang tidak percaya Al Qur'an kafir!!
Kiriman 309
Abdul Malik Karim menulispada 25 April 2009 jam 8:07
@baqir anwa

Ali bin Abi Thalib berkata: Kalau sekiranya Umar tidak melarang nikah mut`ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

bagaimana status riwayat ini? shahih atau tidak?

anda kurang jujur, ada riwayat shahih muslim yang melarang mut'ah tapi tidak anda kutip.

sudah bekali-kali anda saya beri kesempatan, tapi anda masih tidak mau sadar

@pacet:
sebentar lagi anda tahu siapa yang anda sebut "kafir", dan tahu siapa sebenarnya yang melarang mut'ah.
Kiriman 310
Muhammad Baqiranwar menulispada 25 April 2009 jam 8:37
Abdul Malik,
Anda ini benar bodohnya minta ampun.. sudah saya jelaskan semua bahwa satutus riwayat itu shahih sesuai dgn kriteria ahli hadis ulama ahlussunna, dan dicatat didalam kitab2 ulama ahlussunna.. Anda tidak baca tapi berkomentar...

Anda bertanya lagi siapa yg melarang mut'ah, sudah jelas2 Umar bin Khatab khalifah ke 2, bersumber dari lebih 3 sumber... Ini pun ada dlm kitab2 ulama ahlussunna... anda masih saja menyangkal... Adapun anda mau mengatakan bahwa imam Ali juga melarangnya... dan hadis ini bersumber dari 1 sumber alias hadis ahad..dan orang tersebut sangat membenci Imam Ali...dan tidak ada satupun ada dlm kitab2 kami... Jadi, ini tidak bisa dijadikan hujjah...

Orang2 yang menentang hukum Allah itu adalah pembangkang, sama seperti iblis....
Kiriman 311
Alfian Hamdan menulispada 25 April 2009 jam 8:46
JAHIL, ISENG, USIL = ABDUL MALIK KARIM
Kiriman 312
Eko Putro menulispada 25 April 2009 jam 11:00
Ya Allah..... aku bersyukur kepada-Mu karena aq TERSESAT DI JALAN YANG LURUS YAIU JALANNYA IMAM ALI BIN ABI THALIB A.S... BUKAN JALAN YANG DILALUI SAUDARA KAMI ABDUL MALIK KARIM.
Kiriman 313
Abdul Malik Karim menulispada 25 April 2009 jam 18:10
@baqir anwar

anda lebih cocok dengan nama BAQAR daripada baqir

anda bilang:

Anda ini benar bodohnya minta ampun.. sudah saya jelaskan semua bahwa satutus riwayat itu shahih sesuai dgn kriteria ahli hadis ulama ahlussunna, dan dicatat didalam kitab2 ulama ahlussunna.. Anda tidak baca tapi berkomentar...

saya cuma tanya, di kitab mana, apakah sanadnya shahih atau tidak, jadi tidak asal contek.

anda bisa jawab g?

kitab-kitab sunni: kita apa saja?

ulama sunni mana yang menshahihkan?

kalo g tau g usah jawab, wahai BAQAR!

@eko putro

tidak lama lagi anda akan tahu siapa yang berjalan di atas jalan ALI As,
Kiriman 314
Eko Putro menulispada 25 April 2009 jam 19:49
Sebagai pencerahan.... bisa baca situs ini
http://islamsyiah.wordpress.com/2007/06/28/nikah-mutah-sama-dengan-zina/

Kiriman 315
Eko Putro menulispada 25 April 2009 jam 19:51
ikhwan..... sebaiknya berdiskusi dengan santun.... gak usah emosi karena para Imam mengajarkan demikian. Salam buat pak Muhammad Baqir Anwar, Pak Alfian dll....
sampaikan hujah dengan cara yang bijak, gak uash emosional.... SETUJU....
Labaika Ya Husain...
Kiriman 316
Abdul Malik Karim menulispada 29 April 2009 jam 13:52
baqar diam saja tanpa bisa menjawab, sayangnya seluruh teman-temannya juga tidak bisa membantu

Kiriman 317
Usman Ghalib menulispada 29 April 2009 jam 15:42
Mana Baqarnya eh maaf pak Baqir, kok gak nongol lagi. Biasanya dia paling getol kl diskusi ttg mut'ah. Gak bisa jawab pertanyaan2 pak Abdul Malik, ketahuan ne ya, gak bisa jawab ngilang.
Kiriman 318
2 balasan
Kristiantoro Rowobujel menulispada 01 Mei 2009 jam 2:33
beberapa hari ini saya mencari dan membaca artikel tentang syiah dari orang syiah. Saya tertarik dan sangat tertarik dengan syiah karena menurut orang-orang syiah madzhab yang mereka anut adalah madzhab jakfari dari imam ja'far ra.Saya cari tentang madzhab disini tapi ternyata tidak ada satupun yang membicarakan agama atau tata cara sholat, atau halal dan haram masalah agama menurut madzhab ja'fari,atau bagaimana mengenal Allah menurut madzhab ini.
Yang saya temukan adalah cacian terhadap sahabat, tentang hadist hari kamis, tentang tanah fadak, tentang nikah mut'ah, abu hurairah yang isinya sejarah Saya tidak menemukan satupun website syiah yang menjelaskan tentang madzhabnya(maksud saya tentang ilmunya, hadist-hadist,tentang apapun)
Mungkin mas-mas bisa bantu saya mendapatkan buku-buku tentang syiah yang bisa didownload atau tafsir alqur'an buah karya ulama syiah, tentunya saya dengan senang hati akan membelinya
Oh ya kalau mas-mas diatas berpegang teguh pada madzhab syiah yang paling benar kenapa ya tingkah laku mas-mas syiah selalu mencaci, menganggap bodoh,dan serapahan kasar ini pasti ada yang salah.????????(madzhabnya ataukah orangnya).Kalau kata-kata kami ada yang kasar saya minta maaf karena selama ini kami sesat(menurut mas karena bukan madzhab syiah) dan harap di maklumi, dan selayaknya jika mas diatas kebenaran mas bisa menjadi teladan kami

Oh ya saya mau nanya nih, ketika saya membuka-buka web saya temukan tulisan di bawah ini

TERBUNUHNYA AL HUSAIN TIDAKLAH LEPAS DARI PENIPUAN SYI’AH RAFIDHAH
Ternyata Syiah Rafidhah menyimpan kebencian terhadap Ahlul Bait. Kebencian itu tidak hanya berupa ucapan atau tulisan belaka. Bahkan mereka telah membuktikannya dengan perbuatan, yaitu dengan ikut andilnya mereka dalam peristiwa terbunuhnya Al Husain . Terlalu panjang untuk mengungkapkan peristiwa menyedihkan itu, namun cukuplah tulisan para ulama mereka sebagai bukti atas kejahatan mereka.
Di dalam kitab Al Irsyad hal. 241 karya Al Mufid diriwayatkan bahwa Al Husain pernah mengatakan: “Ya Allah jika engkau memanjangkan hidup mereka (Syi’ah Rafidhah) maka porak-porandakanlah barisan mereka, jadikanlah mereka terpecah belah dan janganlah selama-lamanya engkau ridhai pemimpin-pemimpin mereka. Sesungguhnya mereka mengajak orang untuk membela kami, namun ternyata mereka memusuhi dan membunuh kami”.
Di dalam kitab Al Ihtijaj 2/29 karya Abu Manshur Ath Thibrisi diriwayatkan bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan Zainal Abidin pernah berkata tentang kaum Syi’ah Rafidhah di negeri Irak: “Sesungguhnya mereka menangisi kematian kami padahal siapakah yang membunuh kami, kalau bukan mereka?!”
Masihkah ada keraguan, apakah Syi’ah Rafidhah benar-benar mencintai Ahlul Bait atau hanya sekedar kedok belaka?! Coba silahkan baca dan pahami sekali lagi! Mudah-mudahan Allah ? memberikan taufiq kepada kita semua.

mohon penjelesannya, tidak ada maksud apa-apa selain ingin mencari kebenaran.
"Ya Allah kalau memang syiah itulah kebenaran biarkan aku memegangnya kuat-kuat, dan kalau memang syiah itu tidak diatas kebenaran jauhkanlah aku daripadanya"

Salam dari saya yang sedang mencari kebenaran
Kiriman 319
Marlin Tigor membalas kiriman Kristiantoropada 01 Mei 2009 jam 4:25
Salam Mas Eko ...

Kalo fiqih ja'fari anda dapat mencarinya ditoko buku terdekat Fiqih Ja'fari buku 1/buku 2 penerjemah Samsuri Rifa'i dkk penerbit lentera. Atau mencari buku Fiqih lima mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i,Hambali,.-- Ed. lengkap MUGHNIYAH, Muhammad Jawad. Kalo fiqih standar dapat dilihat di situs situs resmi marja seperti link dibawah ini

http://leader.ir/tree/index.php?catid=89
http://leader.ir/langs/id/
http://www.al-shia.org/html/id/index.htm

sekaligus dapat dilihat disitu hal hal lain yang berkaitan dengan syiah.

Kemudian untuk mempelajari syiah secara adil dapat dibaca buku ontologi islam.

Menanggapi postingan mas eko soal hussein .. kita sebaiknya melihat seluruh rangkaian sejarah yang berkaitan dengan ahlul bait ini :

1. Pertikaian Fatimah dengan Abu Bakar.
2. Perang Jamal Antara Imam Ali dengan Aisyah.
3. Perang Siffin antara Imam Ali dengan Muawiyah
4. Terbunuhnya Hussein dikarbala oleh Yazid bin Muawiyah.

beberapa diskusi digrup ini sudah banyak yang mendiskusikannya dan dapat dibaca baca dulu.

Dari sini, agak aneh dan perlu dipertanyakan bagaimana pembunuhan Hussein itu dikaitkan dengan syiah rafidah, sebab sejarah menunjukkan pertentangan dan perlakuan terhadap Ahlul Bait yang disucikan tersebut ada sejak Fatimah berturut turut dengan Ali Hasan dan hussein. Apalagi dikaitkan dengan syiah rafidah yang katanya muncul atau dibuat oleh ibnu sabah pada zaman usman,.. siapa yang kemudian terlibat dalam peperangan orang tua hussein dengan abu bakar dan aisyah ? ....

menjawab seluruh pertanyaan syiah tidak akan cukup dalam ruang yang sempit ini. Satu hal yang pasti, telah banyak fitnah dan tuduhan yang mendiskreditkan syiah yang mudah kita temukan di internet yang pada umumnya tema tema tersebut adalah :

1. Syiah dibuat ibnu sabah
2. Syiah mempunyai quran lain
3. Syiah kawin mutah
4. Syiah meyakini raj'ah
5. Syiah menuhankan ALi bin abi tholib
6. dan sebagainya ..

dan ini adalah debat klasik yang sudah usang. Yang telah dibantah oleh ulama ulama syiah baik dalam forum resmi atau tidak resmi. Dan mahzab ini diakui di Al-azhar sebagai mahzab islam bersama sama mahzab lainnya.

Agar adil juga, mengapa mahzab suni itu juga muncul mahzab mahzab ? ....










Kiriman 320
Umar Surabaya menulispada 01 Mei 2009 jam 10:24
Skrg pertanyaan saya to the point saja kpd kalian org2 syiah!
Kalian meyakini kehalalan hukum mut'ah, jika kalian dihadapkan pd 2 persoalan yg harus dilakukan dlm wktu yg bersamaan, contohnya:
Mengeluarkan uang untuk nikah mut'ah, dari sisi yg lain kerabat atau tetangga kalian butuh bantuan uang utk biaya sekolah anaknya. Mana yang kalian harus dahulukan?

Dari jawaban kalian akan nampak mental kalian.

Kiriman 321
Syakir Al Edrus menulispada 01 Mei 2009 jam 10:56
Salah satu syarat Untuk Debat Adalah Dalil yang di kemukakan adalah sesuatu yang di yakini oleh lawan pastikan dulu dasar dari dalil yang akan dibawakan misalnya : Kita tidak bisa berhujah tentang kebenar Islam di hadapan Orng yang Ber Agama Kristen dengan Dalil Al Quran tetapi harus dengan sesuatu yang mereka percaya yaitu Kitab mereka sendiri Yaitu Injil dalam Hubungan nya dengan Sunni- syiah kitab apa yang mau dijadikan rujukan mis: Al kafi atau bukhari muslim lawan debat akan mengemukakan dalil yang didukung oleh kitab yang diyakini oleh lawannya misal tentang boleh atau tidaknya sesuatu. apabila ada 2 dalil yang bertentangan dalam kitab yang sama , maka sah saja lawan bicara mengambil yang sesuai dengan maksudnya tampa perlu mengemukakan yang satunya. selama kitab rujukan tersebut dianggap shahih oleh lawan debat. Kalau tidak bisa juga pastikan NIat dari debat tersebut apakah ada niat mencari kebenaran atau yang lain kalau yang lain. biasanya debat tdk akan selesai karena orang orang seperti ini tidak menggunakan Akal nya yang ada hanya hawa nafsu. karena sarat utama dari debat Adalah masing masing pihak Harus sehat Akal maka apabila salah satu kurang akalnya maka sebaiknya debat di hentikan.


beberapa Contoh debat Antara Islam dan Kristen Masalah pigur pigur yang di anggap suci Paulus oleh sebagian Penganut Kristen pigur ini Di agungkan dan dinggap Rasul oleh mereka oleh sebagian Lain dia di Anggap sebagai orng yang banyak merubah Agama Kristen sumber rujukannya Adalah sejarah yang diakui oleh kedua belah pihak. Apabila semua fakta sudah terungkap dan masih ada fihak yang tidak mengakuinya. berarti disini bukan mencari kebenaran tapi mencari menang. kalau mencari menang saja ini bukan sifat manusia, karena manusia selalu ingin kebenaran . jadi fahami dulu sesuatu yang akan di perdebatkan dari fahamam masing masing lwn. kadang kita mengira sudah menggunakan Aka. padahal akal akalan. sebagian mazhab dalam islam melarang kita mengkritisi hadis mereka berkata dalam memhami Agama jangan dengan Akal. tapi ikuti saja sebagai mana adanya. berarti semakin tidak berakal semakin tinggi Imannya jadilah Orang Gila sebagai Imam tertinggi .
Kiriman 322
Muhammad Shadiq membalas kiriman Kristiantoropada 01 Mei 2009 jam 11:52
@Kristiantoro Rowobujel
Kami apresiatif banget kalau anda dalam maksud mencari kebenaran dalm forum kita ini, dan kami berterima kasih, semoga akan tercipta diskusi yang produktif demi mancapai kebenaran...........!

Perlu anda ketahui bahwa selama ini kami dalam posisi tertuduh sehingga dalam hali ini, apakah salah kalau kami melakukan pembelaan, untuk mengklarifikasi semua persoalan yang dituduhkan..?

Sepanjang sejarah perkembangan Islam, pihak Syiah yang identik dengan penganut ajaran-ajaran Islam mengambil dari sumber terpercaya Nabi Muhammad saww yaitu Ahlulbaitnya yang di sucikan Allah swt, adalah dalam posisi didiskriditkan dan madzlum oleh pihak pihak yang tendensius dan dendam sebagai konsekwensi dari perjuangan islam oleh mereka, sebagaimana peran Ali Bin Abi Thalib dalam menghabisi nenek moyang mereka, dan kedudukan agungnya di mata Nabi saww bahkan menimbulkan cemburu pihak-pihak berseteru untuk pada akhirnya berupaya menghabisinya sampai anak turunnya..., tak ayal upaya fitnah dan makar tercipta berkedok idiologi agama....Demikian ini keadaannya, apakah salah kalau Syiah membela ....!?

Dan pastinya kami bertanggung jawab atas idologi ini dengan landasan pengetahuan yang objektif, dihadapkan pada semua fitnah yang dituduhkan kepada kami....!

Marilah kita berdiskusi,untuk bersama menggapai kebenaran yang universal ini....!
Kiriman 323
Shalahuddin Al Ayyubi membalas kiriman Muhammadpada 02 Mei 2009 jam 3:01
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Waaah, masih ramai yah? :-)

Afwan, maaf, saya sempat sakit sekitar seminggu (saat in juga masih sakit tenggorokan dan sariawan juga pilek dan demam) dan sebelumnya sangat sibuk. Saya tentu juga harus bekerja, sekolah, karena memang tidak dibayari pihak manapun untuk berdebat, menggoyang iman orang, misalnya orang-orang yang sering berkeliaran di internet dan menebar isu serta menjadikan itu sebagia profesinya.

Baik.

Mengenai Ghadir Khumm:

Ghadir Khumm adalah sebuah kebun yang terletak antara kota Makkah dan Madinah tepatnya di dekat Juhfah. Peristiwa ini terjadi sepulang dari Haji Wada’ sebelum wafatnya Nabi (kira2 3 bulan sebelum wafatnya Rasulullah SAW).

Peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sohihnya dari sahabat Zaid bin Arqom:

Rasulullah berdiri di antara kami dan berkhotbah di mata air yang disebut Khum lalu memuji Allah dan bersyukur atas segala ni’matNya, memberi peringatan serta petuah bagi kami lalu bersabda:

“ Amma ba’du wahai kaum Muslimin sesungguhnya aku adalah manusia biasa dan utusan Tuhanku akan datang memanggilku dan aku akan menjawab panggilannya, aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang berat, yang pertama adalah Al Qur’an Kitabullah yangmembawa petunjuk dan cahaya, ambillah (isi) kitabullah dan peganglah erat-erat “

Zaid berkata : Nabi menyuruh kami agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan menyemangati kami lalu bersabda :”dan ahlul baitku (keluarga dekatku) aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku, aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku, aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku..”(maksudnya jagalah hak ahlul baitku, jagalah kehormatan mereka).

Husain,perowi hadits ini dari Zaid bin Arqom bertanya : “ siapakah ahlulbait Nabi wahai Zaid? Bukankah istri-istri Nabi termasuk keluarga dekatnya? Zaid menjawab “ ya,(ahlul bait bukan cuma istri Nabi saja) tapi ahlulbait Nabi adalah mereka yang diharamkan untuk menerima sedekah, Husoin bertanya siapa saja mereka?

Zaid menjawab : mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqiil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.

Husoin bertanya lagi : semua mereka haram untuk menerima sedekah? Zaid menjawab : ya . riwayat dari Sohih Muslim.

Hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits lain riwayat Imam Ahmad, Nasa’i, Turmuzi dll dengan tambahan bahwa Nabi berkata “barang siapa aku menjadi walinya maka Ali juga menjadi walinya” juga ada tambahan lafaz lain “Ya Allah cintailah siapa saja yang mencintainya(Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya(Ali), tolonglah siapa yang menjadi penolongnya(Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran”.

Hadits ini bisa kita bagi menjadi 4 bagian.

• Bagian pertama : riwayat Imam Muslim yang tidak ada tambahan “barang siapa aku menjadi walinya maka Ali adalah walinya”.

• Bagian kedua : tambahan dari riwayat selain Sohih Muslim yaitu dari riwayat Turmuzi, Ahmad, Nasa’i dll yang memuat tambahan “barang siapa aku menjadi walinya maka Ali adalah walinya”.

• Bagian ketiga : tambahan lain dalam riwayat Turmuzi yang memuat tambahan lafaz : “Ya Allah cintailah siapa saja yang mencintainya(Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya(Ali),

• Bagian ke empat : tambahan riwayat Tobroni dll memuat tambahan lafaz : tolonglah siapa yang menjadi penolongnya(Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran”.

• Bagian pertama tercantum dalam kitab sohih Muslim. Kita menerima semua hadits yang tercantum dalam kitab sohih Muslim.

• Bagian kedua yaitu tambahan “barang siapa menjadikanku sebagai penolongnya dan teman dekatnya maka Ali adalah penolong dan teman dekatnya” tambahan ini sohih diriwayatkan oleh Tirmizi dan Imam Ahmad karena hadits soohih tidak hanya terdapat dalam sohih Bukhori dan Muslim saja. Tapi ada beberapa ulama yang mendho’ifkan tambahan ini seperti Ishaq Al Harbi , Ibnu Taymiyah, Ibnu Hazm dll.

• Tambahan “ Ya Allah tolonglah siapa saja yang menolong Ali dan musuhilah mereka yang memusuhinya ” para ulama berbeda pendapat, ada yang mensohihkannya dan ada yang sebaliknya, meangatakan hadits ini dho’if.

• Tambahan terakhir “: tolonglah siapa yang menjadi penolongnya(Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran.” Yang terakhir ini adalah semata-mata kebohongan atas Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam alias tambahan palsu.


Hadits ini digunakan sebagai pegangan bahwa Ali adalah khalifah langsung setelah Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam wafat, yang dijadikan pegangan adalah lafaz “barang siapa menjadikanku sebagai penolongnya dan teman dekatnya maka Ali adalah penolong dan teman dekatnya” . mereka berpendapat bahwa arti kata maula adalah pemimpin dan khalifah berarti Ali adalah khalifah setelah Nabi wafat.


Pertama-tama mari kita kaji kembali sebab-sebab “datangnya” hadits ini, mengapa Nabi mengatakan semua ini?

Apakah Nabi memerintahkan para sahabat untuk berhenti meneruskan perjalanan hanya karena ingin mengatakan hal ini?

Atau karena sebab lain?

Yang harus kita ketahui bahwa Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam sedang dalam perjalanan pulang dari mekah ke Madinah setelah melaksanakan Haji Wada’. Perjalanan dari mekah ke medinah memakan waktu sekitar 6-7 hari, sementara kebiasaan Nabi dalam perjalanan adalah berjalan di waktu malam dan istirahat di siang hari.

Nabi mengatakan hadits ini dalam keadaan beristirahat, dan tidak berhenti hanya untuk mengatakan hadis ini saja. Nabi behenti dalam perjalanan hanya dalam angka istirahat, dan sudah menjadi kebiasaannya, karena mustahil Nabi dan rombongannya berjalan 5 hari terus menerus tanpa istirahat karena dalam rombongan mereka terdapat kaum wanita dan mereka sedang dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah Haji. Oleh karena itu bisa dimaklumi bahwa Nabi berhenti untuk beristirahat di sela-sela perjalanannya.


Yang kedua mengapa Nabi mengatakan hadits ini?

Saat mengatakan hadits yang menyangkut Ali ini, yang seperti pendapat Syiah bahwa Nabi mengangkat Ali menjadi khalifah, menurut mereka bahwa Ali adalah khalifah yang harus diangkat setelah Nabi wafat.

Tapi kami (Sunni) tidak berpendapat demikian, bukan karena kami menolak Ali, tapi hanya semata-mata karena hal ini tidaklah benar, mengapa?

• Jika memang benar maksud Nabi adalah mengangkat Ali menjadi khalifah maka Nabi pasti mengumumkan pengangkatan Ali pada hari Arafah saat Haji Wada’, saat semua jamaah Haji berkumpul, saat itulah Nabi mengatakannya, hingga jika sahabat yang kebetulan tinggal di Madinah mengkhianati isi pengangkatan itu dan tidak mengakui bahwa Ali adalah khalifah yang diangkat Nabi, sahabat yang tinggal di kota lain bisa menyaksikannya dan mengatakan bahwa benar Nabi telah mengangkat Ali menjadi khalifah setelah Nabi wafat.

Mengapa Nabi tidak mengatakan hadits ini saat Haji Wada’? Mengapa Nabi tidak menyampaikannya saat Haji wada?

Orang syi’ah berpendapat bahwa Nabi takut!! Takut untuk menyampaikan pengangkatan ini, takut para sahabat penduduk Madinah akan menolaknya, tapi lucunya, Nabi mengatakan hadits ini pada penduduk Madinah yang ditakutinya.

Mengapa terjadi kontradiksi dalam omongan mereka? Nabi takut ditolak sahabat penduduk Madinah sehingga tidak menyampaikan pengangkatan ini saat Haji Wada’. Tapi hadits ini diucapkan di tengah-tengah sahabat penduduk Madinah.


• Mengapa Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam takut kepada para sahabatnya?

Para sahabatnya yang telah berjuang bersama Nabi mereka tinggalkan anak dan harta untuk berhijrah, mereka berjihad di jalan Allah, mereka berjihad pada perang Badar, Uhud, Khandaq, hudaybiyah dan khaibar. Kemudian setelah itu ikut serta dalam fathu makkah dan perang Tabuk, bagaimana kemudian Nabi takut pada mereka? Takut apa? Takut kalau mereka menolak kekhilafahan Ali.

Pendapat kami tentang sebab Nabi mengatakan hal itu, bahwa Nabi hanya mengatakan hadits ini di depan sahabat penduduk Madinah dan tidak mengatakan hadits ini di depan kaum Muslimin saat Haji Wada’. Hal ini semakin jelas ketika kita mengetahui letak geografis Ghadir Khumm yang terletak 250 km dari kota mekkah.

Oleh karena itu mereka yang tidak mengetahui hal ini dengan mudah mengatakan bahwa Nabi bersabda demikian di depan kaum Muslimin yang sedang menunaikan ibadah Haji. Ibadah Haji dilaksanakan di kota mekkah dan Arafah, bukannya di Ghadir Khumm yang jaraknya 250 km dari kota mekkah. Berarti sabda Nabi ini di depan kaum Muslimin penduduk Madinah.


Mengapa Nabi tidak mengatakan hal ini di depan seluruh jamaah Haji? Para ulama mengatakan alasannya adalah :

• Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam sebelum berangkat Haji wada telah mengutus Khalid bin Walid untuk berperang di negeri Yaman, setelah menang, Khalid memberitahu Nabi tentang kemenangan itu dan tentang ghanimah(harta rampasan perang), Khalid meminta Nabi untuk mengutus seorang sahabatnya untuk mengambil seperlima bagian Nabi. Lalu diutuslah Ali untuk mengambil bagian Nabi tsb dan Nabi menyuruhnya untuk langsung berangkat ke mekkah untuk melaksanakan Haji bersama Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam. Setalah Ali sampai di sana dibagilah harta rampasan itu, 4/5 untuk para mujahidin yang berperang dan 1/5 lagi dibagi 5 bagian, yaitu 1/5 untuk Allah dan RasulNya, 1/5 untuk ahlulbait kerabat Nabi, 1/5 untuk keluarga Nabi, 1/5 untuk anak yatim, 1/5 untuk fakir miskin, 1/5 lagi untuk ibnu sabil. Setelah itu Ali pergi ke mekkah dengan membawa 1/5 bagian keluarga Nabi. Apa isi 1/5 bagian keluarga Nabi tadi? Isinya adalah hewan ternak, harta benda dan para tawanan baik laki-laki, perempuan maupun anak kecil. Lalu Ali menggauli salah satu perempuan tawanan tadi lalu para sahabat yang mengetahui hal itu marah pada Ali, mereka melihat Ali keluar dari kemahnya setelah mandi. Bagaimana Ali berbuat demikian? Mengambil salah satu tawanan perang untuk dirinya, yang mestinya dibagi di kota Madinah(atau makkah) dan bukannya di sini. Salah satu sahabat yang marah adalah Buraidah ibnul Husoin yang melaporkannya pada Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, tapi Nabi diam saja, Buraidah mengulanginya untuk kedua dan ketiga kali, lalu Nabi bersabda, “wahai Buraidah apakah kamu membenci Ali?” Buraidah pun menjawab “ ya wahai Rasulullah”, Nabi pun menjawab : “wahai Buraidah janganlah kamu membencinya karena dia berhak mendapat bagian dari harta rampasan perang lebih dari itu”. Lalu Buraidah berkata “ saya tidak lagi membencinya setelah mendengar Nabi melarangku membenci Ali”. Berarti masalahnya hanyalah intern antara Buraidah dan Ali, mungkin ada juga sahabat lain yang tidak setuju dengan perbuatan Ali seperti itu.

• Sebab ke dua : yaitu ketika Ali berangkat dari Yaman menuju mekkah dia membawa onta-onta untuk dijadikan korban. Setelah berjalan beberapa saat Ali menyuruh sahabat-sahabat lain untuk maju terlebih dahulu dan meninggalkan Ali di belakang. Ali melarang mereka menaiki onta-onta rampasan perang dan melarang mereka mengenakan pakaian2 yang juga hasil rampasan perang. Ketika Ali melihat mereka mengendarai onta dan memakai pakaian2 hasil rampasan perang Ali marah pada mereka, dan mereka pun merasa kurang senag. Lalu para sahabat tadi melaporkan perlakuan Ali pada Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam. Dijawab oleh Nabi bahwa “sesungguhnya Ali telah berbuat baik kepadamu maka janganlah kamu membencinya” lalu sahabat pun mentaati Nabi dengan mencintai Ali. Sepulang Nabi dan para sahabat dari Haji Wada’ dan telah mencapai sebuah tempat yang berjarak 170 km dari kota medinah dan saat Nabi beristirahat beliau mengumpulkan para sahabat dan memberitahu mereka bahwa “ barang siapa yang mencintaiku maka dia harus mencintai Ali ”. Wahai mereka yang tidak senang pada Ali, berhati-hatilah, karena barang siapa yang merasa mencintaiku maka dia harus mencintai Ali, orang syi’ah berpendapat bahwa makna kata maula adalah pemimpin dan khalifah, dan yang benar makna kata maula adalah kekasih atau orang yang dicintai, dengan bukti sabda Nabi seterusnya “ Ya Allah tolonglah siapa saja yang menolong Ali dan musuhilah mereka yang memusuhinya ”, وال من والاه و عاد من عاداه sama dengan من كنت مولاه فعلي مولاه makna keduanya adalah sama, inilah kesimpulan peristiwa Ghadir Khumm.

Makna kata مولى menurut Ibnul Atsir ada beberapa makna : Rob, pemilik, penolong, pemberi nikmat, sekutu, pembebas, hamba, anak paman dan ipar.. semua di atas adalah makna kata maula tapi mereka bersikeras bahwa maknanya adalah khalifah.

Jika Nabi benar bermaksud mengangkat Ali menjadi khalifah sudah pasti Nabi akan mengangkatnya dengan perkataan yang jelas mengarah pada maksud khalifah, bukan dengan kalimat yang memiliki lebih dari 10 makna. Nabi pasti akan menjelaskannya dengan kalimat yang jelas, miaslnya dengan perkataan Ali adalah khalifah setelah aku wafat, jika Nabi bersabda dengan kalimat yang jelas bermaksud khilafah tentunya tidak akan pernah ada perbedaan pendapat, tapi semua ini memang tidak pernah ada.

Sementara jika kata-kata maula diartikan sebagai pemimpin dan penguasa maka akan sangat janggal, seperti dalam ayat
فاليوم لا يؤخذ منكم فدية ولا من الذين كفروا مأواكم النار هي مولاكم و بئس المصير
Neraka disebut maula di sini karena orang kafir tinggal dalam neraka dan kekal di dalamnya(apakah neraka bisa disebut “pemimpin” orang-orang kafir?).

Sementara itu Ali adalah kekasih dan teman setia orang mukmin sejak jaman Nabi hingga Nabi wafat, oleh karena itu Allah berfirman surat Al Maidah ayat 55 :
إنما و ليكم الله و رسوله و الذين آمنوا
Sesungguhnya kekasih dan penolongmu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang beriman....

Setiap orang mukmin adalah adalah bersaudara, saling mencintai dan tolong menolong. Maka anggapan mereka bahwa arti kata maula adalah pemimpin adalah tidak benar, oleh karena itu seorang ulama mereka Nuri Tobrosi berkata “Nabi tidak menjelaskan secara gamblang mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah Nabi wafat pada hari Ghadir Khumm tapi hanya mengisyaratkan dengan menggunakan perkataan yang memiliki makna yang sangat banyak yang memerlukan penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi dengan perkataan itu” Fashlul Khitob Fi Itsbat Tahrifi Kitabi Robbil Arbab(pemutus perkara tentang pembuktian bahwa kitab Allah telah diselewengkan) hal 205-206. jika memang begitu adanya bagaimana hadits itu bisa dianggap sebagai pengangkatan Ali menjadi khalifah setelah Nabi?







Kiriman 324
Shalahuddin Al Ayyubi menulispada 02 Mei 2009 jam 3:08
TENTANG HADITS 12 KHALIFAH


Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi : “sepeninggalku nanti akan naik tahta 12 khalifah, semuanya dari suku Quraisy ”. Dalam riwayat lain yang terdapat di literatur hadits ahlussunnah, seperti Sohihain Bukhori dan Muslim* diriwayatkan bahwa Nabi bersabda : “Din ini akan tetap tegak hingga 12 orang naik tahta menjadi khalifah kaum Muslimin, mereka semua dari suku quraisy”.

Syiah berdalil dengan hadits ini dalam menetapkan keimamahan 12 imam mereka.

Apakah maksud 12 orang khalifah dalam hadits ini adalah 12 imam Syiah?

Mari kita lihat bersama. Mereka berpendapat bahwa maksud hadits di atas adalah kedua belas imam Syiah sbb :

1. Ali bin Abi Tolib
2. Hasan bin Ali
3. Husein bin Ali
4. Ali bin Husein
5. Muhammad bin Ali bin Husein (Al Baqir)
6. Ja’far bin Muhammad (Asshodiq)
7. Musa bin Ja’far bin Muhammad (Al Kazim)
8. Ali bin Musa (Arridho)
9. Muhammad bin Ali (Al Jawwad)
10. Ali bin Muhammad (Al Hadi)
11. Hasan bin Muhammad (Al Askari)
12. Muhammad bin Hasan Al Askari (Mahdi)

Dalam kitab Al Kafi jilid 1 hal 534 disebutkan riwayat dari Imam Muhammad Al Baqir bahwa Nabi bersabda pda Ali : “sesungguhnya aku , 12 imam dari keturunanku dan kamu hai Ali adalah rahasia bumi”. Selain Ali ada 12, berarti jumlah para imam adalah 13.

Riwayat lain dari Jabir yang tercantum adalam kitab AL Kafi jilid 1 hal 532 dia berkata, dia masuk menemui Fatimah dan didepannya ada papan yang berisi nama-nama penerima wasiat (washiy, imam), kuhitung nama2 mereka ada 12 orang, yang terakhir adalah mahdi yang akan bangkit.

Berarti kata2 12 imam disini tidaklah benar, oleh karena itu dalam riwayat yang juga dari Jabir disebutkan : “kuhitung nama-nama mereka ada 12, yang terakhir adalah mahdi, 3 di antara mereka bernama Muhammad dan 3 di antara mereka bernama Ali”.

Siapa saja yang bernama mmuhammad? Muhammad Al Baqir, Muhammad bin Ali dan Muhammad bin Hasan.

Lalu siapa saja yang bernama Ali? Ali bin Husein, Ali bin Musa, Ali bin Muhammad (Al Hadi).

Berarti jumlah para imam adalah 13.

Literatur Syiah yang membahas mengenai sekte-sekte sempalan Syiah menyebutkan bahwa ada kelompok yang beriman pada 13 imam bukannya 12. Mereka disebut Syiah 13 imam. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada hadits-hadits yang menyatakan bahwa jumlah para imam adalah 13 seperti di atas.

Satu masalah lagi, Kaum Syiah mengatakan bahwa para imam kita berjumlah 12 orang. Nabi telah memberitahu mereka tentang 12 imam tersebut saat Nabi hidup. Tapi kit adapati perowi2 besar Syiah yang sezaman dengan Muhammad Al Baqir dan Ja’far Assodiq, mereka tidak mengetahui bahwa jumlah para imam adalah 12, seperti Zuroroh yang asat menjelang ajal dia berkata “saya tidak punya imam selain kitab ini”, tangannya menunjuk pada Al Qur’an. Riwayat ini terdapat dalam kitab Rijalul Kusyi hal 139.

Dari sisi lain kita dapati perowi perowi besar lainnya seperti Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Muhammad bin Nu’man Al Awwal(syaitonuttoq) dan Ammar Assabati, mereka membaiat Abdullah bin Ja’far dan bukannya Musa bin Ja’far, oleh karena itu Nubakhti dan lainnya mengatakan bahwa kebanyakan perowi Syiah adalah Fatohiyyah.

Karena hanpir semua riwayat Syiah berasal dari Ja’far Assodiq dan Muhammad Al Baqir dan kebanyakan perowi hadits dari kedua imam tersebut mengikuti Abdullah bin Ja’far bukannya Musa Al Kazim. Hisyam bin Salim berkata :” setelah Abdullah bin Ja’far wafat kita tidak tahu kemana harus menghadap dan siapa yang harus diikuti”. Al Kafi jilid 1 hal 351.

Berarti mereka tidak pernah mendengar sabda Nabi mengenai 12 imam Syiah (murid-murid imam Al Baqir dan Assodiq tidak pernah tahu bahwa jumlah imam Syiah ada 12 orang karena tidak pernah diberitahu oleh para guru mereka, yaitu Imam Al Baqir dan Imam Assodiq.).

Lalu kapan mulai dikenal bahwa imam Syiah jumlahnya adalah 12?

Jaman imam Ja’far tidak belum dikenal 12 imam, begitu juga jaman para imam sebelumnya, mulai dari Ali bin Abi Tolib hingga Al Baqir, bahkan sampai jaman Hasan AL Askari tidka dikenal Syiah 12 imam(atau Syiah imamiyah), tapi yang dikenal hanyalah istilah Syiah saja.

Lalu kapan mulai muncul mazhab Syiah imamiyah 12 imam?

Begini kisahnya, saat wafatnya Hasan Al Askari yang tidak memiliki anak, kaum Syiah kaget lalu bertanya-tanya, apa yang harus kita perbuat? Imam Hasan tidak memiliki keturunan tapi keimamahan harus berlanjut, lalu mereka “mengarang” ahwa imam Hasan memiliki anak. Tapi tidak ada yang percaya omongan itu, oleh karena itu warisannya dibagi antara ibunya dan saudaranya yang bernama Ja’far.

Oleh karena itu Syiah imamiyah membantah kelompok imailiyah dengan pernyataan bahwa Ismail bin Ja’far tidak memiliki anak, begitu juga Fatohiyah, mereka mengatakan bahwa Abdullah bin Ja’far tidak memiliki anak.

Ternyata pada jaman para imam sejak Ali bin Abi Tolib hingga Hasan Al Askari tidak pernah dikenal istilah 12 imam, lalu mengapa hadits ini tidak dijadikan dalil sejak dulu?

Mengapa para Imam tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil sejak dulu?

Jawabnya, karena Hasan AL Askari tidak memiliki anak dan kaum Syiah mengatakan bahwa dia memiliki anak. Tapi karena anak Hasan al Askari benar-benar tidak ada maka warisannya hanya dibagi antara ibu dan saudaranya seperti di atas (jika benar-benar Hasan al Askari memiliki anak maka warisannya hanya dibagi antara ibu dan anaknya saja sementara saudaranya tidak akan mendapat bagian apa-apa dari warisannya)..

Jika memang Hasan Al Askari memiliki anak, lalu kemana anaknya? Syiah mengatakan bahwa anaknya bersembunyi/ghoib. Tidak heran dia bersembunyi atau ghoib karena memang tidak ada.

Bagaimana orang yang fiktif bisa hadir muncul di muka bumi? Apakah anaknya Hasan AL Askari juga punya anak (apakah anak Hasan al Askari memiliki anak yang akan menjadi imam sepeninggalnya?)?

Jawabannya tidak, karena bagaimana orng yang fiktif dapat memiliki anak?

Oleh karena itu keimamahan harus berhenti di 12 orang, tidak ada orang ke 13 yang menjadi imam, karena imam ke 12 tidak akan memiliki anak. Oleh karena itu meerka disebut Syiah 12 imam.

Setelah itu mungkin setan jin atau setan manusia mereka melihat hadits Nabi yang memberitahu akan adanya 12 khalifah ini mereka seperti mendapat durian runtuh, karena angkanya sama yaitu 12, berarti maksud Nabi adalah 12 imam Syiah tadi. sudah jelas bahwa hal ini merupakan permainan terhadap hadits Nabi dan penghinaan terhadap akal manusia.

Oleh karena itu banyak sekali riwayat Syiah yangmengatakan ahwa Imam Mahdi yang akan bangkit (Al Qoim) bukanlah Muhammad bin Hasan Al Askari, misalnya, Ja’far Assodiq mengatakan bahwa “nama mahdi seperti nama pembelah laut” tercantum di kitab Al Ghoibah hal 46, sementara di halaman 47 mengatakan bahwa nama mahdi adalah seperti nama pisau cukur (Pisau cukur dalam bahasa arab disebut Musa).

Imam Syiah ketujuh adalah Musa Al Kazim, namanya seperti nama pembelah laut, Nabi Musa, berarti Mahdi bukanlah imam ke 12, tapi Imam ke tujuh.
Hadits 12 khalifah berbunyi demikian : “agama ini(Islam) akan tetap tegak selama dipimpin oleh 12 khalifah”. Imam ke 12 yaitu AL Mahdi “katanya” lahir tahun 256 H dan masih ada hingga saat ini. Dan Hasan AL Askari wafat tahun 260 H. Nabi bersabda bahwa agama ini akan tetap tegak , mulia dan kuat selama 12 orang khalifah naik tahta.

Tapi bagaimana? Apakah kita melihat agama Islam mulia dan tegak? Mari kita lihat keadaan kaum Muslimin hari ini, apakah Islam tegak?

Apakah Islam mulia? Apakah Islam tinggi di muka bumi? Mana kenyataan hadits Nabi? Mana yang lebih kita percaya? Hadits Nabi ataukah perkatan mereka yang mengatakan bahwa 12khalifah pada hadits ini maksudnya adalah 12 imam Syiah?

Juga mereka mengatakan bahwa para imam mereka selalu bertaqiyyah, selalu bersembunyi dan dalam keadaan takut, bagaimana dengan hadits Nabi yang mengatakan bahwa agama tegak, kuat dan mulia? Bagaimana Islam mulia sedangkan para imamnya saja selalu takut dan bertaqiyah?

Dalam hadits ini tidak ada pembatasan bahwa Islam ini akan tegak di bawah pimpinan ke 12 itu, apakah Nabi mengatakan bahwa tidak akan ada khalifah selain 12 imam itu, dan segalanya bergantung pada 12 khalifah itu dan kiamat akan terjadi setelah khalifah ke 12 muncul, semua itutidak pernah ada. Hadits ini hanyalah pemberitaan Nabi tentang peristiwa yang terjadi di masa depan, seperti firman Allah :

25 عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا 26 إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا 27 لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا 28

Allah memberitahu Nabi tentang perkara ghaib yang terjadi di masa depan, hal ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.

Dalam hadits ini Nabi bersabda “ semuanya dari suku Quraisy” tapi mereka mengatakan bahwa ke 12 itu adalah anak cucu Ali bin abi tolib.

Sementara itu kita yakin benar bahwa Nabi telah diberi Allah perkataan singkat yang bermakna dalam serta kemampuan bahasa arab yang tinggi, apakah Nabi akan mengatakan bahwa semuanya dari suku quraisy tapi yang dimaksud adalah anak cucu Ali?

Jika Nabi memang bermaksud mengatakan bahwa ke 12 itu adalah anak cucu Ali pasti Nabi akan mengatakan demikian dan menjelaskan nama-nama mereka. Kita tidak boleh percaya hal ini.

Jika saya katakan misalnya, saya ingin memberi seluruh orang Indonesia uang 100 dolar amerika, lalu berkumpullah seluruh orang Indonesia di rumah saya ingin menagih janji saya, lalu saya mengatakan, “maaf, saya hanya memberi orang Jawa barat saja”. “Mengapa kamu hanya memberi orang Jawa barat saja?”. Saya bisa saja menjawab, “orang Jawa barat kan juga orang Indonesia ?” Mereka akan menjawab lagi, ”kita kan juga orang Indonesia?” Saya pun mengatakan “ maaf saya salah ngomong”, mereka akan mengatakan “ kamu tidak bisa ngomong, kalo kamu bisa ngomong dengan benar pasti kamu akan mengatakan saya ingin memberi orang Jawa barat 100 dolar amerika, dan kami tidak perlu datang bergerombol di rumahmu”. Orang dari seluruh Indonesia pun segera pulang dari rumah saya, tinggal orang Jawa barat saja yang menunggu janji saya, tapi saya berkata lagi “ maaf saya hanya ingin memberi orang Bandung saja”. Mereka bertanya keheranan” kenapa hanya orang Bandung saja, bukannya tadi kamu ngomong mau memberi seluruh orang Jawa barat?” saya bisa saja menjawab “ orang Bandung kan juga orang Jawa barat”

Mereka berkata “kamu kalo bicara yang benar!! Kalo hanya orang Bandung saja yang mau diberi uang bilang dong dari tadi orang Bandung, jangan muter-muter nggak karuan!!”

Apakah saya salah jika memilih kalimat di atas? Jawabannya iya, jelas salah. Apakah kita berani mengatakan bahwa Nabi bersabda “semuanya dari suku Quraisy” tapi yang dimaksud adalah Ali dan anak cucunya?

Mestinya jika bermaksud menunjuk Ali dan anak cucunya menggunakan kalimat (semuanya dari Bani Hasyim) bahkan kalimat bani Hasyim pun tidaklah tepat karena yang termasuk bani Hasyim bukan cuma Ali dan anak cucunya saja, tapi hendaknya menyatakan dengan kalimat yang jelas “semuanya dari keturunan Ali” dan menjelaskan satu persatu karena anak cucu Ali bukanlah hanya Imam2 Syiah yang 12 itu, Ali sendiri mempunyai 19 anak (bahkan anaknya ada yang diberi nama Abubakar, Umar dan utsman), karena Nabi sendiri telah diberi kunci2 bahasa, yang mana dengan kalimat2 yang pendek dan singkat mengandung makna yang dalam. Tapi yang ada dalam hadits adalah sabda Nabi “semuanya dari suku Quraisy”. Sebagaimana kita yakin Nabi telah diberi kunci2 bahasa kita yakin bahwa pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh sabda Nabi di atas adalah Ali dan anak cucunya adalah kurang tepat.

Permasalahannya adalah adanya persamaan jumlah angka saja, dalam hadits itu ada 12 khalifah sementara syi’ah memiliki 12 Imam, berarti yang dimaksud adalah 12 Imam itu. Artinya setiap ada angka 12 dalam hadits pasti yang dimaksud adalah 12 Imam itu. Ternyata dalam sohih Muslim terdapat sebuah hadits

سيكون من أمتي اثنا عشر منافقا

Dari umatku akan muncul 12 orang munafik

Jika persamaannya hanya ada pada jumlah angka 12 bagaimana kita memahami hadits di atas? 12 Imam, 12 khalifah dan 12 orang munafik. Apakah setiap angka 12 dalam ayat atau hadits pasti yang dimaksud adalah Imam2 Syiah?

Jika kita menelaah kembali Al Qur’an maka kita tidak akan mendapatkan bahwa Allah telah menunjuk seseorang dari 12 Imam itu untuk menjadi imam bagi manusia. Beberapa ayat yang mereka gunakan sebagai dalil telah kita bahas di muka dan telah jelas bahwa pemahaman mereka atas dalil2 itu tidaklah benar. Di mana pembaHasan Imamah dalam Al Qur’an padahal menurut mereka imamah itu lebih penting dari sholat, zakat, haji dan segalanya tetapi tidak disebutkan oleh Allah dalam Al Qur’an, padahal menurut Syiah Imamah adalah rukun Islam yang terpenting.

Dalam Al Qur’an Allah telah menceritakan para Nabi dan Rasul serta kisah dakwah mereka kepada ummat manusia, tapi Allah sama sekali tidak membahas Imamah. Baiklah , apakah ini kelalaian Allah atau dakwaan dan sangkaan mereka bahwa Imamah lebih penting dari sholat dan segalanya adalah batil? Silahkan anda memilih salah satu.

Oleh karena itu Zaid bin Ali bin Husein, saudara Muhammad al Baqir dan paman Ja’far Assodiq yang diikuti oleh kelompok Zaidiyah, suatu hari dia duduk bersama mu’minuttoq (Ahlussunnah menyebutnya syaiitonuttoq) yang nama aslinya Muhammad bin annu’man setelah mengutus seorang utusan untuk memenggilnya dan Zaid bin Ali saat itu bersembunyi dari kejaran penguasa bani Umayah beliau berkata pada Muhammad: “wahai Abu Ja’far, bantulah aku dalam perjuanganku.

Lalu dijawab oleh si syaitonuttoq : jika yang keluar dan memberontak adalah ayahmu atau saudaramu maka akan kubantu, tapi jika kamu yang memberontak saya tidak akan membantumu. Zaid berkata : wahai Abu Ja’far saya dulu duduk bersama ayahku saat makan bersama, dia menyuapiku daging yang empuk karena rasa sayangnya padaku tidak mengasihaniku jika aku masuk neraka, mengapa dia memberitahumu tentang Imamah dan tidak memberitahu diriku ?

Si syaiton menjawab : wahai Zaid sesungguhnya dia tidak memberitahumu karena takut kamu masuk neraka, dia takut kamu tidak menerima ketentuan bahwa imam setelah ayahmu (Ali zainal Abidin) adalah Muhammad Al Baqir, dia memberitahuku, jika aku menerimanya maka aku akan selamat dan jika aku menolak aku sendiri juga bakal masuk neraka.

Logika mana ini? Akal mana ini? Bagaimana anaknya sendiri tidak diberitahu tentang Imamah lalu orang yang jauh dan tidak ada hubungan kerabat diberitahu? Padahal Imamah adalah rukun iman yang terpenting. Rupanya benar juga Ahlussunnah menyebutnya sebagai syaitonuttoq, sungguh pantas bagi yang berbicara demikian dengan seorang pemuka ahlul bait yaitu Zaid bin husein bin Ali bin Abi Tolib.

Satu lagi, seorang pemuka ahlul bait yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Tolib, dia disebut annafsuzzakiyyah. Dia memberontak melawan pemerintahan bani Umayah pd tahun 130 H. Dia menyebut bahwa dirinya adalah Mahdi lalu diikuti oleh banyak ahlulbait, sedangkan dia sendiri, kakek ayahnya adalah Hasan bin Ali. Kita tidak membahas mengenai pemberontakannya, tapi baHasan kita kali ini adalah bahwa Imam Ja’far Assodiq menyuruh kedua anaknya yaitu Abdullah al Aftoh dan Musa al Kazim untuk mengikutinya. Maka bergabunglah keduanya dalam pemberontakan Muhammad. Kisah ini dikutip dari buku maqatiluttolibiyyin hal 244.

Padahal Syiah berpendapat “bahwa setiap baiat yang terjadi sebelum keluarnya Mahdi maka baiatnya tadi adalah kekufuran, kemunafikan serta tipu daya, semoga Allah melaknat orang yang membaiat dan yang dibaiat” Biharul Anwar jilid 53 halaman 8. Apakah lalu maknanya bahwa Abdullah Al Aftoh dan Musa Al Kazim serta Ja’far Assodiq itu menjadi kafir dan munafik serta dilaknat oleh Allah karena berbaiat dan menyuruh orang berbaiat sebelum munculnya Mahdi?

Dalam literatur Syiah kita dapati hadits2 dan riwayat2 yang membahas masalah Mahdi yang mencapai ribuan bahkan tak terhitung jumlahnya, tapi mengapa kebanyakan kelompok2 Syiah tidak percaya adanya Mahdi? Misalnya Fatohiyah tidak percaya adanya Mahdi, begitu juga Nawusiyah, Batariyah , Solihiyah, Kisaniyah, Ismailiyah, Ja’fariyah lama dan Musawiyah lama.

Mengapa mereka tidak percaya pada adanya Mahdi sedangkan hadits2 dalam literatur Syiah yang memuat tentang Mahdi ada ribuan? Bahkan perowi utama Syiah seperti Ammar Assabati, Abdullah bin Abi Ya’fur, Aban bin Taghlab, Hisyam bin Hakam, Jamil bin Darraj, Hisyam bin Salim, Muhammad bin Nu’man, Zuroroh bin A’yun dsb.. bisa anda baca dalam rijal al Kusyi. Mereka semua kebingungan sepeninggal Ja’far Assodiq, tidak tahu harus membaiat siapa.

Mengapa bisa begitu?

Karena riwayat2 tentang 12 Imam dsb sebenarnya belum ada pada zaman Ja’far Assodiq, riwayat2 itu dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan di kemudian hari jauh setelah wafatnya Imam Ja’far. Oleh karena itu misalnya Al Bayadhi, salah seorang ulama Syiah mengatakan “ Ali tidak menyebutkan nas pengangkatan dirinya menjadi khalifah setelah Nabi kepada sahabat karena 2 alasan, pertama jika Imam Ali mengatakan pada sahabat lalu mereka menolaknya maka sudah pasti para sahabat itu akan menjadi kafir dan itu yang tidak diinginkan oleh Ali sendiri, sedangkan para sahabat bermusyarah adalah untukmenentukan siapa yang lebih utama” ternyata Ali sendiri tidak pernah menyebutkan nas untuk dirinya sendiri, bagaimana ada nas untuk 11 anak keturunannya?

1 Jika memang keimamahan itu sudah ditentukan bagi 12 Imam mengapa Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah?

Silahkan bertanya kepada para ulama Syiah(atau jika di Indonesia belum ada ulama Syiah, tanyakan pada ustadz-ustadznya).

Demi Allah kami hanya menginginkan kebaikan untuk anda-anda semua wahai saudaraku yang bermazhab Syiah, mengapa Hasan menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah sedangkan dia adalah Imam yang sudah ditentukan oleh Allah? Ulama Syiah mengatakan bahwa Imam tidak selalu memimpin negara, juga menjadi seorang pemimpin bukanlah syarat keimamahan, jadi bisa jadi seseorang menjadi Imam tapi dia tidak memimpin negara, lalu mengapa Husein memebrontak pada Yazid? Padahal Husein kan sudah menjadi Imam, mengapa harus memberontak pada Yazid?2

Pertanyaan lagi, mengapa Husein memberontak pada Yazid tetapi tidak memberontak kepada Muawiyah?

Padahal sepeninggal Hasan, Husein hidup dibawah pemerintahan Muawiyah 11 tahun, perlu diketahui bahwa Hasan wafat tahun 49 H sementara Muawiyah wafat tahun 60 H. 11 tahun lamanya tetapi Husein tetap diam dan tidak memberontak pada Muawiyah.(jika memang husein itu Imam yang sudah ditentukan Allah sudah seharusnya dia memberontak pada Imam yang tidak berhak dan merebut kembali haknya yang sudah ditentukan oleh Allah, cuma ada 2 kemungkinan, pertama bahwa Imam husein tidak tahu bahwa dirinya adalah Imam yang sudah ditentukan Allah, berarti bagaimana para ulama Syiah (dan juga ustadz-ustadznya) mendakwakan bahwa husein adalah Imam yang benar ditunjuk Allah sementara yang bersangkutan sendiri tidak tahu? Kedua, Imam husein tahu persis bahwa dirinya adalah Imam yang maksum dan ditunjuk langsung oleh Allah tetapi dia dengan sengaja membiarkan orang lain menjadi Imam dan dia diam saja, dan itu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kemaksuman, dan yang berbuat demikian bukanlah seorang yang maksum) Marilah kita berpikir.

Jika karena Muawiyah itu adalah seorang yang saleh dan adil dalam pemerintahan sementara Yazid adalah seorang yang zalim itu bisa jadi, tapi banyak ulama ahlusunnah yang berpendapat bahwa Yazid adalah seorang yang zalim, tapi ahlusunnah tidak mencela dan menjelek-jelekkannya serta tidak menganggap mencela dan memaki Yazid sebagai sebuah ibadah, tetapi pertanyaannya mengapa Husein tidak memberontak pada Muawiyah?

Mengapa Hasan menyerahkan kekhilafahan pada Muawiyah padahal Imamah dan khilafah itu sudah ditentukan Allah untuk 12 Imam Syiah?

Sekali lagi hanya ada 2 kemungkinan, yaitu Hasan dan Husein telah melakukan kesalahan atau memang tidak ada ketentuan dari Allah.
Berarti cara pengangkatan khalifah adalah dengan jalan musyawarah seperti yang dikatakan oleh Ali sendiri “ sesungguhnya yang menentukan adalah hasil musyawarah antara kaum Muhajirin dan Ansar, jika mereka menyepakati seseorang untuk menjadi Imam maka dialah Imam dan Allah ridho pada hasil musyawarah mereka “ Nahjul Balaghah hal 367. Ali juga berkata: “ aku telah dibaiat oleh orang yang membaiat Abubakar, Umar dan Utsman, yang hadir pada saat musyawarah tidak boleh memilih dan yang tidak hadir tidak boleh menolak” Nahjul Balaghah hal 366. juga perkataan Ali pada saat didatangi dan diminta untuk menjadi khalifah : “ tinggalkanlah diriku dan carilah orang lain, kita akan menghadapi perkara-perkara besar yang membingungkan, hati kita tidak bisa sabar dan akal kita tidak dapat memikirkannya secara benar, jika kalian tinggalkan diriku maka aku akan menjadi rakyat biasa seperti kalian dan menjadi rakyat yang paling taat pada pemimpin, sesungguhnya jika aku menjadi menteri lebih baik daripada aku menjadi seorang pemimpin(khalifah) ” Nahjul Balaghoh hal 336.

Apakah Ali RA menipu ummatnya? Apakah Ali mengetahui bahwa dirinya telah ditentukan Allah menjadi Imam lalu sengaja berbohong dan mengatakan “tinggalkanlah diriku dan carilah orang lain”?

Apakah Ali RA menolak ketentuan Allah? Atau memang ketentuan itu tidak ada? J

ika Ali RA menolak ketentuan Allah berarti dia telah melakukan dosa besar, bahkan seseorang yang mengingkari sebuah kewajiban adalah kafir, tapi Ali tidak akan pernah menolak perintah Allah dan RasulNya, memang tidak ada perintah dan ketentuan tentang 12 Imam.
Kiriman 325
Marlin Tigor menulispada 02 Mei 2009 jam 4:28
@Shalhudin ; Bagus juga anda memakai nahjul balaqhah sebagai rujukan untuk membangun opini kekeliruan syiah. Yang secara garis besarnya adalah

1. Imam Ali Menyetujui musyarawarah dan kepemimpinan abu bakar.
2. Imam keturunan nabi itu mengada ada.

Semua opini terbantah oleh kutbah Imam ALi sendiri di Nahjulbalaghah sebagai berikut :

KHOTBAH 3
Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]

Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.

Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.

Kemudian ia mengutip syair al-'A'sya':

Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)

Sementara ada hari-hari (kemudahan)

Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]

Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan "musyawarah" ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.

Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. " (QS. 28:83)

Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.

Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari 'Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn 'Abbas --semoga Allah meridai keduanya-- berkata, "Ya Amirul Mukminin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya."

Atasnya ia menjawab,

"Wahai Ibn 'Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda."

Ibn 'Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Kiriman 326
Marlin Tigor menulispada 02 Mei 2009 jam 4:35
KHOTBAH 73
Ketika orang memutuskan untuk membaiat kepada 'Utsman, Amirul Mukminin a.s. berkata:

Tentulah Anda telah mengetahui bahwa saya yang paling berhak dari semua orang lain atas kekhalifahan. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim tinggal utuh dan tak ada kelaliman di dalamnya kecuali atas diri saya, saya akan berdiam diri sambil mencari ganjaran untuk itu (dari Allah) dan sambil menjauh dari tarikan-tarikan dan godaan-godaan yang Anda perebutkan.


Kiriman 327
Marlin Tigor menulispada 02 Mei 2009 jam 4:37
KHOTBAH 91
Ketika orang-orang memutuskan untuk membaiat Amirul Mukminin setelah pembunuhan 'Utsman,[1] ia berkata:

Tinggalkan saya dan carilah orang lain. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tak dapat ditahan hati dan tak dapat diterima akal. Awan sedang menggelantung di langit, dan wajah-wajah tak dapat dibedakan. Anda seharusnya tahu bahwa apabila saya menyambut Anda, saya akan raemimpin Anda sebagaimana saya ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan atau dicercakan orang. Apabila Anda meninggalkan saya maka saya sama dengan Anda. Mungkin saya akan mendengarkan dan menaati siapa pun yang Anda jadikan pengurus urusan Anda. Saya lebih baik bagi Anda sebagai penasihat ketimbang seorang kepala.

[1] Setelah pembunuhan 'Utsman, kursi kekhalifahan tertinggal kosong, dan kaum Muslim mulai melihat kepada Ali a.s. yang berperangai damai, kukuh pada prinsip, dan perilakunya telah banyak mereka saksikan selama masa panjang itu. Akibatnya, mereka berduyun-duyun menyerbunya untuk menyampaikan baiat kepadanya seperti musafir tersesat melihat tujuannya. Mereka menyerbu kc arah-nya, sebagaimana dicatat sejarawan Thabari,

"Orang maju berdesakan-desakan kepada Ali seraya mengatakan, 'Kami hendak membaiat kepada Anda dan Anda melihat kekacauan apa yang menimpa Islam dan kita sedang dicoba tentang kerabat Nabi.'" (Tārīkh, I, h. 3066, 3067, 3076)

Tetapi Amirul Mukminin menolak permohonan mereka. Karenanya rakyat berteriak-teriak dengan kacau dan berseru dengan nyaring, "Hai Abu Hasan, apakah Anda tidak menyaksikan kehancuran Islam atau melihat datangnya banjir kerusuhan dan bencana? Apakah Anda tidak takut kepada Allah?" Namun demikian Amirul Mukminin tidak menunjukkan kesediaan untuk menyetujuinya, karena ia melihat bahwa eiek dari suasana yang terjadi setelah wafatnya Nabi telah menguasai hati dan pikiran rakyat; keakuan dan hawa nafsu untuk kekuasaan telah berakar di hati mereka, pikiran mereka telah dipengaruhi materialisme, dan mereka telah terbiasa memperlakukan pemerintah sebagai sarana untuk mendapatkan maksud mereka. Sekarang mereka hendak mematerialkan dan mempermainkan kekhalifahan Ilahi pula. Dalam keadaan itu mustahil mengubah mentalitas atau mengalihkan arah temperamen mereka. Selain dari itu, ia pun melihat bahwa rakyat harus mendapatkan waktu lebih panjang untuk berpikir agar kelak mereka tidak mengatakan bahwa baiat mereka telah diberikan di bawah kebutuhan temporer dan pemikiran sewaktu dan tanpa pemikiran matang, tepat sebagaimana gagasan 'Umar tentang kekhalifahan pertama, yang muncul dalam pernyataannya,

"Kekhalifahan Abu Bakar terjadi tanpa dipikirkan, tetapi Allah menyelamat-kan kita dari bencananya. Apabila seseorang mengulangi hal semacam itu, ia harus dibunuh. (al-Bukhari ash-Shahih, VIII, h. 210-211; Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, I, h. 55; Thabarf, I, h. 1822; Ibn Atsir, II, h. 327; Ibn Hisyam, IV, h. 308-309; Ibn Katsir, V, h. 246)

Singkatnya, ketika desakan mereka meningkat melampaui batas, Amirul Mukminin mengucapkan khotbah ini, di mana ia menjelaskan bahwa "Apabila Anda menghendaki saya demi tujuan-tujuan duniawi Anda, maka saya tidak siap melayani sebagai alat Anda. Tinggalkan saya dan pilihlah seseorang lain yang mungkin memenuhi tujuan Anda. Anda telah melihat kehidupan masa lalu saya bahwa saya tidak bersedia mengikuti apa pun selain Al-Qur'an dan Sunah, dan tidak akan melepaskan prinsip ini untuk mendapatkan kekuasaan. Apabila Anda memilih seseorang lain, saya akan menghormati hukum negara dan konstitusi sebagaimana warga yang suka damai. Tidak pernah saya mencoba memecah kehidupan kolektif kaum Muslim dengan menghasut untuk memberontak. Hal yang sama akan terjadi sekarang. Malah, justru demi memelihara kebaikan bersama, sampai saat ini saya memberikan nasihat yang benar, saya tak akan enggan untuk berbuat sama seperti itu. Apabila Anda biarkan saya dalam kedudukan yang sama, hal itu adalah lebih baik bagi tujuan duniawi Anda, karena dalam hal itu saya tidak memegang kekuasaan untuk menghalangi urusan duniawi Anda dan menciptakan rintangan terhadap keinginan hati Anda. Tetapi, jika Anda telah bertekad untuk membaiat kepada saya, ingatlah bahwa apabila Anda menger-nyitkan dahi atau berbicara menentang saya maka saya akan memaksa Anda me-langkah pada jalan yang benar, dan dalam hal kebenaran saya tidak akan peduli terhadap siapa pun. Apabila Anda hendak membaiat walaupun dengan ketentuan ini, Anda boleh memuaskan kehendak Anda."

Kesan yang telah dibentuk oleh Amirul Mukminin tentang orang-orang ini sesuai sepenuhnya dengan kejadian-kejadian di kemudian hari. Ketika orang-orang yang telah membaiat dengan motif-motif duniawi tidak berhasil dalam tujuannya, mereka kemudian membelot dan bangkit melawan pemerintahannya dengan tuduhan-tuduhan palsu.
Kiriman 328
Marlin Tigor menulispada 02 Mei 2009 jam 4:44
KHOTBAH119
Tentang Kebesaran Ahlulbait dan Pentingnya Syariat Islam

Demi Allah, saya mempunyai pengetahuan tentang penyampaian pesan, pemenuhan janji dan tentang seluruh ungkapan. Kami Ahlulbait mempunyai pintu-pintu kebijaksanaan dan cahaya pimpinan. Ingatlah bahwa jalan-jalan agama adalah satu, dan jalan-jalannya lurus. Orang yang mengikutinya mencapai dan mendapatkan (tujuan). Orang yang menjauh darinya tersesat dan mendapat penyesalan.

Beramallah demi hari yang untuk itu perbekalan disimpan, dan ketika niat-niat akan diuji. Apabila pikiran seseorang yang ada padanya sendiri tidak menolongnya, kecerdasan (orang lain) yang jauh darinya lebih tak bermanfaat. Takutilah api yang nyalanya keras, yang rongganya dalam, yang busananya besi dan minumannya nanah berdarah. Hati-hatilah! Nama baik[1] seseorang yang dipelihara oleh Allah Yang Mahamulia di antara manusia adalah lebih baik daripada kekayaan yang diwariskan oleh orang-orang yang tidak akan memujinya.

[1] Apabila seseorang menafkahkan sesuatu dalam masa hidupnya maka orang yang menerimanya akan merasa wajib (berterima kasih) kepadanya. Tetapi, apabila kekayaan diambil dengan kekerasan maka yang mengambilnya tidak merasa berkewajiban kepadanya, tidak pula ia akan memujinya. Demikian pula halnya dengan orang yang mati. Penggantinya berpikir bahwa segala yang telah ditinggalkannya adalah hak mereka, dan mereka harus menerimanya. Dalam hal ini tak ada kewajiban darinya untuk diakui. Tetapi, apabila ia telah melakukan suatu kebaikan dengan kekayaan itu, namanya akan tertinggal dan orang pun akan memujinya. Sebuah syair Parsi mengatakan:

Berbahagialah orang yang diingat baik setelah ia pergi,

karena tak ada selain nama yang tertinggal setelah mati.


KHOTBAH 237
Amirul Mukminin Menggambarkan Para Anggota Keluarga Nabi

Mereka adalah kehidupan bagi pengetahuan dan kematian bagi kejahilan. Kesabaran mereka mengatakan kepada Anda tentang pengetahuan mereka, dan diamnya mereka (menceritakan kepada Anda) tentang kebijaksanaan pembicaraan mereka. Mereka tidak melawan kebenaran dan tidak pula berselisih (di antara sesamanya) tentang hal itu. Mereka adalah tiang-tiang Islam dan tempat perlindunganfnya). Bersama mereka kebenaran telah kembali kepada kedudukannya dan kebatilan telah meninggalkan tempatnya dan lidahnya terputus dari akarnya. Mereka memahami agama secara cermat dan teliti, bukan hanya melalui hujatan atau para periwayat, karena periwayat pengetahuan ada banyak tetapi yang memahaminya sedikit.
Kiriman 329
Marlin Tigor menulispada 02 Mei 2009 jam 5:07
Shalahudin telah memposting :
Ali juga berkata: “ aku telah dibaiat oleh orang yang membaiat Abubakar, Umar dan Utsman, yang hadir pada saat musyawarah tidak boleh memilih dan yang tidak hadir tidak boleh menolak” Nahjul Balaghah hal 366. sebagai bukti Ali menyetujui musyarah.

Sesungguh itu adalah penggalan dari surat Imam Ali untuk menolak dan mendebat muawiyah. Selengkapnya isi surat itu adalah

Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepada Abu Bakar, Umar ` dan Utsman telah pula berbaiat kepadaku dengan prinsip dasar yang sama sebagaimana halnya prinsip yang orang-orang gunakan pada mereka. Dengan dasar ini, orang yang hadir tidak memiliki pilihan lain untuk mempertimbangkan kembali, dan orang yang tidak hadir tidak berhak untuk menolak. Perundingan dilakukan kaum Anshar dan Muhajirin. Jika mereka sepakat secara individual dan mengangkatnya sebagai pemimpin, hal. ini dianggap kehendak Allah. Apabila ada seseorang yang menentang keputt.isan tersebut karena ada pembaharuan, mereka biasanya akan mengembalikan ia dari yang telah ia jauhi dan jika ia menentang (ketentuan tersebut) mereka (biasanya) memeranginya karena mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, dan Allah akan mengembalikannya dari tempat ia melarikan diri.

Hai, Muawiyah, jika engkau menggunakan akalmu tanpa niat dan maksud tertentu, engkau akan mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling tidak bersalah dari semua orang dalam tertumpahnya darah Usman, dan engkau tentu akan tahu bahwa aku terlepas darinya, kecuali jika engkau menyembunyikan suatu yang sesungguhnya jelas bagimu dan menumpahkan semua kesalahan ini kepadaku.

Dalam isi suratnya di atas jelasnya Imam Ali berkata demikian bukan menyetujui musyawarah atas kekhalifaan tetapi sanggahan kepada Muawiyah.

Surat ini begitu jelas menunjukkan
Kiriman 330
Abdul Malik Karim menulispada 03 Mei 2009 jam 10:27
sudah beberapa hari saya sengaja tidak posting di sini, karena saya menunggu teman-teman syiah menjawab

seperti baqar, m shadiq dan alfian, ternyata mereka diam saja

@tigor, syamsuri rifai,m shadiq

coba anda bantuin baqar menjawab pertanyaan saya:

@baqir anwar

anda lebih cocok dengan nama BAQAR daripada baqir

anda bilang:

Anda ini benar bodohnya minta ampun.. sudah saya jelaskan semua bahwa satutus riwayat itu shahih sesuai dgn kriteria ahli hadis ulama ahlussunna, dan dicatat didalam kitab2 ulama ahlussunna.. Anda tidak baca tapi berkomentar...

saya cuma tanya, di kitab mana, apakah sanadnya shahih atau tidak, jadi tidak asal contek.

anda bisa jawab g?

kitab-kitab sunni: kita apa saja?

ulama sunni mana yang menshahihkan?
Kiriman 331
Ima Banun membalas kiriman Umarpada 03 Mei 2009 jam 12:13
umar...umar .... anda muslim bukan sih ? apa antum tidak pernah sekolah ya....? jawaban antum menunjukkan betapa bodohnya antum, mungkin antum termasuk dalam kelompok jahil murokab...naudzubillah min dzalik... mana ada suatu hukum ditentukan berdasarkan apakah kita suka atau tidak ? apakah kita pernah melakukan apa tidak ? itu hukum siapa ? begitu banyak makanan yg Allah halalkan tapi tidak semua kita suka ...apakah lalu menjadi harom ?
Jika Ayu pertiwi menolak untuk antum lamar bukan karena ayu menolak sahya nikah tapi karna antum orang yg tidak berakhlak...

Kiriman 332
Shalahuddin Al Ayyubi menulispada 04 Mei 2009 jam 23:47
Assalaamu'alaikum W W


Sebenarnya, mengenai "Nahjul Balaqhah", sayangnya dikenal tak cukup memiliki sanad yang jelas. Pemakaian cuplikannya di sini, jikalau ada, serba sedikit, adalah untuk meminjam literatur yang diyakini kaum Syi'ah, dan memaksudkan pengaruh psikologisnya, seraya tetap menghormati dan menunjukkan jalan pikiran dan akidah saudara Syi'ah (selain sekte yang ekstrem seperti menuhankan Ali, menabikan Ali, dan sebagainya, masih saya anggap saudara saya) serta pula beragam kontradiksinya.

Lalu maaf, saya baru ingat, ada yang bertanya kepada saya (maaf saya lupa siapa, jika tak salah, pak Baqir Anwar), tentang apakah Hadits dapat membatalkan Alquran.

Jawaban saya, dalam hal ini, tidak perlu dipertentangkan.

Mengapa?

Karena ayatnya memang tidak bertentangan dengan Hadits yang dimaksudkan.

Penjelasan mengenai maksud ayat itu, dapat diikuti pada penjelasan saudara Ali Reza (yang setelah saya berhubungan dengannya, ternyata memang termasuk Ahlul Bait murni tanpa perdebatan dengan nasab yang bahkan terpampang di Internet, bukan Habib yang nasabnya masih dapat diperdebatkan nasabnya menurut beberapa kalangan, namun juga ternyata tetap tak mau berakidah Syi'ah, dan adalah seorang Ustadz yang kaya buku serta pengetahuan dan paham banyak hal).


Lalu, saat ini saya juga sepakat dengan saudara Malik Abdul Karim, yaitu menunggu tanggapan mengenai Hadits Shahih mengenai Mut'ah itu, yang sampai saat ini memang menurut hemat saya, belum juga ditanggapi dan bahkan ditampilkan dengan cukup jujur, kiranya.


Dan sekedar mengingatkan, di antara faktor rumitnya memahami maksud sesungguhnya dari Alquran yang luar-biasa itu, adalah bahwa setidaknya saja para penerjemah atau mufassir (penafsir), memiliki pengetahuan di bawah ini:

1. Ilmu Lugath (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa), yaitu ilmu tata bahasa, misalnya mengetahui alternatif i’rab (bacaan akhir kata) dari setiap kata atau kalimat, karena i’rab yang berbeda akan mempengaruhi artinya
3. Ilmu Sharf (perubahan bentuk kata). Sangat pentinglah mengetahui ini, karena perubahan sedikit bentuk kata akan mengubah arti kata tersebut.
4. Ketiga ilmu di bawah ini digolongkan cabang ilmu Balaghah yang sangat penting diketahui para ahli tafsir:
a. Ilmu Ma’ani (hakikat makna dari suatu kata). Dengan mengetahui hakikat maknanya, maksud dari suatu ayat dapat diketahui.
b. Ilmu Bayaan. Ilmu yang mempelajari kelugasan dalam untaian kata atau kalimat.
c. Ilmu Badi’. Ilmu yang mempelajari keindahan bahasa.
5. Ilmu Qira’at. Sebagaimana diketahui, Alquran diturunkan oleh Allah dalam tujuh huruf (sab’ati Ahruf). Para ulama menguraikan, bahwa hal ini adalah keragaman cara baca Alquran yang semuanya bersumber dari Nabi –saw-. Setiap cara baca ini, satu dan lainnya saling melengkapi. Dan ini merupakan mukjizat tersendiri dari Alquran.
6. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang mempelajari dasar-dasar keimanan.
7. Ilmu Ushul Fiqih. Dengan ilmu ini dapat diambil dalil serta penggalian hukum dari suatu ayat.
8. Ilmu Asbabun-Nuzul. Ilmu untuk menguraikan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat. Pengetahuan tentang asbabun-nuzul suatu ayat akan sangat membantu dalam memahami kandungan dan maksud dari ayat tersebut.
9. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih berlaku.
10. Ilmu Fiqih. Dengan mengetahui hukum-hukum yang rinci akan mudah diketahui hukum globalnya.
11. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui Hadits-hadits yang menafsirkan aayat-ayat Alquran.
12. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan Allah SWT kepada hambanya yang istimewa.


Dan dalam hal ini, Alquran yang dipakai, tentunya adalah Alquran (juga disebut sebagai 'Alquran Mushaf Utsman'), bukan apapun yang diklaim sebagai Alquran, misalnya Mushaf Fathimiyah yang desas-desusnya berjumlah 17.000 ayat itu.

Alquran, yang memang Al Quran dan Al Furqan itu, juga memiliki keistimewaan, memiliki aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya. Setidaknya aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya.

Dalam hal ini, Abdurrazaq Nafwal dalam buku/kitab ”Al-I’jaz Al-Adabiy li Al Qur’an Al Karim” yang terdiri dari 3 jilid (terlepas dari berbagai pendapat pro dan kontra atau skeptis tentang isinya dan kemungkinan ketidaksempurnaan manusia penulisnya) mengemukakan berbagai contoh tentang keseimbangan ini. Ringkasannya adalah:

1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan katanya)

-”Al Hayah” (hidup) dan ”Al Mawt” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali

-”Al Naf’” (manfaat) dan ”Al Madharrah” (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali

-”Al Har” (panas) dan ”Al Bard” (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali

-”Al Shalihat” (kebajikan) dan ”Al Sayyi’at” (keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali

-”Al Thuma’ninah” (kelapangan/ketenangan) dan ”Al Dhiq” (kesempitan/kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali

-”Al Rahbah” (cemas/takut) dan ”Al Raghbah” (harap/ingin) masing-masing sebanyak 8 kali

-”Al Kufr” (kekufuran) dan ”Al Iman” (iman) masing-masing sebanyak 17 kali dalam bentuk definite

-”Kufr” (kekufuran) dan ”Iman” (iman) masing-masing sebanyak 8 kali dalam bentuk indefinite

-”Al Shayf” (musim panas) dan ”Al Syita’” (musim dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.



2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya

-”Al Harts” dan ”Al Zira’ah” (membajak/bertani) masing-masing sebanyak 14 kali

-”Al ’Ushb” dan ”Al Dhurur” (membanggakan diri/angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali

-”Al Dhallun” dan ”Al Mawta” (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing sebanyak 17 kali

-”Al Qur’an”, ”Al Wahyu”, dan ”Al Islam” (Al Qur’an, wahyu, dan Islam) masing-masing sebanyak 70 kali

-”Al ’Aql” dan ”Al Nur” (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali

-”Al Jahr” dan ”Al ’Alaniyah” (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali



3. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya

-”Al Infaq” (infak) dan ”Al Ridha” (kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali

-”Al Bukhl” (kekikiran) dan ”Al Hasarah” (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali

-”Al Kafiruun” (orang-orang kafir) dan ”Al Naar/Al Ahraq” (neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali

-”Al Zakah” (zakat/penyucian) dan ”Al Barakat” (kebajikan yang banyak) masing-masing sebanyak 32 kali

-”Al Fahisyah” (kekejian) dengan ”Al Ghadhb” (murka) masing-masing sebanyak 26 kali



4. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya

-”Al Israf” (pemborosan) dan ”Al Sur’ah” (ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali

-”Al Maw’izhah” (nasihat/petuah) dan ”Al Lisan” (lidah) masing-masing sebanyak 25 kali

-”Al Asra” (tawanan) dan ”Al Harb” (perang) masing-masing sebanyak 6 kali

-”Al Salam” (kedamaian) dan ”Al Thayyibat” (kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali



5. Berbagai keseimbangan khusus

Kata ”Yawm” (hari) dalam bentuk tunggal, adalah sejumlah 365 kali (atau adalah sama dengan jumlah hari-hari dalam satu tahun) di dalam Al Qur'an.

Sedangkan kata ”hari” yang menunjuk kepada betuk plural (”Ayyam”) atau dua (”Yawmayni”), jumlah keseluruhannya dalam Al Qur’an adalah hanyalah 30 kali penyebutan, atau dalam hal ini adalah juga sama dengan jumlah hari dalam satu Bulan dengan mengikuti kaidah Kalender Qamariyah atau penanggalan sistem Bulan, sistem Islam/Arab.

Lalu, kata yang berarti ”Bulan” (”Syahr”) hanya terdapat 12 kali, atau sama dengan jumlah bilangan Bulan dalam satu tahun (12 Bulan) rotasi.

Ada 7 kali penjelasan tentang adanya 7 langit, yaitu antara lain dalam QS Al Baqarah ayat 29, QS Al Isra’ ayat 44, QS Al Mu’minuun ayat 86, QS Al Fushshilat ayat 12, QS At Thalaq ayat 12, QS Al Mulk ayat 3, QS Nuh ayat 15.

Selain itu, penjelasan tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam (6) hari/masa/tahapan, disebutkan di dalam 7 ayat pula (dan tahapan terbentuknya sebuah galaksi-planet dalam enam (6) tahapan yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun ini, telah pula dibuktikan oleh ilmu-pengetahuan saat ini, bahwa memanglah secara umum pembentukan galaki adalah dalam enam (6) tahapan, bahkan saat inipun masih terbentuk Galaksi-galaksi baru, yang masing-masing dalam (melalui) enam (6) tahapan, dalam ruang angkasa yang bahkan memuai/meluas ini.

Angka 7 sendiri banyak sekali ditemukan di alam semesta, di Al Qur'an & di Hadits Nabi Muhammad bin Abdullah SAW. Bahkan pengulangan dari angka ini dalam Al Qur'an juga memunculkan sebuah sistem yang koheren. Beberapa fenomena angka 7 tersebut adalah, antara lain:
1. Merupakan jumlah dari tingkatan langit & bumi (QS:65;12).
2. Atom tersusun dari 7 tingkatan elektron.
3. Jumlah hari dalam satu minggu.
4. Jenis atau jumlah tanda (not dasar) musik.
5. jenis atau jumlah warna-warni pelangi.
6. Jenis dosa besar (HR Al-Bukhari & Muslim).
7. Tanda bagi siksaan pada Hari Kiamat.
8. Jumlah ayat dalam Surah Al Fatihah ("Tujuh ayat yang diulang-ulang").
9. Muslim bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan dalam Shalat.
10. Muslim melakukan Thawaf sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
11. Muslim melakukan Sa'i antara Shafa & Marwah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
12. Melempar jumrah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
13. Dalam kisah Nabi Yusuf (Josef) AS banyak menyebut angka 7 (QS:12; 46-48).
14. Kisah siksaan kaum Nabi Hud (Hood) AS ditimpa angin topan selama 7 malam (QS:69;6-7).
15. Kisah Nabi Musa (Moses) AS memilih 70 orang dari kaumnya untuk bertobat (QS:17;155).
16. Kata Kiamat disebut dalam Alquran sebanyak 70 kali.
17. Kata "Jahannam" (Neraka) disebut dalam Alquran sebanyak 77 kali.
18. Jumlah pintu-pintu "Jahanam" adalah 7 (QS:15;44).
19. Terdapat 7 surah yang diawali dengan kalimat tasbih.

Sebagai catatan pula, kata ”tujuh” (7) dalam Bahasa Arab juga dapat berarti ”banyak”, karena khazanah berpikir dan kebiasaan orang Arab lama/kuno (misalnya, orang-orang Arab di masa-masa itu saat diturunkannya Al Qur'an) yang menghitung jumlah tujuh (7) atau selebihnya, sebagai angka perlambang yang menunjukkan jumlah banyak atau bahkan tak terhitung (tak dapat dihitung) lagi (oleh mereka). Maka, sejumlah mufassir/penafsir Al Qur’an dan/atau ahli ilmu pengetahuan pun berspekulasi tentang telah disebutkannya tentang berbagai kenyataan akan adanya tak terhitung planet dan galaksi di luar bumi dalam Al Qur’an, dan bahkan kemungkinan adanya makhluk-makluk lain di alam semesta di luar Bumi dan sistem Solar (matahari) kita ini.

Selain ini, berkaitan dengan dunia angka dan huruf (atau kata), juga ditemui distribusi Matematika di Al Qur'an, khususnya mengenai bilangan-bilangan prima dan beragam hubungan luasnya, dan banyak sekali misteri dan fenomena angka juga kata di Al Qur'an lainnya, di balik susunan, makna,dan kemungkinan-kemungkinannya dan tata bahasa Arab sendiri (dan Bahasa Sastra Arab yang digunakan di Al Qur'an) yang memang sudah luar-biasa itu.


Akhirul kalam, semoga Allah SWT menambahkan taufiq dan hidayah kepada semua pihak, juga kepada diri saya sendiri, tentunya.

Barakallahu fii kum.


Wassalaamu'alaikum W W.



Kiriman 333
Arsyul Munir menulispada 07 Mei 2009 jam 5:36
Salam

soal nikah mut'ah ini saya pikir bisa multi tafsir. sebab mut'ah, pernah dihalalkan karena sesuatu. lalu pernah satu saat, diharamkan karena sesuatu. kemudian dihalalkan lagi karena sesuatu. lalu diharamkan lagi karena sesuatu.

persis hukum menggauli hamba sahaya dalam Al Quran. boleh jadi, suatu saat, itu pun harus dilegalkan kembali. sekalipun pada sisi pandangan yang paling kontemporer, bersinggungan dengan hak asasi manusia yg paling esensial, katanya. tapi ini soal kontekstualisasi hukum & fatwa. jelasna sangat terkait erat dengan beberapa kondisi individuil yang sama sekali tak bisa dijadikan landasan hukum umum.

soal nikah itu ibadah udah jelas. karenanya, asal dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kategori ini adalah terlarang. sampai ada beberapa alasan rasional yang mendasari keputusan terbalik, maka itu adalah satu pengecualian. sekali lagi, itu hanya akan berarti sebentuk keringanan yang diambil atas dasar kebijakan eksepsional yg sangat manusiawi belaka.

fakta pun bicara demikian. mut'ah, pernah kah rasul melegalkanna secara mutlak-mutlakan? kecuali dalam kondisi peperangan yg sangat gawat, barulah mut'ah dianjurkan (dibolehkan u/semua prajurit kah?—sayapun kurang paham). yang penting, ada fakta bahwa setelah perang selsei, pernah pula rasul meniadakan praktek kawin mut'ah. tentuna dengan alasanna yang tepat. lalu terulang seperti itu sampai jaman Umar, dimana Umar mengambil kebijakan putus u/meniadakan praktek kawin mut'ah ini selamana. anggap aja, seolah2 seperti itu. tapi benarkah?

ini lah yg harus dipahami?! bukan hanya mut'ah yg Umar pernah larang. praktek potong tangan pun pernah di"labrak"na. pdhl secara komposisi teks lbh kuat posisina ketimbang teks kawin mut'ah. bagian u/kaum muallaf yg jelas2 fixed di dalam al Quran juga pernah ikut kena batuna Umar. ada apa kah? sekali lagi, inilah bagian terindah dari elastisitas fiqh Islam bagi saya. kontekstualisasi hukum & fatwa selalu menjadi bagian paling menarik dari kaidah2 ushul fiqh yg ada.

jadi mut'ah boleh kah? atau, halal kah? tergantung. menurut Imamiyah boleh. u/yg blm tau, bahwa hanya satu sekte Islam itu yg membolehkan kawin mut'ah secara legal & mutlak. sekte lain dr Syi'ah, tak satupun dr mereka yang melegalkan kawin mut'ah. fakta Zaidiah & Ismailiyah dalam beberapa literatur fiqh klasik & kontemporerna hampir persis sama dengan kaum Sunni yang Wahabi ataupun Asy'ary. termasuk aliran 4 fiqh na yg terkenal. lalu kawin mut'ah sbg solusi lokalisasi zina? ini bukan lagi wilayah kajian teologis sy pikir. harus ada kajian & input data2 dr lapangan yang memberatkan bahwa benar, kawin mut'ah bisa dijadikan solusi. lebih kepada kajian humaniora yg lbh aplikatif dengan sedikit legislasi dari acuan sya'riah Islam. jika benar, knp tidak? lalu jika tak tepat, maka jelasna harus ditolak & dicarikan penggantina scara lebih rasional.

jadi kawin mut'ah; "boleh" juga sy rasa2 _*

piss,

salam ala man ittaba millata Ibrahim hanifa,
::DenA Zaidyan::
Kiriman dihapus pada 07 Mei 2009 tanggal 3:56
Kiriman 335
1 balasan
Abdul Malik Karim menulispada 12 Mei 2009 jam 13:37
Maap beberapa hari ini saya tidak bisa mengakses internet setiap hari, jadi lambat dalam menjawab.

Saya sengaja menunda jawaban saya, untuk memberi kesempatan pada teman-teman khususnya m sodiq dan BAQAR anwar [saya sebut dengan BAQAR karena dia lebih cocok dengan nama itu] untuk mebuka sendiri literatur asli yang dijadikan rujukan oleh mereka. karena terbukti dari diskusi-diskusi yang temen-temen syiah hanya mempeaste dari sumber yang tidak jelas, dan sayangnya tidak menyertakan sumber itu, jadi seakan-akan itu adalah tulisannya sendiri padahal bukan.

Juga pertanyaan saya terhadap BAQAR sampai saat ini belum terjawab.

M sodiq dan BAQAR dan lainnya, menukil dalil-dalil tentang bolehnya mut’ah, dan saya saat itu mengatakan ada dalil yagn tidak disertakan alias disembunyikan.
Kemudian saya bertanya pada BAQAR

Dalil-dalil yang dikemukakan temen-temen syiah adalah pernyataan sahabat Nabi tentang bolehnay nikah mut’ah, juga satu riwayat dari tafsir thabari tentang ucapan Ali: jika tidak karena lUmar maka tidak ada orang berzina kecuali celaka.

Saya minta pada BAQAR untuk memberikan sumber dari riwayat itu, dan ulama sunni mana yang menshahihkan.

Sampai saat ini dia tidak berani menjawab, hanya menjawab riwayat itu ada di banyak kitab sunni, dan dishahihkan oleh ulama mereka sunni,
Saya bertanya dari dulu sampai hari ini tidak ada jawaban.

Ternyata jika kita lihat lagi di tafsir thabari nampak jelas sanad riwayat itu, berasal dari Hakam bin Utaibah, yang mengatakan: Ali berkata.
Dan setlah kita lihat lebih jauh lagi ke kitab biorafi rawi nampak jelas Hakam bin Utaibah tidak pernah bertemu Ali, karena Hakam lahir setelah Ali wafat. Jadi riwayat itu sanadnya terputus. Dalam Tahdzibut Tahdzib tercantum biografi Hakam bin Utaibah, disebutkan Hakam lahir tahun 47 H atau 50 H. sedangkan Ali sendiri wafat tahun 40 H.
Namun selama sesuai dengan pendapat syi’ah segala macam dalil boleh digunakan.
Sayangnya riwayat ini dibanggakan dan dijadikan dalil utama oleh temen-temen syiah yang hanya bertaklid buta pada sumber-sumber yang tidak jelas.

Artinya bisa dikatakan temen-temen syiah di sini adalah korban penipuan.

Satu lagi, m sodiq dan BAQAR memberikan dalil dari shahih muslim tentang sahabat-sahabat Nabi yang membolhekan mut’ah. Tetapi ternyata di shahih muslim sendiri ada penjelasan dari Ali tentang muta’h, namun sengaja disembunyikan oleh syi’ah.
Pertanyaannya, mengapa keterangan dari sahabat-sahabat Nabi yang dianggap syiah sebagai pengkhianat karena tidak mau berbaiat pada Ali, dan meninggalkan riwayat Ali sendiri?

Padahal kita ketahui temen-temen syiah menganggap ali adalah imam yang harus ditaati, tapi megnapa di sini penjelasan dari Ali sengaja disembunyikan dari khalayak, atau memagn temen-temen syiah adalah korban penipuan? Kita lihat di semua penjelasan tentang mut’ah tidak ada yang menyertakan pendapat Ali, kecuali dari sanad yang putus di atas.

3476 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِىُّ حَدَّثَنَا أَبِى وَوَكِيعٌ وَابْنُ بِشْرٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلاَ نَسْتَخْصِى فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إِلَى أَجَلٍ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللَّهِ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ).

Dari Abdullah bin Mas’ud : kami berpernag bersama Rasulullah dan kami tidak membawa istri, lalu kami bertanya: apakah kami harus mengebiri lalu Rasulullah melarangnya lalu mengijinkan kami untuk nikah mut’ah dengan baju sampai waktu tertentu, lalu Abdullah membaca ayat....
Dalam riwayat ini jelas nikah mut’ah diijinkan oleh Rasulullah pada waktu peperangan. Sedangkan syi’ah hari ini menerapkan dalam setiap kondisi, dan perlu anda tahu syi’ah hari ini tidak sedang berperang.


Mari kita simak riwayat itu

3495 - عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ قَامَ بِمَكَّةَ فَقَالَ إِنَّ نَاسًا - أَعْمَى اللَّهُ قُلُوبَهُمْ كَمَا أَعْمَى أَبْصَارَهُمْ - يُفْتُونَ بِالْمُتْعَةِ - يُعَرِّضُ بِرَجُلٍ - فَنَادَاهُ فَقَالَ إِنَّكَ لَجِلْفٌ جَافٍ فَلَعَمْرِى لَقَدْ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُفْعَلُ عَلَى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ - يُرِيدُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- - فَقَالَ لَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ فَجَرِّبْ بِنَفْسِكَ فَوَاللَّهِ لَئِنْ فَعَلْتَهَا لأَرْجُمَنَّكَ بِأَحْجَارِكَ.
Dari Urwah bin Zubair, bahwa Abdullah bin Zubair berkhotbah di mekkah dan berkata: sesungguhnya orang yang hatinya buta seperti matanya yang buta memfatwakan bolehnya nikah mut’ah – menyindir seseorang- lalu orang itu memanggilnya dan berkata: engkau adalah seorang yang kasar, nikah mut’ah pernah dilkaukan di zaman imam orang bertaqwa –zaman Nabi- lalu Ibnu Zubair berkata, coba lakukan, demi ALlah, jika engkau melakukannya aku akan merajammu dengan batumu sendiri.

قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِى خَالِدُ بْنُ الْمُهَاجِرِ بْنِ سَيْفِ اللَّهِ أَنَّهُ بَيْنَا هُوَ جَالِسٌ عِنْدَ رَجُلٍ جَاءَهُ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَاهُ فِى الْمُتْعَةِ فَأَمَرَهُ بِهَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ أَبِى عَمْرَةَ الأَنْصَارِىُّ مَهْلاً. قَالَ مَا هِىَ وَاللَّهِ لَقَدْ فُعِلَتْ فِى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ. قَالَ ابْنُ أَبِى عَمْرَةَ إِنَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً فِى أَوَّلِ الإِسْلاَمِ لِمَنِ اضْطُرَّ إِلَيْهَا كَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ ثُمَّ أَحْكَمَ اللَّهُ الدِّينَ وَنَهَى عَنْهَا. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِى رَبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ أَنَّ أَبَاهُ قَالَ قَدْ كُنْتُ اسْتَمْتَعْتُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- امْرَأَةً مِنْ بَنِى عَامِرٍ بِبُرْدَيْنِ أَحْمَرَيْنِ ثُمَّ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمُتْعَةِ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَسَمِعْتُ رَبِيعَ بْنَ سَبْرَةَ يُحَدِّثُ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَنَا جَالِسٌ.

Ibnu Syihab mengatakan : Khalid bin Muhajir bin Saifullah mengatakan padaku, bahwa suatu hari dia sedang duduk bersama seseorang, lalu ada orang datang bertanya tentang mut’ah, lalu dia membolehkannya, lalu Ibnu Abi Amrah Al Anshari mengatakan : tunggu dulu, lalu orang itu berkata : demi Allah hal itu pernah dilakukan di jaman imam orang bertaqwa [Rasulullah] lalu Ibnu Abi Amrah mengatakan: dulu dibolehkan di permulaan Islam bagi yang terdesak melakukannya seperti makan bangkai dan daging babi, lalu Allah menyempurnakan agama dan melarangnya.

Ibnu Syihab mengatakan: Rabi’ bin Saburah Al Juhani menceritakan bahwa ayahnya berkata: aku pernah nikah mut’ah pada jaman Nabi dengan perempuan bani Amir dengan [bayaran] dua potong sorban merah lalu Rasulullah melarang kami melakukan nikah mut’ah. Ibnu Syihab berkata: aku mendengar Rabi’ bin Saburah menceritakan hal itu pada Umar bin Abdul Aziz sedangkan saya berada di tempat itu.


3497 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dari Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi melarang nikah mut’ah pada hari Khaibar dan makan daging keledai jinak.

3499 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ - قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ - عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.

Dari Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi melarang nikah mut’ah pada hari Khaibar dan makan daging keledai jinak.
3500 - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ مَهْلاً يَا ابْنَ عَبَّاسٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.

Dari Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dia mendengar Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah, lalu Ali berkata: tunggu dulu wahai Ibnu Abbas karena Rasulullah melarangnya pada hari Khaibar dan melarang makan daging keledai jinak.

3498 - وَحَدَّثَنَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِىُّ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَقَالَ سَمِعَ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ يَقُولُ لِفُلاَنٍ إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. بِمِثْلِ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ.
Dari Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib mengatakan pada fulan : engkau adalah orang bingung, Rasulullah melarang kami melakukan nikah mut’ah di perang khaibar dan makan daging keledai jinak.

Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah, sedangkan Ali melarangnya. Ketika Ali menegurnya langsung Ibnu Abbas merubah pendapatnya dan mengikuti Ali.

Empat hadits sekaligus dari Ali yang menyatakan haramnya nikah mut’ah. Di sini tidak mungkin Ali bertaqiyah, karena bertaqiyah dalam hadits ini artinya Ali berdusta atas nama Nabi, dengan mengatakan Nabi melarang padahal tidak. Ini satu bentuk kedustaan, sedangkan Ali adalah maksum dan tidak mungkin berdusta atas nama Nabi. Jika berdusta dengan sesama manusia dalam urusan manusia pun tidak mungkin apalagi berdusta urusan yang besar, yaitu urusan halal dan haram yang menyangkut agama dan terkait sorga dan neraka.

Pahaala dan dosa. Ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh Ali.

Nah sekarang anda mau ikut siapa? Mengapa syi’ah tidak mau ikut perkataan Ali? mengapa mereka diam saja dan tidak berani menukil pernyataan Ali dari shahih Muslim?

Yang menjadi pertanda ketidakjujuran syia’h di sini, hadits dari Ali di atas hanya selang beberapa baris dari hadits yang membolehkan mut’ah. tetapi karena fanatisme buta akhirnya mereka tidak mau menukil dan membacanya, walaupun itu dari imam mereka yaitu Ali bin Abi Thalib. Ketika pendapat ustadz dan ulama menyelisihi pendapat Ali maka pendapat Ali dibuang jauh-jauh.

Akhirnya kita bertanya, siapa yang mengikuti Ali dalam hal ini? Yang jelas Ahlussunnah mengikuti Ali, semengtara syi’ah tidak mau mengikuti pendapat Ali, dan bersikeras bahwa yang mealarang nikah mut’ah adalah Umar. Sedangkan sekarang terbukti bahwa Umar mengikuti pendapat Ali yang lmenyampaikan hadtidts Nabi. berarti Umar mengikuti Ahlulbait, dan syi’ah mengikuti siapa entahentah siapa saya juga tidak tahu.

Sekarang kita dengar komentar temen-temen di sini yang menyatakan pendapat haramnya mut’ah adalha pendapat mayoritas yang biasaya tidak berakal, tidak berilmu, dan tidak mengikuti kebenaran.
Apakah sekarnag merka
Dan terbukti bahwa Ali mengikuti pendapat mayoritas, apakah Ali tidak mengikuti kebenaran karena tidak bersama mkaum minoritas?

Masalah ayat-ayat Al Qur’an yangdisangka membolehkan mut’ah, tentunya Ali lebih memahami Al Qur’an dari kita-kita sekarang ini, karena Al Qur’an dan Ahlulbait”tidak akan berpisah sampai keduanya bertemu di haudh nanti” seperti yang sering kita dengar.
Juga Ali adalah orang yang dididik langsung oleh Nabi selama bertahun-tahun, hingga sudah pasti mempelajari Al Qur’an dengan baik dari Nabi. Bukankah begitu?

Sekarang jelas sudah bukti-bukti, siapa yang mau mengikuti Ali maka dia akan beruntung, siapa yang menentang Ali? syi'ah pasti tahu apa akibat menentang imam maksum.


Kiriman 336
Shalahuddin Al Ayyubi membalas kiriman Abdul Malikpada 12 Mei 2009 jam 23:03
Assalaamu'alaikum W W


Shadaqtum, akhi Abdul Malik Karim. Allah yubarik fik. :-)


Dan memang, karena saya sangat cinta kepada Ahlul Bait, termasuk kepada Ali bin Abi Thalib RA, yang kecintaan kepada mereka adalah bagian dari akidah muslim, maka dengan sendirinya saya adalah Syi'ah dari Ali RA, dan karenanya pula, akidah saya tentu saja adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

Semoga Allah SWT meridhai Ali bin Abi Thalib RA yang bahkan anaknya ada yang diberi nama Abubakar, Umar dan Utsman, nama-nama para Khalifah, Khulafahur Rasyidiin pendahulu Ali bin Abi Thalib RA yang adalah sahabat-sabahat Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib RA yang bahkan telah pula menjadi keluarga mereka, yang namun menurut Syi'ah adalah musuh dalam selimut Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib RA, perampas hak kekhalifahan Ali RA!


Dan karenanya pula, selain karena telah diseleksi para Ahli Hadits (Shahih Muslim), saya pun sungguh mempercayai Hadits ini:


Hadis riwayat Ali bin Abi Thalib RA.:

Ibnu Abbas ra. berkata:

Jasad Umar bin Khathab ra. dibaringkan di atas tempat tidurnya kemudian orang-orang mengerumuninya, mereka mendoakan, memuji dan menyalatkan sebelum diangkat (ke kuburnya) dan aku berada di antara mereka.

Kemudian dia melanjutkan: Tidak ada yang menarik perhatianku kecuali dengan seorang lelaki yang menarik pundakku dari belakang, maka aku pun menoleh ke arahnya, ternyata dia adalah Ali yang turut berduka cita atas meninggalnya Umar.

Kemudian dia berkata: Tidak ada orang yang lebih aku sukai ketika berjumpa dengan Allah dengan seperti amal perbuatannya daripada engkau, mudah-mudahan Allah menempatkanmu bersama dua orang sahabatmu. Dalam hal ini aku sering mendengar Rasulullah saw. bersabda: Saya datang bersama Abu Bakar dan Umar. Aku masuk surga bersama Abu Bakar dan Umar. Dan aku pun keluar bersama Abu Bakar dan Umar. Sungguh aku berharap semoga Allah berkenan mempertemukanmu dengan mereka. (Shahih Muslim No.4402)


Subhanallah wabihamdihi.

Shadaqallahul azhiim.


W W W

Kiriman 337
Nor Azlan Nordin menulispada 17 Mei 2009 jam 12:22
"Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan)".

Surah Al Ahzab ayat 32



"Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah zaman dahulu; dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara yang mencemarkan diri kamu - wahai “AhlulBait” dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya (dari segala perkara yang keji)"
Surah Al Ahzab ayat 33.

Allah telah bagi penerangan dalam Al Quran tentang akan berlaku nya Perang Jamal dan Siifin di antara Saidina Ali dan Saidina Aishah.Dan Kesucian Imam Ahlul Bait.

1)Saidina Aishah telah melanggar perintah Allah supaya tidak aktif dalam berpolitik.Ini kerana perang Jamal tamat setelah unta Aishah jatuh tersungkur. Kalau unta tentera biasa jatuh perang masih berterusan.Ini Maknanya Saidina Aisah adalah Ketua angkatan perang.


Dan Baris Akhir Ayat tersebut ialah tentang Kesucian Ahlul Bait dan bukan nya pada Isteri Nabi.
Kata ganti Kalian pada ayat ini adalah kata ganti pada laki laki ia itu (KAP MIM).Jika Ayat itu di tuju pada isteri Nabi atau wanita pada ayat tersebut (KAP NUN)


Kesucian Ahlul Bait di terangKan oleh Allah dalam Surah Al Waqi 'ah

[75]
Maka Aku bersumpah: Demi tempat-tempat dan masa-masa turunnya bahagian-bahagian Al-Quran, -
[76]
Dan sebenarnya sumpah itu adalah sumpah yang besar, kalaulah kamu mengetahuinya, -
[77]
Bahawa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Quran yang mulia, (yang sentiasa memberi ajaran dan pimpinan),
[78]
Yang tersimpan dalam Kitab yang cukup terpelihara,
[79]
Yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci;
[80]
Al-Quran itu diturunkan dari Allah Tuhan sekalian alam
Kiriman 338
Umar Surabaya menulispada 17 Mei 2009 jam 14:30
Tak ada seorangpun muslim yg mengingkari keutamaan Ahlul bait (kw), hanya sebagian yg salah memahaminya, yg mengklaim paling syiah Ahlul bait. Pdahal itu semua blm pasti. Karena syiah pada hakikatnya adalah Ahlul Sunnah Wal-jama'ah.

Mungkin krn org2 syiah tidak atau terlalu banyak mengisi otaknya dg khayalan mut'ah, itulah yg merusak pikiran mereka. Menurut psikologi manusia itu tergantung pada apa yg sering dipikirkan. Kl yg banyak dipikirkan adalah selangkangan, maka jelas syarafnya banyak gambar2 selangkangan.

Bagaimana mungkin beres otak yg seperti itu. Lihat saja wajahnya akan nampak gambar2 selangkangan. Lalu menjustifikasinya dg syariat Islam. Itu bukan moral seorang muslim apalagi mukmin. Jauh bumi dari langit.
Kiriman 339
Tommy Syah Rian menulispada 17 Mei 2009 jam 14:58
saudaraku pak umar, ketahuilah bukan selangkangan yang sering saya pikirkan, tapi anda dan saudara2 muslim yg lain..

begitu dahsyatnya fitnah & adu domba yg ditimbulkan oleh musuh2 islam (israel - yahudi & usa - kafir) sehingga kita sesama muslim bermusuhan, waspadalah..! waspadalah..!
Kiriman 340
Usman Ghalib menulispada 17 Mei 2009 jam 15:26
Org2 syiah Indonesia jahil2. Jahil dlm pikiran, jahil pula dlm prilaku, aliaz jahil murakkab. Mana mungkin mereka bisa jawab pertanyaan pak Umar. Dari awal saya ngikuti cara berpikir org2 syiah ortodok dan tertinggal, tidak kreatif dan tidak dinamis. Karena sarafnya dipenuhi oleh gambar2 selangkangan. Sdh benar pernyataan pak Umar itu.
Kiriman 341
Soni Permana menulispada 17 Mei 2009 jam 18:13
Wuuihh masih ada diskusi mut'ah ini he he he setelah lama aku gak tengok, si bagir sama sadik masih suka ngatain orang dengan kata Goblok kah? setelah saya perhatikan ternyata bekalnya cuma COPAS. dulu saya didiskusi ini sering dibilang bodoh olehnya dan saya diam saja karena saya kira dia pinter maka beneran maka wajar dia bilang saya bodoh , ternyata pintar klak klik doang alias copas, itulah senjata mereka untuk menjatuhkan mental orang beda dengan pendapatnya............... CLOK KOCLOK
Kiriman 342
Arsyul Munir menulispada 20 Mei 2009 jam 22:53
ooo begitu kah..?

halahh nais inpo gan sony...

maap jg nih kalo ada COPAS.

Salam,
DenA—
Kiriman 343
Abdul Malik Karim menulispada 23 Mei 2009 jam 17:23
Alhamdulilah, jelas sudah bagaimana sebenarnya mazhab Ali dalam masalah nikah mut'ah

juga sudah jelas mazhab syiah bukan mazhab Ali yang sebenarnya, lalu mazhab siapa?

tanya pada rumput yang bergoyang.

selesailah topik mut'ah
Kiriman 344
Alfan Arrasuli menulispada 23 Mei 2009 jam 18:51
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan defenisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti defenisi di atas. Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama).Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: bab nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya), Ibnu Hajar mendefenisikan nikah mut’ah, ” Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperboleh dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى . “ Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24)
Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban… (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna.Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara keduan pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat.
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ - إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًdengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT.Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut.Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam mermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa atas di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah! Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak sangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka emengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6)
Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; Pertama, hubungan pernikahan (permanen). Kedua, kepemilikan budak. Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan seorang istri Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent)maupun akad nikah Mut’ah. Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?! Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az zamakhsyari menukilIbnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh). Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanent dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab: Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan – dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah! Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Adu Daud dll. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan. Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar. Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)
Dan وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1) “Jika kamumenceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1) Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ailah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri! 1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nuikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang dikiat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas waniat itu berstaus sebagai isri, namujn demikian –dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?! Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab: Nafkah, seperti tel;ah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau laki berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati anatar keduannya. Demikian diterangak para fuqaha’ Syi’ah. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suakmi sebelumnya=tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri.anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang etlah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atas adalah dua kali masa haidh. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebabia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian sebagai bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak ebnar, sebab: Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui itu anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti teerdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah seperti, apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan ….Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?! Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bias berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut. Kedua ayat itu todak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni- Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’). Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkan (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya.Selain riwayat dari ”’Imraan ibn Husain, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menagaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah. Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya. Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti. Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya mengguguran (pemansukhan) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perenag, saling kontradeksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih.Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata, ” Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, ” Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah mebacakan ayat:يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Ssungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87). Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad dan ada wahyu baru yang diturunkan jibril setelah sempurnanya agama Islam.
Kiriman 345
Hane Hasan menulis14 jam yang lalu
@abdul malik

Disebut orang bodoh seperti anda dan kaum anda mah dah biasa, bahkan dibunuh bukan lagi hal yg aneh bagi kami.

Mungkin pikiran ente yg terlalu cetek hingga tak mampu memahami syiah.
Kiriman 346
Dika Wijaya menulis13 jam yang lalu
Topik diskusi ini paling tinggi ratingnya bln ini. Luar biasa topik ini. Pokoknya udah jelas banget deh halalnya nikah mut'ah. Skrg tinggal aplikasinya. Ada gak, lembaga yg ngatur? shg rapi aplikasinya. Kl ada lembaganya, itu luar biasa nilai ibadahnya. krn bisa sharing kebutuhan biologis yg halal.

Mestinya ada yg tertarik ngelola lembaganya spy lebih baik dan asyik. Siapa yg siap ngelola?
Kiriman 347
Ibnu Zaki menulis12 jam yang lalu
##Mestinya ada yg tertarik ngelola lembaganya spy lebih baik dan asyik. Siapa yg siap ngelola? ##

bung dika, sebaiknya anda usulkan itu pada marja sempalan 12 yang anda anut. anda siap mengelolanya? lumayan, pahalanya gede bung. sekali kawin kontrak derajad pahalanya sama dengan derajad Imam Husein as, dua kali kawin kontar naek pangkat sama dengan derajadnya Imam Hasan as, apa lagi tiga kali kontrakan.. naek lagi tingakatan derajadnya sama dengan Imam Ali as tuh..

gampang & cukup menggiurkan bukan... lebih asyik lagi! persis, seperti yang anda pikirkan bung =)) karena, bisa SHARING KEBUTUHAN BIOLOGIS YANG HUALLAL. tapi selepas itu, anda jangan lupa khumusin pengasilannya itu 20 prosen pada marja yang anda taqlidi. selsei. makmurrr sentausa & bahagia dunia akhirat.. =))
Kiriman 348
Jay Taptazany membalas kiriman Umar11 jam yang lalu
Ass...umar bin khottob,sy yg awam ttg nikah mut'ah tdk ingin berkomentar ttg nikah mut'ah apakah haram atau halal?,sy cuma bingung dengan anda,inikan forum ilmiah tp sepertinya menurut sy anda ini yang ngada2 yg mendiskreditkan komunitas tertentu tanpa memberikan jawaban apa2 ttng mut'ah dan akibat yg mana yg mesti kita lihat?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar